Munculnya Para Pemimpin Ruwaibidhah

Syarah Hadits Imam Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini)

Dimana Masa - Masa Itu Terdapat Banyak Tipuan. Orang Yang Amanah Dituduh Khianat, Sedangkan Orang Yang Khianat Diberikan Amanah. Orang Yang Benar Didustakan, Sedangkan Orang Yang Dusta Dibenarkan.

“Akan Datang Pada Manusia Suatu Masa Dimana Orang Yang Berdusta Dibenarkan, Dan Orang Yang Benar Didustakan, Orang Yang Amanah Dikhianati, Sedangkan Orang Yang Berkhianat Diberikan Amanah, Dan Ruwaibidhah Pada Masa Itu ( Diberikan Ruang ) Untuk Berbicara. Ada Yang Bertanya : “Apakah Ruwaibidhah Itu Ya Rasulullah ?, Beliau Bersabda : “Orang Bodoh Yang Berbicara Urusan Umum.”

Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini menyatakan bahwa hadits tersebut adalah shohih sanadnya walaupun Imam Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dan salah satu perawis dalam hadits tersebut adalah Yahya bin Sa’id al-Anshari. Imam Ibnu Majah dalam kitab sunannya dan Imam Ahmad dalam kitab musnadnya juga mengeluarkan hadits tersebut.

Dalam lafadz Imam Ahmad terdapat kata-kata “orang fasik yang berbicara urusan umum”.Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari mengeluarkan hadits tersebut dari Anas ra, didalamnya terdapat lafadz “bahwasanya di depan dajjal terdapat masa-masa menipu”. Beliau menyatakan hadits dari Anas ra tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Ya’la, dan al-Bazzar, sedangkan sanadnya jayyid. Sedangkan Imam Ibnu Majah mengeluarkan hadits tersebut dari Abu Hurairah ra.

Adapun Imam ath-Thabrani dalam kitab Mu’jam al-Kabir mengeluarkan hadits tentang ruwaibidah itu dari ‘Auf bin Malik ra, dari Rasulullah saw, beliau telah bersabda : “Sesungguhnya akan terdapat suatu masa dimana masa-masa itu terdapat banyak tipuan. Orang yang amanah dituduh khianat, sedangkan orang yang khianat diberikan amanah.Orang yang benar didustakan, sedangkan orang yang dusta dibenarkan.

Dan ruwaibidhah berbicara urusan manusia.” Ada pula riwayat lain yang menyatakan bahwa ruwaibidhah adalah orang yang tidak perduli dengan amanah. Adapun yang dimaksud dengan urusan umum adalah urusan manusia, yakni berbagai urusan umat yang mesti di urus oleh seseorang.

Sedangkan seseorang yang diberikan amanah untuk mengurusi urusan umat adalah para pemimpin. Oleh karena itu, hadits ini berkaitan erat dengan para pemimpin yang tidak amanah dan senantiasa menipu rakyatnya dalam berbagai urusan mereka. Karenanya mereka yang bersikap seperti itu layak untuk diberi gelar “para pemimpin ruwaibidhah”.

Imam Ibnu Mandzur dalam kitab lisan al-Arab, mengutip pernyataan Abu ‘ubaid, menyatakan bahwa hadits-hadits berkenaan tentang ruwaibidhah erat kaitannya dengan hadits-hadits lain berkenaan dengan tanda-tanda hari kiamat, bahwasanya akan diperlihatkan para pemimpin yang memimpin manusia tersebut.

Ada pula ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud ruwaibidhah adalah para pemimpin yang tidak memiliki ilmu dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin umat. Sehingga, amanah yang diberikan padanya sama sekali tidak dihiraukan. Karena itu, tampaknya defenisi secara umum tentang ruwaibidhah adalah para pemimpin yang yang diberikan amanah oleh umat untuk memimpin mereka, namun karena pemimpin tersebut tidak memiliki ilmu yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan dalam islam, bahkan ketaqwaannya juga diragukan, maka ia tidak mampu memimpin umat dan tidak amanah dalam kepemimpinannya tersebut.

