Data Hitam (Korupsi) Pejabat di Sumut 15 Tahun terakhir

Ada fenomena "ngeri-ngeri sedap" di Sumatera Utara dalam lima belas tahun terakhir. Dua gubernur terpilih dalam dua pilkada langsung yang diselenggarakan provinsi ini ditangkap komisi anti-rasuah, KPK, saat menjabat karena terlibat korupsi.

Pertama ada Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara yang terpilih untuk periode 2008-2013. Syamsul diciduk KPK pada Maret 2011. Jabatan gubernurnya otomatis non-aktif. Ia dipidana karena korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Langkat saat masih menjabat Bupati Langkat, Sumatera Utara pada 1999-2008. Ia merugikan negara senilai Rp 98,7 miliar dalam penggunaan APBD Langkat 2000-2007.

Pengadilan Tipikor Jakarta mengganjar hukuman 2 tahun 6 bulan. Syamsul melakukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta malah menambah hukumannya menjadi 4 tahun. Mahkamah Agung (MA) menambah hukuman menjadi 6 tahun pada Mei 2012. Padahal Syamsul, adalah Gubernur Sumatera Utara yang dipilih langsung dalam pilkada.

Karena Syamsul dijebloskan ke penjara, Gatot Pujo Nugroho, wakilnya dilantik menggantikannya. Periode berikutnya, Gatot bahkan mencatat sejarah sebagai inkumben pertama yang dipilih langsung dalam pilkada Sumatera Utara. Ia didapuk meneruskan kepemimpinan sampai 2018. Namun, mengikuti jejak Syamsul, Gatot juga diciduk KPK karena kasus korupsi, Juli tahun lalu.

Bersama sang istri muda, Gatot divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Maret lalu. Keduanya terbukti menyuap tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dan pemberian hadiah kepada mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella. Tak hanya itu, 1 Agustus kemarin, Gatot kembali jadi terdakwa untuk kasus korupsi dana hibah dan bantuan sosial (bansos) Sumatera Utara yang diperkirakan membuat negara rugi Rp 4,034 miliar.

Di tingkat II, ada walikota Medan, ibukota Sumatera Utara yang juga dibelit korupsi.

Pada Mei 2008, Abdillah, walikota Medan sejak 2000 hingga 2008, diberhentikan dari jabatannya setelah setengah tahun ditahan polisi karena tuduhan korupsi. Ia telah menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan APBD Medan 2005 sejak Mei 2007. Sedikit berbeda dengan Syamsul, Abdillah rupanya korupsi bersama-sama dengan wakilnya, Ramli. Keduanya ditahan atas tuduhan yang sama namun dalam sidang terpisah.

Selisih lima tahun saja dari kasus Abdillah, walikota Medan 2010-2013 Rahudman Harahap diberhentikan dari jabatannya karena menjadi terdakwa dalam kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) 2005. Sebelum menjadi wali kota, Rahudman merupakan Penjabat walikota Medan selama 5 bulan sejak 22 Juli 2009, mengisi kekosongan akibat dinonaktifkannya walikota Abdillah dari tugasnya.
potertburukkepaladaerah

Di pulau paling barat Indonesia, Sumatera Utara tercatat sebagai provinsi dengan sejarah kepala daerah korup paling banyak. Selain Syamsul, Gatot, Abdillah, Ramli, dan Rahudman, ada Mantan Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang, Mantan Bupati Mandailing Natal Muhammad Hidayat Batubara, Mantan Bupati Nias Binahati B. Baeha, Mantan Bupati Nias Selatan Fahuwusa Laila, dan Wali kota Pematangsiantar Robert Edison Siahaan.

Situasi "ngeri-ngeri sedap" ini rupanya tak hanya dirasakan warga Sumatera Utara. Di seantero Indonesia sejak Desember 2015, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 343 kasus korupsi yang menyandung kepala daerah mulai dari gubernur, bupati, dan walikota. Ini belum ditambah 18 gubernur yang terjerat kasus korupsi sejak Januari sampai Agustus lalu. Sehingga total ada 361 kepala daerah terlibat korupsi.

Data itu terus meningkat sejak tahun 2010. Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, secara rutin ada tambahan 40 kepala daerah (tahun 2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013). Sementara pada 2014 ada tambahan 56 kasus.

Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK Ranu Mihardja menjelaskan dari total 343 kasus tersebut, 50-nya ditangani KPK. Sementara sisanya ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Sementara dari 18 kasus teranyar, 16 di antaranya ditangani KPK. Dua lainnya ditangani Kejaksaan. “Korupsi yang melibatkan kepala daerah umumnya terkait praktik suap dalam hal perizininan,” kata Ranu seperti dilansir dari jurnalsulteng.com.

Hal serupa juga diamini Donal Fariz, Peneliti Indonesia Crupption Watch. Ia menilai pasca otonomi daerah, kewenangan dan dana untuk pemerintah daerah ditambah dan hal ini juga menjadi pemicu lahirnya praktik-praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah. Pola korupsi yang terjadi di setiap daerah berbeda. Di daerah yang kaya sumber daya alam, korupsi banyak terjadi pada soal perizinan tambang dan alih fungsi lahan. Sementara di daerah yang tidak kaya sumber daya alam, menurut Donal seperti dilansir darivoaindonesia.com, korupsi banyak terkait dengan belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa. (sumber tito.id)