Islam Sebagai Fondasi Kokoh Menghadapi Krisis Mental Anak Muda




Oleh: Aulia Zuiyati
(Aktivis Muslimah)

Generasi muda di Medan saat ini menghadapi persoalan yang cukup kompleks, mulai dari penggunaan gawai berlebihan, cyberbullying, hingga tekanan akademis yang tinggi. Sebagai kota terbesar di Sumatera, Medan memiliki tingkat keterlibatan digital yang tinggi, mencerminkan populasi yang kian berkembang.

Secara nasional, Indonesia tercatat memiliki sekitar 212 juta pengguna internet aktif dan 143 juta pengguna media sosial. Tingkat penetrasi internet mencapai 74,6 persen menurut data nasional 2025. Namun, di sisi lain, masalah serius juga muncul: sebanyak 10,4 persen penduduk Sumatera Utara berusia 15 tahun ke atas menderita gangguan mental dan emosional (Riskesdas 2018). Fakta ini menunjukkan adanya krisis yang tidak bisa dianggap sepele. Upaya-upaya seperti Healthy Me Fest 2025 digelar untuk memberikan edukasi sekaligus motivasi kepada masyarakat (tribunnews.com, 24/8/2025).

Berbagai kegiatan positif memang patut diapresiasi. Namun, masalah kesehatan mental bukan hanya urusan individu. Gangguan ini dapat merugikan masyarakat bahkan negara. Penyebabnya pun beragam, seperti pola asuh yang kurang baik, tekanan ekonomi, hingga penggunaan media sosial yang tidak terkendali. Pertanyaannya, apakah cukup hanya dengan seminar, kampanye, atau acara motivasi untuk menuntaskan masalah ini?

Jika diteliti lebih dalam, akar persoalan sesungguhnya terletak pada sistem yang saat ini diterapkan, yakni kapitalisme sekuler. Sistem ini menyingkirkan agama dari kehidupan publik, membatasi peran agama hanya di ruang ibadah, sementara urusan pendidikan, ekonomi, politik, hingga budaya diatur dengan logika untung-rugi semata. Akibatnya, manusia tumbuh dengan fondasi yang rapuh: orientasi hidupnya tereduksi hanya pada materi, prestise, dan kesenangan duniawi.

Inilah yang membuat banyak anak muda kehilangan arah. Mereka terbiasa mengukur kebahagiaan dari jumlah likes, followers, atau pencapaian akademik dan materi yang ditampilkan di media sosial. Ketika standar itu tidak terpenuhi, muncul rasa rendah diri, iri, bahkan kebencian terhadap diri sendiri. Tidak sedikit yang merasa hidupnya gagal hanya karena kalah dalam kompetisi semu di dunia maya.

Kerapuhan ini semakin diperparah dengan lingkungan sosial yang individualistis. Sistem kapitalisme menanamkan pola pikir bahwa setiap orang harus berjuang sendiri untuk sukses, sehingga solidaritas melemah dan ruang untuk saling menguatkan makin sempit. Tekanan akademis, tuntutan ekonomi keluarga, hingga arus budaya hedonistik kian menambah beban jiwa anak muda.

Tidak heran jika angka depresi, kecemasan, dan keputusasaan meningkat. Fenomena self-harm, penyalahgunaan narkoba, hingga bunuh diri di kalangan remaja adalah alarm keras bahwa ada yang salah dengan sistem ini. Semua ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental bukan semata urusan psikologis individu, melainkan buah dari sistem yang salah arah.

Sebaliknya, Islam telah lebih dulu memberikan fondasi kokoh untuk membangun mental yang sehat dan tangguh. Allah Swt. menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Ayat ini menegaskan tujuan hidup seorang Muslim bukanlah mengejar popularitas atau standar dunia yang berubah-ubah, melainkan beribadah kepada Allah. Dengan orientasi hidup yang benar, seorang Muslim tidak mudah terombang-ambing ketika menghadapi tekanan hidup.

Islam juga memberi pedoman hidup yang menyeluruh. Sejak dini, seorang Muslim diarahkan untuk memiliki akidah yang kuat, mengenali jati dirinya, tujuan hidupnya, dan arah yang harus ditempuh. Keluarga menjadi fondasi awal yang sangat penting, mendidik anak dengan penuh kasih sayang sekaligus menanamkan nilai-nilai mulia.

Negara pun memiliki tanggung jawab besar. Dalam pandangan Islam, negara bukan hanya mengurus keamanan dan ekonomi, tetapi juga bertanggung jawab membentuk masyarakat yang sehat secara moral dan spiritual. Negara wajib mengontrol arus informasi, membangun sistem pendidikan berbasis akidah, dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung ketenangan jiwa warganya.

Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya imam (khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, maka baginya pahala. Namun jika ia memerintahkan yang sebaliknya, ia menanggung dosa atasnya.” (h.r. Muslim)

Sejarah Islam telah membuktikan bagaimana sistem ini melahirkan generasi yang kuat mental, matang spiritual, dan kokoh moralnya. Itu bukan sekadar utopia, melainkan fakta yang pernah terwujud.

Sebagai penutup, krisis mental pemuda tidak akan tuntas jika kita tetap berada dalam sistem yang rusak. Saatnya kembali ke pangkal permasalahan, dengan menjadikan Islam bukan sekadar label, tetapi jalan hidup yang menyeluruh.

Wallahualam bissawab.