Antara Toleransi dan Akidah: Menyikapi Narasi “Rumah Bersama”
Oleh: Aulia Zuriyati
(Aktivis Muslimah)
Pernyataan Bupati Labuhanbatu Selatan yang menyebut daerah ini sebagai “rumah bersama dalam keberagaman” sekilas terdengar indah dan penuh harapan. Dalam perayaan Natal 2025 yang digelar pemerintah daerah, nilai-nilai kasih, kerendahan hati, dan pengorbanan disebut sebagai fondasi pelayanan publik dan kerukunan sosial.
Bupati juga menegaskan bahwa keberagaman harus dirawat sebagai kekuatan, bukan pemisah, serta membuka ruang dialog lintas agama demi kehidupan bermasyarakat yang damai dan adil
(Mistar.id, 5/12/2025).
Namun, sebagai seorang Muslim, gagasan “rumah bersama” ini perlu disikapi dengan lebih hati-hati dan kritis. Pertanyaannya, apakah narasi tersebut benar-benar sejalan dengan nilai-nilai Islam, atau justru berpotensi mereduksi ajaran Islam sehingga bertentangan dengan prinsip akidah dan keadilan yang diajarkan agama?
Umat Islam perlu menyadari bahwa narasi kerukunan yang dibangun tanpa pemahaman akidah yang benar dapat menyeret umat pada relativisme agama. Dalam kondisi seperti ini, batas toleransi menjadi kabur dan prinsip-prinsip agama kehilangan kejelasan. Bahkan, narasi tersebut bisa digunakan untuk meredam kritik terhadap kesalahan sistem, seolah semua agama memiliki nilai dan standar moral yang sama. Padahal, dalam Islam, menghormati manusia tidak berarti melemahkan prinsip akidah, apalagi jika hal itu justru mengganggu keyakinan umat Muslim.
Realitas sosial hari ini menunjukkan bahwa toleransi dan stabilitas sering dijadikan tujuan utama, sementara kebenaran dan keadilan justru ditempatkan di posisi kedua. Selama masyarakat terlihat damai dan minim konflik, sistem dianggap berhasil, meskipun di baliknya masih tersimpan ketimpangan, ketidakadilan, serta pelemahan identitas umat.
Dalam kondisi seperti ini, toleransi kerap digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik. Siapa pun yang mempertanyakan arah kebijakan atau dampaknya terhadap akidah dan moral umat sering kali dicap sebagai anti-keberagaman atau intoleran. Akibatnya, umat menjadi takut bersuara.
Padahal, Islam justru memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar. Lebih dari itu, sistem yang berlaku saat ini cenderung mendorong moderasi agama dalam makna yang relatif, seolah semua nilai agama dianggap sama. Pandangan semacam ini sangat berbahaya karena dapat melahirkan generasi Muslim yang longgar terhadap prinsip-prinsip akidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat di atas menegaskan bahwa perbedaan adalah ketetapan Allah, bukan alasan untuk saling bermusuhan atau saling mendominasi. Islam mengajarkan umatnya untuk saling mengenal dan menghargai, bukan untuk menyamakan prinsip iman atau menghapus batas-batas keyakinan. Karena itu, narasi keberagaman seharusnya mendorong sikap saling menghormati, sembari tetap menjaga akidah masing-masing.
Seorang Muslim tidak boleh kehilangan identitas akidah atas nama toleransi. Rasulullah bersabda:
“Tidak halal bagi seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, jika tetangganya kelaparan sementara ia kenyang.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan dua hal penting. Pertama, umat Islam dituntut untuk peduli terhadap sesama manusia, terutama di lingkungan sekitarnya. Kedua, kepedulian sosial tersebut tidak boleh membuat seorang Muslim melupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Toleransi sosial harus dijalankan sesuai dengan standar Islam, bukan sekadar jargon yang justru membuat umat bersikap pasif ketika terjadi pelanggaran terhadap akidah dan prinsip hidupnya. Karena itu, toleransi perlu disikapi secara bijak dengan memahami batas-batasnya.
Islam menawarkan solusi yang lebih utuh.
Pertama, toleransi harus dibangun di atas dasar tauhid dan keadilan, bukan relativisme. Umat Islam perlu dibina agar memahami bahwa menghormati orang lain tidak berarti mengorbankan akidah.
Kedua, negara wajib menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan sekadar menjaga stabilitas.
Ketiga, fungsi dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar harus dihidupkan kembali sesuai syariat Allah, agar masyarakat tidak begitu saja menerima setiap narasi tanpa sikap kritis.
Keempat, peran pendidikan harus diperkuat dengan landasan Islam agar umat memahami dengan jelas mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang.
Dengan demikian, toleransi dalam Islam bermakna menjaga hak kemanusiaan setiap individu tanpa mengorbankan prinsip iman dan hukum Allah. Karena itu, umat Islam dituntut bersikap sadar, kritis, dan berprinsip dalam menyikapi setiap wacana keberagaman, agar kehidupan sosial tidak berjalan di atas relativisme, tetapi berada dalam koridor akidah yang lurus dan keadilan yang hakiki sebagaimana ditetapkan oleh syariat Islam.
Wallahualam Bissawwab.
