Deforestasi = A.I.D.S (Apakah Ini Dibiarkan Saja?)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia…”
(QS ar-Rūm: 41).
Ayat ini seolah sengaja turun untuk zaman kita. Banjir besar yang kembali memukul Sumatera awal 2025 menegaskan bahwa yang rusak bukan sekadar alam, tetapi cara kita memperlakukannya. Musibah itu bukan sekadar hujan deras. Ia adalah refleksi dari kerusakan yang sudah lama kita rawat tanpa rasa bersalah.
Deforestasi kini menjelma penyakit ekologis kronis. Dan seperti AIDS yang melemahkan daya tahan tubuh manusia, hilangnya hutan melemahkan daya tahan alam. Pertanyaannya menggantung di udara: A.I.D.S—Apakah Ini Dibiarkan Saja?
Deforestasi: Sederhana Namun Mematikan
Agar tidak salah paham, definisi deforestasi perlu ditegaskan
dengan bahasa yang mudah:
deforestasi adalah hilangnya hutan karena pohon-pohonnya ditebang atau dibakar,
lalu lahannya dipakai untuk sesuatu yang lain—misalnya kebun sawit, tambang,
perumahan, atau proyek infrastruktur. Artinya, hutan itu bukan sekadar ditebang
sementara. Ia hilang sebagai hutan. Fungsi ekologisnya lenyap.
Hutan yang semestinya menjadi “spons raksasa” penahan air dan penjaga tanah kini berubah menjadi hamparan lahan panas dan keras. Maka wajar jika sedikit hujan membuat air langsung meluncur liar tanpa bisa ditahan. Di titik itulah banjir bukan lagi kecelakaan alam, tetapi konsekuensi dari ulah tangan manusia.
Data yang Membuka Mata
Data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menegaskan betapa seriusnya kerusakan ini. Sepanjang 2024, Indonesia kehilangan 175.400 hektare hutan secara netto. Dari deforestasi bruto 216.200 hektare, hanya 40.800 hektare yang kembali ditanami.
Angka itu setara dengan lenyapnya ribuan lapangan sepak bola setiap harinya.Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari 92% kerusakan terjadi di hutan sekunder, dan hampir 70% berada di kawasan hutan yang secara hukum seharusnya dilindungi.
Dengan kondisi seperti itu, banjir Sumatera 2025 bukanlah kejutan. Ia adalah perhitungan logis dari persamaan yang sudah lama kita abaikan: hilang hutan = hilang resapan = banjir besar.
Musibah Kausal, Bukan Kebetulan
Dalam perspektif Islam, musibah ada yang murni kehendak Allah
dan ada yang lahir dari ulah manusia. Banjir di negeri ini jelas termasuk
kategori kedua.
Hujan adalah rahmat. Yang menjadikannya bencana adalah tangan manusia yang
merusak penyangga alam.
Kita seperti sengaja merobek payung, lalu marah ketika
kehujanan.Manusia mengingkari tugasnya sebagai khalifah, penjaga bumi.
Kita bersikap seolah alam ini milik perusahaan, bukan amanah yang harus dijaga.
Pohon ditebang, bukit digunduli, sungai dipersempit, dan hutan dikapling untuk
kepentingan modal. Di ujung rantai itu, rakyat kecil yang menerima musibahnya.
Ketika Syariat Ditinggalkan, Alam pun Rusak
Sistem pengelolaan tanah dalam Islam sesungguhnya sangat jelas dan sangat futuristik jika diterapkan hari ini:
● Tanah mati wajib dihidupkan, bukan ditimbun untuk
spekulasi.
● Tanah yang ditelantarkan tiga
tahun ditarik negara, bukan dibiarkan sebagai aset tidur.
● Hutan, tambang, dan sumber
air adalah milik umum, tak boleh dikuasai segelintir pihak.
● Negara berkewajiban membantu
rakyat menggarap tanah, bukan justru mempermudah korporasi menguasai jutaan
hektare.
● Penyewaan lahan pertanian
dilarang,
agar tanah tetap produktif di tangan yang tepat.
Namun realitas hari ini justru kebalikannya. Semua pintu dibuka untuk investasi, sementara pintu perlindungan alam seperti ditutup rapat. Kerusakan lingkungan hanyalah akibat dari sistem pengelolaan yang menyimpang dari prinsip syariat.
Banjir Sumatera 2025: Alarm Keras dari Bumi
Yang terjadi di Sumatera bukan sekadar bencana tahunan. Ia adalah tanda tubuh bumi yang makin lemah. Dan tubuh bumi melemah karena organ vitalnya, yaitu hutan, terus dihabisi.
Jika deforestasi terus berjalan, kita sebenarnya bukan sedang hidup berdampingan dengan bencana—kita sedang menyusun undangan bagi bencana berikutnya.
Penutup: Jangan Menunggu Stadium Akhir
Deforestasi sebagai A.I.D.S ekologis bukan sekadar kiasan. Ia nyata.Dan seperti penyakit berbahaya, jika tak dihentikan, ia akan membawa kita pada kondisi yang tak bisa dipulihkan lagi.
Saatnya kita berhenti pura-pura tidak tahu. Saatnya berhenti menyalahkan hujan. Saatnya kembali pada aturan Allah yang menjaga bumi, bukan merusaknya.Jika tidak, maka pertanyaan itu akan tetap menghantui kita: Apakah Ini Dibiarkan Saja?
(Sofian Siregar , Direktur LSM (Lingkar Studi Mabda) & Alumnus IPB)
