Ketahanan Pangan Masa Wabah Era Rasulullah


Oleh: Alfisyah, S.Pd (Aktivis Muslimah Medan)

Ketahanan pangan sangat kacau pada era pandemi COVID-19 ini. Pada masa sebelum wabah, ketahanan pangan sebuah keluarga pun minim dari angka standar. Maka munculnya wabah semakin menurun keadaannya. Bukan karena wabahnya, namun karena kegagalan menangani wabahnya.

Ketahanan pangan itu simbol dari baik dan buruknya Negara dalam melayani urusan rakyatnya. Maka jika ketahanan pangan menurun, jelas Negara itu secara finansial sedang tidak baik-baik saja. Negara itu dalam keadaan minus, akan reses bahkan akan menemui krisis tak lama lagi.

Jika Karl Max saja menebak krisis umum dari satu Negara menjalar ke negara lain (akibat wabah dan lain-lain), akan berlangsung 3-5 tahun. Tampaknya itu mungkin. Sebab keadaan Negara itu memang buruk kondisi finansialnya. Maka wajar, setelah ada wabah semakin parahlah keadaan Negara itu termasuk ketahanan pangannya.

Hari ini kita melihat itu, ada ditemukan orang yang tergeletak dijalan, bukan karena COVID19 namun karena kelaparan. Ada juga yang bingung tak punya barang lagi untuk dijual hanya untuk mendapatkan beras pada hari itu. Lalu ada juga orang yang kemalingan di siang bolong, pada saat meninggalkan rumah. Sebentar lagi akan muncul isu penculikan anak yang meresahkan karena hendak mengambil organ tubuhnya saja. Sungguh takut dan sangat khawatir hidup dalam negara yang berantakan seperti ini

Imbas dari ketahanan pangan yang menurun ini ternyata bukan hanya menimpa perempuan, para laki-laki (ayah) sama stressnya dengan Ibu. Kebijakan PSBB yang diambil, memukul telak para ayah untuk mengais rezeki keluar rumah. Nampaknya benarlah ungkapan masyarakat, lebih baik mati! sebab corona sudah menjalar ke rumah-rumah, dan warga juga kelaparan berada dirumah saja. Ibarat burung harus tinggal disangkar, seperti itulah masyarakat negeri ini saat ini. Bedanya masyarakat tidak ditanggung utuh seluruh kebutuhannya selama PSBB yang entah sampai kapan diberlakukan.

Kondisi ini berbeda jauh dengan kebijakan karantina wabah pada masa nabi Muhammad SAW dan Umar r.a. Karena pada wabah thaun waktu itu seluruh biaya perobatan termasuk rumah sakitnya full fasilitas digratiskan oleh Negara. Bahkan sampai pasien sembuh dalam keadaan gemuk.

Mengapa demikian? Semua hal itu karena Negara yang dibangun Rasulullah telah mapan secara finansial. Anggaran khusus wabah memang dialokasikan. Jika masih kurang, anggaran pos yang lain berlimpah dan bisa digunakan. Anggaran untuk wabah itu pun bukan hanya sekedar untuk obat, biaya rumah sakit, biaya dokter, laboratorium, diet (makanan dan suplemen), biaya operasi, peralatan kesehatan yang dibutuhkan. Namun lebih dari itu, pasien baru dipulangkan jika sudah gemuk-gemuk (sehat sempurna).

Lalu kenapa bisa demikian, bagaimana anggaran Negara yang dibangun Nabi itu bisa berlimpah? Jawabnya, karena pada Nabi ada suri tauladan, Nabi mencontohkan bagaimana mendapatkan pemasukan APBN yang banyak berlimpah namun syari. Nabi memanfaatkan semua sumber daya alam dan diolah oleh Negara secara mandiri, hasilnya dinikmati masyarakat. Jika berlebih masuk ke kas Negara (Baitul Maal). Ada belasan pos penerimaan Negara dalam hal ini.

Bukan seperti negara-negara saat ini yang pemasukannya hanya dari pajak dan pinjaman riba. Sebab pajak itu adalah zholim sedangkan riba itu dosa. Mengundang bahaya untuk Negara ini termasuk wabah. Maka bisa jadi wabah ini peringatan dari Allah agar kita intropeksi diri supaya tidak lagi ambil pajak dari rakyat dan riba yang penuh jebakan.

Kembali pada ketahanan pangan maka pantaslah jika wabah mampu diatasi nabi secara sempurna. Tidak kah kita menginginkannya hari ini? Tentu, namun tidak mudah. Kita harus mencampakkan hukum buatan manusia dalam mengurus Negara ini. Sistem syariah Islam adalah jawabannya. Nabi telah mencontohkannya, mengapa masih mencari contoh dari manusia lain yang masih belum benar, bahkan bukanlah contoh yang diperintahkan Allah SWT. “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik.” Marilah bersegera mencontoh Rasul dalam menangani wabah. Wallahualam.