Buka Tutup Keran Ekspor Kelapa Sawit, Siapa yang Diuntungkan?

 




Oleh Nurlela (Aktivis Muslimah)

Baru-baru saja  dikabarkan oleh Bapak  Menteri Perekonomian pemerintah akan  menerbitkan lagi kebijakan Domestic Market Obligation atau DMO dan Domestic Price Obligation atau DPO. Kebijakan tersebut  mengumumkan akan dibuka kembali ekspor minyak goreng dan bahan baku turunannya. Akan  tetapi, dengan kebijakan ini akan menjamin tersedianya bahan baku minyak goreng agar dapat dijangkau oleh  masyarakat. (republika.com, 20/5/2022).

Sepertinya janggal kebijakan pemerintah saat ini dalam perkara buka tutup ekspor minyak kelapa sawit, siapa yang diuntungkan? Petani kelapa sawitkah atau pengusaha tertentu?

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai keputusan pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng telah mengorbankan petani kelapa sawit di daerah. Seperti diketahui, pemerintah telah mencabut kebijakan harga eceran tertinggi (HET) dan kemudian memberikan subsidi kepada pelaku usaha yang memproduksi minyak curah. Namun, sumber dana untuk subsidi minyak curah tersebut bersumber dari dana sawit dengan jalan menaikkan pungutan ekspor sawit.

Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pemerintah telah menaikkan pungutan dana sawit secara progresif. Jika harga minyak sawit (CPO) makin tinggi, maka pungutan makin besar.

Dalam kebijakan terbaru, pungutan yang tertinggi adalah jika harga CPO berada di atas 1.500 dolar AS, maka pungutan mencapai 375 dolar AS, sementara sebelumnya maksimal 175 dolar AS.
Kenaikan pungutan ekspor sawit terbaru ini dierkirakan pengurangan harga TBS ditingkat petani kelapa sawit sekitar Rp 600 hingga Rp 700 per kilogram.

Jelaslah bahwa kebijakan pemerintah sangat merugikan petani dan menguntungkan pengusaha, karena memang negeri ini dikuasai oleh para oligarki, dan ketika mereka inginkan keuntungan lebih, maka yang dikorbankan adalah rakyat khususnya dalam kasus ini adalah petani sawit. Ini bentuk lalai dan abainya pemerintah dalam mengurusi minyak sawit.

Berbicara buka tutup ekspor minyak sawit, maka perkara menyangkut politik ekonomi. Bila solusi politik ekonomi memakai ekonomi kapitalis, hal ini hanya akan menguntungkan pihak oligarki saja namun, bila yang diaplikasikan adalah politik ekonomi Islam maka akan menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier.

Atas dasar itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya setiap warga negara untuk menikmati kehidupan tersebut. Politik ekonomi Islam juga bukan hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu dengan membiarkan mereka sebebas-bebasnya untuk memperoleh kemakmuran tersebut dengan cara apa pun tanpa memperhatikan terjamin-tidaknya hak hidup setiap orang. Akan, tetapi politik ekonomi Islam bertujuan memecahkan masalah utama kemudian memberi kemakmuran keuntungan untuk semua pihak.

Politik ekonomi Islam bisa terealisasi dengan penetapan aturan Islam di bawah naungan negara Islam yang terbukti mampu dan berhasil dalam mengurusi urusan rakyatnya. Mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang terlalu diuntungkan. Negara Islam juga akan mengatur urusan pertanian berikut produksinya sesuai dengan kebutuhan strategis pertanian untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin.

Jadi, ganti saja dan gunakanlah aturan Islam yang lebih menyejahterakan!

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah [5]: 50).

Wallahualam bissawab.