Pembacokan Remaja Hasil Produk Sekuler?



Oleh Sutiani, A. Md (Aktivis Dakwah Muslimah)

“Tiwul enak dimakan Andi
Belinya jauh di Singapura
Tawuran kerap terjadi
Bagaimana peran negara?”

Baru-baru ini, kota Medan digegerkan dengan penangkapan pelaku pembacokan yang diduga akibat tawuran remaja terhadap YTB  berusia 18 tahun yang merupakan salah satu warga Percut Seituan, Kabupaten Deli Serdang yang tewas penuh luka bersimbah darah (medanbisnisdaily.com, 17/10/2022).

Remaja hari ini yang katanya anak baru gede sering sekali membuat keonaran hanya demi sebuah eksistensi semata, seperti rasa ingin  tahu yang besar, ingin diakui paling hebat dan jagoan. Berbagai cara membuktikannya di antaranya melakukan tawuran, dua kelompok yang menganggap kelompoknya paling kuat akan beradu kekuatan fisik. Dengan demikian yang menang akan mendapat predikat paling kuat dan tidak terkalahkan dan akhirnya adanya predikat tersebut dapat disombongkan di komunitas mereka sebab itu menjadi alasan terbesar bagi mereka dalam menemukan jati dirinya, alhasil potensi dan energinya habis dipergunakan mencari sesuatu yang salah dengan cara yang tidak benar.

Dalang dari problem tersebut karena masih dipakai secara sistemik kapitalis yang menilai seseorang dari fisiknya, kekuatannya, dan  pengaruhnya di tengah masyarakat sampai membuat generasi labil yang berlomba-lomba dalam kesesatan yang nyata termasuk menggunakan cara kekerasan dengan pandangan mereka, hal ini menjadi sebuah tren kekinian beradu jagoan tidak peduli apa hukumnya dalam Islam karena sudah menjadi kebiasaan sekuler yaitu  memisahkan agama dengan kehidupan.

Wajar saja profil generasi remaja seperti itu dibentuk oleh media sekuler, misalnya sering kita lihat dari media menayangkan konten-konten dengan unsur kekerasan, laki-laki jagoan digambarkan lihai dalam berkelahi yang pantang dikalahkan sehingga diambil untuk menjadi standar eksistensi diri. Ditambah lagi negara abai, harusnya memberikan edukasi kepada remaja yang sebenarnya membutuhkan untuk diarahkan hidupnya. Ketika mereka tidak mendapatkan arahan yang benar, maka mereka akan menjalani hidup tidak tentu arah semuanya dilakukan tanpa ada batasan.

Sungguh miris pendidikan hari ini yang dicekoki nilai-nilai pendidikan sekuler. Bagai mimpi disiang bolong, bagaimana mungkin dikatakan generasi terbaik yang mampu menyadarkan mereka tentang jati diri sebenarnya alhasil bertambah sekulerlah mereka jika tidak pakai agama dalam menilai standar perbuatan hidup. Adapun nyawa manusia saat ini tidak ada harganya hanya demi eksistensi, nyawa kini direnggut secara tragis. Padahal, Allah sudah mengabarkan melalui firman-Nya di dalam Al-Qur’an.

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 178).

Islam bukan hanya mengatur masalah ritual saja, melainkan adanya aturan hukum yang ditetapkan bagi siapa yang menghilangkan nyawa orang lain sudah jelas dijatuhkan hukuman qisas, baik melalui pedang, gantung menggunakan tali, dilempar ke api, ataupun ditembak dan lain sebagainya, tetapi pada saat dijatuhkan hukuman harus diingat  kembali bahwa tidak dilakukan penyiksaan perlahan-lahan. Jikalau pakai pedang, harus tajam dan tidak boleh tumpul sehingga  mempermudah kematian.

Adapun kerelaan keluarga korban yang memaafkan dari pelaku, maka itu dibolehkan dengan jalan damai yaitu memberikan syarat  membayar diat sesuai ketentuan hukum syariat yang telah ditetapkan. Tujuan hukum dalam Islam sangat gamblang dan tentunya  memberikan efek jera sekaligus penebus dosa kepada pelakunya, sehingga tidak ada lagi remaja yang melakukan tawuran.

Negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah atau dengan kata lain bernama Khilafah sangat menyadari bahwa generasi adalah aset sebuah bangsa. Rusak generasinya otomatis rusak pula  peradabannya, lantas Khilafah akan memberikan pendidikan terbaik yaitu sistem pendidikan Islam di mana tujuan pendidikan adalah mencetak kepribadian Islam (syaksiyyah Islam) bagi peserta didik, membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu keislaman (tsaqofah Islamiyah), membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, seperti sains dan teknologi sehingga generasi yang dihasilkan adalah generasi yang beriman dan bertakwa serta mampu berkontribusi positif untuk kemaslahatan umat.

Selain itu, Khilafah juga akan menjaga media dari konten-konten yang  mengandung unsur kekerasan dan ide-ide yang bertentangan dengan Islam. Jikalau ada yang terlanjur tersebar, Khilafah akan secepat mungkin untuk mengusahakan supaya hilang agar konten-konten yang  ditayangkan adalah konten-konten yang bisa mengedukasi, menjaga dan menguatkan ketakwaan generasi saleh dan salihah yang bermanfaat untuk peradaban.

Buktinya di masa peradaban Islam memproduksi generasi yang luar biasa tidak hanya cerdas masalah dunia, tetapi ketakwaannya juga mumpuni bahkan menggandeng profesi ulama sehingga mereka bisa mempersembahkan yang terbaik untuk peradaban Islam di masa itu. Misalnya saja Al-Khawarizmi sang penemu angka nol, Ibnu Firnas penemu cikal bakal pesawat terbang, Ibnu Haitam penemu cikal bakal optik, Ibnu Sina pakarnya kedokteran dan masih banyak lainnya.

Wallahualam bissawab.