Ulasan Kritis Debat Capres-Cawapres Babak ke-Dua



Oleh : Ariansyah Pratama S.M.

Aktivis GEMA Pembebasan Kota Medan

Debat capres-cawapres peserta pemilu 2024 sudah memasuki babak ke-dua. Tiga calon wakil presiden (cawapres) yang berkontestasi dalam Pilpres 2024 beradu gagasan dalam debat yang digelar di Jakarta Convention Centre, Jumat (22/12) malam. Debat yang diselenggarakan oleh KPU ini mempertemukan tiga calon wakil presiden yakni Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD.

Tema debat kali ini adalah ekonomi kerakyatan dan digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN/APBD, infrastruktur, dan perkotaan.

Janji-janji para cawapres terlihat membutuhkan biaya yang sangat besar untuk merealisasikannya, sementara tidak ada gagasan terbaru mengenai dari mana sumber biaya itu didapatkan, bila hanya mengandalkan dari pajak dan utang luar negeri, tentunya akan sangat memberatkan rakyat. 

Para cawapres seharusnya bisa membahas secara lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan baru. 

Menurut Gibran Rakabuming Raka, cawapres nomor urut 02, pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah menambah penerimaan negara. Untuk itu, mereka akan membentuk badan penerimaan negara yang dikomandoi oleh presiden sehingga koordinasi antar-kementerian lebih luwes.

Gibran juga menyebut akan menaikkan rasio pajak sehingga penerimaan negara bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. "DJP dan Bea Cukai akan dilebur jadi satu dan akan mengurusi penerimaan negara saja tidak lagi pengeluaran. kita harus melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Untuk usaha yang omsetnya di bawah 500 jt pajaknya 0%". Pungkasnya

Baru-baru ini, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyoroti kebocoran pengeluaran dan pemasukan pajak di Indonesia.

Kasus subsidi BBM, subsidi listrik, dan lain-lain, menurutnya, semua ini luar biasa sekali dampaknya terhadap masyarakat, yaitu kemiskinan itu di era Jokowi ini hanya turun 1,35 persen atau 1,39 persen. Jadi ini menunjukkan kegagalan di dalam kebijakan fiskal, khususnya adalah menangani penerimaan pajak.

Seharusnya pajak tidak menjadi satu-satunya opsi yang dapat ditawarkan untuk menambah pendapatan negara. Tanpa pungutan pajak, negara pemilik sumber daya alam seperti Indonesia harusnya mampu untuk mengusahakan sumber penerimaan baru. Kuncinya adalah bagaimana memaksimalkan sumber daya yang ada untuk dikelola dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. 

Skema pengelolaan sumber daya alam yang baik dan benar tidak mungkin dapat terlaksana tanpa menerapkan sistem ekonomi Islam beserta paradigma APBN syariah yang akan menjadikan sumber utama pendapatan negara berasal dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pungutan lain yang tentu saja tidak memberatkan. 

Terkait dengan hilirisasi yang kompak diusung paslon nomor urut 02 dan 03. Gibran menjelaskan bahwa nantinya Indonesia harus mampu keluar dari middle income trap - keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah tetapi tidak bisa keluar dari tingkatan menjadi negara maju -. Untuk itu maka upaya yang harus dilakukan adalah menaikkan nilai tambah dalam negeri melalui berbagai skema hilirisasi dan industrialisasi, tidak hanya tambang, tetapi juga pertanian, perikanan dan digital. 

Namun, pelaksanaannya tidak selalu sebaik seperti yang diharapkan dalam teori apalagi janji. Bahan baku berasal dari Indonesia, tetapi hasil produksi berupa barang modal seperti besi dan baja sebagian besar diekspor ke Cina untuk diolah lebih lanjut. Sementara itu, industri turunan smelter di Indonesia tidak berkembang dengan baik.