Seolah-olah ia mampu untuk menjadi pemimpin dan banyak berbicara tentang urusan umat, padahal ia hanyalah orang yang tidak memiliki ilmu yang berbicara tentang urusan manusia.

Imam Ibnu Rajab al-hambali dalam kitab jami’ al-‘ulum wa al-hukm menyatakan bahwa ruwaibidhah adalah orang-orang yang bodoh dan banyak melakukan kesia-siaan yakni para pemimpin manusia, orang-orang yang berpengaruh, dan orang-orang banyak memiliki harta.

Mereka banyak memberikan penjelasan yang merusak aturan agama dan dunia ini. Ketika orang yang tidak memiliki ilmu lagi dzholim yang memimpin manusia, sehinggaia menjadi penguasa mereka, apakah kepemimpinannya bersifat umum atau khusus pada sebahagian persoalan, mereka tidak memberikan hak-hak manusia, akan tetapi mereka mempengaruhi rakyatnya dengan kepemimpinan mereka melalui sebahagian hartanya.

Imam Ibnu Rajab al-hambali selanjutnya menyatakan, ketika kepemimpinan dipegang oleh orang-orang yang bohong dan banyak melakukan kesia-siaan, maka agama menjadi rusak, karena pemimpin tersebut tidak memiliki tujuan untuk memperbaikan agama dan pengetahuan rakyatnya. Bahkan tujuannya adalah untuk meraih harta dan mengumpulkannya, ia tidak perduli sama sekali dengan rusaknya pengamalan agama rakyatnya.

Imam Ibnu Rajab al-hambali juga menyatakan, ketika masa itu terjadi yang banyak berbicara adalah orang-orang bodoh, sedangkan ulama diam atau ulama tidak berani berbicara benar. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah saw “sesungguhnya salah satu yang termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, dan yang tampak hanyalah orang-orang bodoh”.

Hal ini juga dipaparkan oleh Imam Ibnu Bathal dalam kitab syarah Bukhari, bahwa tidak akan muncul jalan kebenaran pada saat mengambil orang-orang bodoh sebagai ulama, ketika matinya ahli ilmu. Dan termasuk mengambil pemimpin dan penguasa yang dzholim pada saat kebatilan dan pelakunya merajalela.

Terdapat pula hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, Muslim, Ahmad, dan ad-Darami, bahwa Rasulullah telah bersabda : “bahwasanya ilmu itu tergenggam ditangan para ulama, ketika orang alim tidak ada, maka manusia akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Ketika ditanyakan (beberapa persoalan padanya).Maka ia memberikan fatwa tanpa ilmu, sehingga mereka telah menyesatkan dan tersesatlah manusia (karena fatwanya).”

Imam asy-Sya’bi juga mengutarakan penjelasannya bahwa tidak akan terjadi hari kiamat ketika orang yang berilmu dianggap bodoh, dan orang yang bodoh dianggap berilmu. Dan semua itu terjadi di akhir zaman, karena telah terjadi perubahan dalam kebenaran dan terbaliknya berbagai perkara yang dianggap benar.

Karena itulah para ulama tidak boleh diam terhadap persoalan ini, namun pro aktif untuk melakukan upaya perbaikan di tengah-tengah masyarakat serta senantiasa menasehati penguasa yang tidak mengindahkan persoalan agama.

Ulama tidak boleh menjadi alat penguasa yang dzholim atau kufur dalam menenangkan hati rakyat, justru ulama adalah orang yang terdepan dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dihadapan penguasa yang dzholim dan kufur.

Karena itu derajat yang tinggi sebagai ulama bukan untuk menerima uang dari penguasa itu, sehingga ia menjadi penjilat mereka. Karena ia akan diminta pertanggung jawaban kelak di hari akhirat, apakah ia tetap berjalan di jalan yang lurus atau tidak. Dengan demikian seluruh umat harus berhati-hati terhadap para pemimpin ruwaibidhah dan oknum “ulama” yang menjadi segel penguasa. Wallahu a’lam. ***** ( Muhammad Fatih al-Malawiy :