Solusi Dua Negara di Mata Dunia dan Timbangan Syariat Islam



Oleh: Lila Gusti ( Pegiat Literasi)

Solusi dua negara (Two-State Solution) kembali menggema di arena global. Di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York pada Selasa, 23 September 2025, kerangka kerja ini diperdebatkan dan didukung luas sebagai jalan tunggal menuju perdamaian abadi dalam konflik Israel-Palestina.
Two-State Solution adalah usulan penyelesaian konflik dengan mendirikan dua negara berdaulat yang terpisah. Israel untuk bangsa Yahudi dan Palestina untuk rakyat Palestina. Kunci dari solusi ini terletak pada pengakuan bersama atas eksistensi dan kedaulatan masing-masing negara, dengan kesepakatan perbatasan yang disetujui dan status Yerusalem yang dapat diakui sebagai ibu kota bagi kedua belah pihak, atau setidaknya diakui oleh pihak lain.
Dukungan internasional terhadap solusi ini sangat masif. Sekitar 142 negara anggota PBB secara resmi menyetujui dan mendukung Solusi Dua Negara untuk konflik Israel-Palestina, sebagaimana tercermin dalam Deklarasi New York tahun 2025. Negara-negara besar seperti Indonesia, Prancis, Arab Saudi, Inggris, dan Australia, semua menyatakan komitmen pada pembentukan negara Palestina dan Israel yang hidup berdampingan.
Dalam forum tertinggi PBB tersebut, Presiden Prabowo Subianto menegaskan posisi Indonesia: “Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus, kita juga harus mengakui, kita juga harus menghormati, dan kita juga harus menjamin keselamatan dan keamanan Israel. Hanya dengan begitu kita bisa memiliki perdamaian sejati, perdamaian yang nyata, tanpa kebencian dan tanpa kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah solusi dua negara.”
Pandangan ini mencerminkan harapan besar sebagian besar penduduk dunia akan berakhirnya kekejaman yang terus menimpa rakyat Palestina. Namun, di tengah gemuruh dukungan global, muncul pertanyaan fundamental bagi umat Islam: Bagaimana pandangan Islam terhadap Solusi Dua Negara ini?
Perspektif Syariat: Menimbang Makna Pengakuan
Dalam timbangan syariat Islam, Solusi Dua Negara memiliki implikasi yang sangat serius, terutama karena secara implisit atau eksplisit mengandung pengakuan terhadap eksistensi "Israel" sebagai entitas politik berdaulat di tanah yang diyakini umat Islam sebagai tanah milik kaum muslimin sepenuhnya.
Menyetujui solusi dua negara, pada dasarnya, berarti menyetujui pembagian 78% tanah Palestina yang dikuasai Israel saat ini dianggap sah menjadi miliknya, dan hanya 22% (Tepi Barat dan Gaza) yang tersisa yang sah menjadi milik umat Islam Palestina.
Padahal, secara historis, sepanjang sejarah Islam, sejak Penaklukan Syam pada tahun 15 H (637 M) di masa Khalifah Umar bin Khaththab, hingga awal abad ke-20 Masehi, 100% tanah Palestina adalah milik umat Islam. Mengakui, meridhai, atau melegitimasi penjajahan dan perampasan tanah kaum Muslimin adalah haram dalam Islam.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surah An-Nisā` ayat 141:
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisā` : 141).
Ayat yang sering disebut dengan kaidah Nafyu al-Subuˉl (peniadaan jalan) ini menegaskan larangan adanya "jalan" yang dapat digunakan kaum kafir untuk menguasai kaum Muslimin. "Jalan" yang dimaksud bersifat luas, mencakup jalan bantuan utang luar negeri, perjanjian ekonomi, perdagangan, militer, budaya, ideologi, termasuk jalan politik.
Mengadopsi Solusi Dua Negara dapat dilihat sebagai memberikan jalan bagi kaum kafir/penjajah untuk menguasai sebagian besar tanah Muslimin dan melegitimasi perampasan mereka, yang jelas bertentangan dengan prinsip mendasar ayat ini.
Belajar dari Sejarah: Khianat dan Kekerasan
Selain pertimbangan syariat, sejarah panjang interaksi antara entitas Zionis dan bangsa Arab/Palestina menawarkan pelajaran penting.
Sepanjang sejarah kesepakatan damai yang pernah berlangsung, mulai dari zaman para Nabi hingga perjanjian modern, entitas Yahudi sering kali melanggar janji dan kesepakatan damai yang ada. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bahwa perjanjian damai yang tertuang dalam Solusi Dua Negara akan ditaati, terutama mengingat sejarah panjang penindasan dan perluasan permukiman ilegal yang terus berlanjut.
Islam mengajarkan prinsip-prinsip jelas dalam menghadapi kezaliman dan kemungkaran. Dalam menghadapi pihak yang terus menerus melanggar perjanjian dan melakukan kekejaman, seperti yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina maka Islam menawarkan tingkatan penyelesaian yang tegas.
Dalam konteks menghadapi musuh yang berulang kali mengkhianati perjanjian damai, seperti yang terjadi dengan Yahudi pada masa Rasulullah SAW, tindakan yang lebih tegas dianjurkan. Rasulullah SAW memerangi dan mengusir kaum Yahudi yang melanggar perjanjian, menunjukkan bahwa opsi militer untuk menghilangkan kezaliman adalah pilihan yang sah dan terkadang wajib setelah upaya damai dikhianati berulang kali.
Kesimpulannya, dari perspektif Islam yang menolak melegitimasi penjajahan dan perampasan tanah Muslimin, Solusi Dua Negara dianggap sebagai gagasan yang tidak sesuai dengan Syariat. Solusi ini tidak mengembalikan hak 100% tanah Palestina kepada pemiliknya, melainkan membagi dan mengesahkan hasil perampasan, sekaligus memberikan jalan bagi kaum penjajah untuk terus berkuasa.
Bagi umat Islam, penyelesaian sejati konflik Palestina bukan melalui pengakuan terhadap entitas penjajah, melainkan melalui pembebasan total tanah suci tersebut dari penjajahan, sebagaimana yang diajarkan dalam sejarah dan prinsip-prinsip Islam.