Banyak tenaga kerja di perusahaan-perusahaan smelter justru berasal dari Cina, sementara tenaga kerja lokal sering kali mendapatkan upah yang lebih rendah. Hilirisasi juga seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar wilayah pertambangan. Selain itu, penerimaan negara tidak sebanding dengan dampak yang diharapkan, karena perusahaan smelter mendapatkan insentif besar dari pemerintah. Seperti tax holiday (cuti pajak) hingga 20 tahun, sehingga penerimaan negara menjadi terbatas.

Adapun terkait dengan redistribusi lahan yang diangkat oleh cawapres nomor urut 03, Mahfud MD, ia menjelaskan bahwa saat ini, 1% penduduk menguasai 75% lahan, sementara 99% penduduk berebut mengelola 25% sisanya. Maka dari itu tambahnya, "Upaya pemerataan harus terus dilakukan, caranya dengan penertiban kepemilikan lahan antara rakyat dengan negara. Lakukan redistribusi tanah, adakan pembagian tanah untuk rakyat, lalu adakan sejuta sertifikat untuk mereka yg memang sudah nenempati tanah itu, lahan lain yg masih terbengkalai akan kita urus nanti bagaimana", tegas Mahfud. 

Sebenarnya penyebab utama konflik pertanahan atau agraria di Indonesia adalah sistem dan administrasi pertanahan yang amburadul

Belum lagi fakta bahwa keberpihakan pemerintah kepada pengusaha yang tampak pada pemberian hak guna usaha (HGU) yang sangat luas dan kadang-kadang mencakup hak masyarakat adat dan petani telah menambah daftar penyebab konflik agraria. 

Akibatnya, ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia menjadi sangat menganga. Jutaan petani tidak memiliki tanah, sementara puluhan juta hektare dikuasai oleh segelintir pengusaha. Meskipun kenyataannya, banyak lahan-lahan tersebut dibiarkan terbengkalai selama bertahun-tahun, sehingga tidak produktif. Celakanya, data pemegang HGU tersebut tidak dibuka ke publik sehingga menjadi pemicu terjadinya konflik agraria antara korporasi dengan rakyat.

IKN menjadi pembahasan yang cukup panas dalam debat kali ini, cawapres nomor urut 02 dan 03 kompak mendukung keberlanjutan proyek IKN, Gibran bahkan dengan percaya diri menyebut IKN sebagai simbol pemerataan dan transformasi pembangunan di Indonesia. Menurutnya, pembangunan IKN yang berkelanjutan akan membuka titik pertumbuhan ekonomi baru, akses dan juga konektivitas sekaligus lapangan kerja. Selain itu, Gibran juga berpendapat bahwa IKN yang dibangun di luar pulau Jawa menyiratkan pemerataan pembangunan yang tidak lagi Jawasentris. 

Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnuwardana justru menilai pernyataan IKN sebagai simbol pemerataan telah batal secara argumentasi. “Alasan yang disampaikan bahwa ini demi pemerataan, ini semua sudah batal secara argumentasi,” tuturnya. 

Hal yang terpenting dari konteks pembangunan IKN ini adalah pembiayaan. Gibran sendiri mengamini bahwa pembangunan IKN tidak sepenuhnya ditanggung APBN, “Banyak yang gagal paham. Tidak 100 persen pembangunan IKN menggunakan APBN. Yang digunakan hanya 20 persen, sisanya investasi dari swasta dan investasi dari luar negeri,” ujarnya. 

Investasi luar negeri yang dimaksud disini tentu adalah utang, atau bisa juga negara melalui UU IKN mengobral HGU kepada swasta selama 95 tahun dan bisa diperpanjang lagi dengan jangka waktu yang sama. Lalu kedaulatan negara ini mau dibawa ke mana bila membiayai Ibu Kota Negara dengan utang luar negeri dan tanahnya diobral kepada swasta? 

