Asa dan Realita dalam Sistem Kapitalis

 


Oleh: Retno Purwaningtias (Aktivis Muslimah Medan)


Menjadi prajurit TNI, berseragam rapi kerap menjadi impian yang sangat diminati oleh anak-anak di Indonesia. Termasuk  Imam  Syahputra. Bocah itu masih berusia 14 tahun. Tapi ia harus berjuang lebih keras dibandingkan teman-teman seusianya. 


Tak hanya sekolah, ia juga harus bekerja. Uang hasil menyemir sepatu ia bagi tiga: diberikan ke orang tua, jajan, dan ditabung untuk mewujudkannya cita-citanya tersebut. “Uang semir sepatu dikasih sebagian ke mamak, sebagian dicelengi, sebagain lagi untuk uang jajan sekolah. Jadi kalau dapat Rp 40 ribu, kasih ke mamak Rp 30 ribu, Rp 5 ribu dicelengi, Rp 5 ribu lagi untuk jajan sekolah,” pungkasnya. (medan.triunnews.com/1 September 2020).


Beginilah realita kehidupan di sebuah sistem kapitalis. Sebuah sistem yang rakyatnya disuruh berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan pendidikan yang seharusnya dijamin oleh negara. Dalam sistem kapitalis-sekuler, tidak ada jaminan apapun yang diberikan untuk rakyatnya. Karena tugas dan fungsi negara hanya sebagai wasit bagi rakyat-rakyatnya. Negara hanya akan bertindak bila terjadi masalah.


Idealisme para pemangku jabatan terpaksa digadai demi kekuasaan. Rakyat bukan menjadi prioritas. Masalah kemiskinan, pengangguran, dan mahalnya ongkos pendidikan hanya bisa ditanggapi dengan mengelus dada oleh rakyat. Kalau pun ada jaminan, jaminan tersebut tidak berlaku untuk seluruh rakyat, tetapi hanya untuk rakyat miskin. Padahal mereka—baik yang kaya maupun miskin—sama-sama warga negara, yang berhak mendapatkan jaminan yang sama. Jaminan yang diberikan oleh sistem kapitalis hanya sebuah bentuk tambal sulam dari bobroknya sistem ini.


Sistem kapitalis-sekuler menciptakan realitas buruk bagi generasi penerus karena bagi sistem ini, masa depan cerah hanya bagi mereka yang berharta. Sehingga semua orang berlomba menjadi kaya agar tergolong sebagai orang sukses. Parameter sebuah kesuksesan adalah materi; harta dan uang. Mereka akan dibentuk menjadi generasi yang berpikir profit oriented.


Berbeda dengan Negara yang menjadikan Islam sebagai ideologinya. Negara dalam sistem Islam bak orang tua yang mengayomi anak-anaknya. Pendidikan sepenuhnya ditanggung oleh Negara. Karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh Negara. Bahkan pendidikan berkualitas terbaik akan diberikan secara cuma-cuma untuk rakyatnya. Bukan untuk mengejar materi, karena pendidikan dalam sistem islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu membentuk kepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya.


Hal itu karena Islam memandang bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan berada di tangan Negara. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW: “Imam itu adalah pemimpin, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari).


Bahkan tak hanya pendidikan, kesehatan dan keamanan saja. Ekonomi, peradilan, politik luar negeri dijalankan berdasarkan halal dan haram hukum syari’at. Seluruh sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada disokong untuk kepentingan dakwah Islam ke penjuru dunia. Alhasil, di dunia mereka hidup mulia, dan di akhirat termasuk orang yang menang.  


Kisah Imam Syahputra di atas hanyalah sekeping realita yang tampak. Masih banyak lagi permasalahan umat yang ada di sistem kapitalis-sekuler ini yang bisa disaksikan. Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas. Hal itu disebabkan karena Negara tidak menjadikan islam sebagai dasar untuk mengatur Negara, sistem hidup selain Islam lah (kapitalis, sosialis, komunis) yang diterapkan hari ini. Sehingga, meskipun kekayaan alam Indonesia melimpah, tetap saja rakyat masih hidup susah. 


Allah swt. berfirman: "Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha: 124)


Wallahu ‘alam Bisshowwab.