Dalam kesempatan itu pula, cawapres nomor urut 01, Muhaimin Iskandar - akrab disapa Cak Imin - menjelaskan "Yang ingin kita wujudkan adalah pertumbuhan yg berkualitas dan inklusif, memiliki dampak langsung dalam penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, dan percepatan pemerataan pembangunan". Ia menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,5 - 6% untuk memitigasi utang luar negeri. Menurutnya, target pertumbuhan 7% tidak realistis dan bila dipaksakan dapat membebani APBN. 

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini belum bisa diikuti oleh pemerataan. Dengan kata lain masih ada ketimpangan, yakni pertumbuhan ekonomi tidak merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat

Bambang menyebutkan setidaknya ada empat hal yang mendorong terjadinya ketimpangan. Keempat hal itu adalah timpangnya akses layanan dasar, kualitas pekerjaan, pendapatan dan aset, serta rendahnya jaring pengaman.

Dalam debat kali ini, Gibran sempat melontarkan pertanyaan yang cukup membingungkan kepada Cak Imin, yakni tentang State of the Global Islamic Economy (SGIE). SGIE adalah laporan tahunan yang mendokumentasikan kondisi ekonomi halal di seluruh dunia. Laporan ini disusun dan dipublikasikan oleh Dinar Standard, perusahaan riset strategi pertumbuhan dan manajemen eksekusi yang memiliki fokus pada inovasi pemerintah, ekonomi halal/etis global, dan dampak sosial.

Penulis secara pribadi cukup mengapresiasi perihal SGIE ini diangkat dalam debat cawapres, namun sayang pembahasan dalam SGIE masih berkutat terkait dengan makanan, pakaian dan industri halal semata, belum menyentuh permasalahan ekonomi Islam secara fundamental dan komprehensif. 


Tercium Bau Oligarki

Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menduga siapa pun pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan bertarung pada pilpres 2024, ada oligarki di belakangnya.

Ia berargumen, oligarki memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap siapa yang akan menjadi presiden, karena itu akan menentukan nasib bisnisnya. Ia menambahkan, oligarki juga bertujuan agar bisnisnya berkembang besar dan menggurita dengan dukungan kekuasaan. Di sisi lain, ucapnya, politisi membutuhkan dana yang sangat besar untuk memenangkan kontestasi politik.


Pragmatisme Politik

Sistem demokrasi-sekuler rentan melahirkan politik pragmatis, bukan idealis apalagi ideologis. Pragmatisme politik ini sulit dihindari karena semua keputusan politik di dalam sistem demokrasi merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan elite politik. 

Meski seseorang memiliki kapabilitas dan integritas yang baik, memiliki gagasan yang cemerlang, tetapi jika tidak ada dalam radar survei jangan berharap bisa dicalonkan oleh partai politik.

Sementara itu, alih-alih menawarkan syariah Islam, partai Islam malah terjebak dalam kubangan sekularisme yang semakin menjauhkan umat dari Islam.

Karena itu, sudah saatnya umat Islam sadar bahwa sistem politik sekuler selain bertentangan dengan Islam sejatinya telah banyak merugikan kaum Muslim.

Ini hanya contoh dari banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem dan kebijakan ekonomi yang berlandaskan kapitalisme. Penerapan sistem tersebut tidak hanya menyebabkan kerusakan, tetapi yang paling esensial adalah diabaikannya hukum-hukum Allah SWT dan Rasul-Nya dalam pengelolaan negara, termasuk dalam aspek ekonomi.


Kesimpulan 

Oleh karena itu, agenda utama umat Islam dan rakyat Indonesia di tahun 2024 bukanlah memenangkan salah satu paslon yang bila terpilih belum tentu melayani kepentingan umat, melainkan harus mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem Islam untuk menuju Indonesia yang baik dan diridhai Allah SWT. 

Tetapi perlu diingat, untuk mencapai itu diperlukan perjuangan total dengan mendakwahkan Islam secara politik kepada segenap umat. Maknanya, menyampaikan bahwa agama Islam diturunkan tidak hanya mengatur urusan ibadah ritual saja, tetapi seluruh aspek kehidupan.