Islam Menjawab Dilema Greenflation

 


Ariansyah Pratama S.M.

(Aktivis GEMA Pembebasan Kota Medan) 

Debat Capres-Cawapres peserta pilpres 2024 telah memasuki babak yang keempat. Debat yang diselenggarakan pada Ahad (21/1/2024) diikuti oleh ketiga kandidat cawapres mengusung tema "Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa".

Dalam sesi tanya jawab, cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka menanyakan tentang Greenflation kepada cawapres nomor urut 03 Mahfud MD. "Bagaimana cara mengatasi Greenflation? Terimakasih", tanya Gibran singkat kepada Mahfud. 

Pertanyaan ini sempat membingungkan lantaran memakai istilah yang cukup asing. Moderator debat mengingatkan agar terminologi asing ataupun singkatan harus dijelaskan terlebih dahulu. 

Gibran menjelaskan Greenflation sebagai Inflasi Hijau, "se-simple itu", tukasnya sebelum mempersilakan Mahfud untuk menjawab. 

Namun apa Greenflation itu sebenarnya? 

Greenflation diambil dari dua kata, Green (hijau) + (in)flation (kenaikan harga). Sederhananya Greenflation adalah kenaikan harga barang dan komoditas secara umum dan terus menerus akibat peralihan menuju penggunaan energi hijau atau energi baru terbarukan (EBT) 

Selama ini sumber energi kita (listrik, BBM, gas, dll) diperoleh dari eksploitasi sumber daya alam yang tak terbarukan (fosil) seperti batubara dan migas yang juga sering di cap sebagai sumber energi 'kotor' sebab disinyalir dalam proses mendapatkan dan menggunakannya mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan

Menyadari itu, banyak pihak baik itu negara maupun swasta berusaha untuk mengurangi dampak penggunaan sumber energi kotor tersebut dengan beralih kepada EBT seperti angin, air, surya, panas bumi, dll, yang dinilai lebih ramah lingkungan

Namun mengupayakan peralihan itu bukan perkara mudah dan murah. Jika dibandingkan dengan sumber energi fosil yang didapatkan dari proses ekstraksi kandungan bumi yang tak memerlukan banyak bantuan teknologi mutakhir, untuk memanfaatkan EBT masih memerlukan serangkaian penelitian dan pengembangan serta penerapan teknologi yang memerlukan biaya besar. 

Sebagai perbandingan, menurut Laporan Statistik PLN, sampai akhir tahun 2022 rata-rata biaya pembangkitan listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia sebesar Rp1.034,52 per kilowatt-hour (kWh). Sementara, rata-rata biaya pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU), yang umumnya menggunakan bahan bakar batu bara, hanya Rp737,52 per kWh.

Rata-rata biaya pembangkitan listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) lebih murah lagi, yakni hanya Rp143,97 per kWh. Padahal, PLTGU menggunakan sumber energi fosil, seperti solar industri atau gas bumi hasil kompresi. 

Sementara pembangkit listrik EBT jenis lain, seperti tenaga air (PLTA) dan tenaga panas bumi (PLTP), kapasitas terpasangnya masih lebih kecil dibanding PLTU, PLTGU, dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang menggunakan energi fosil. 

Selain biaya memperoleh EBT yang lebih mahal, demi mengurangi penggunaan energi fosil, korporasi juga dikenai biaya tambahan (pajak karbon) ketika mendayagunakan energi fosil tersebut sehingga hal ini mnyebabkan kenaikan harga bahan bakar. Kenaikan harga bahan bakar kemudian memicu terjadinya kenaikan harga berbagai komoditas secara umum

Disamping itu, peningkatan permintaan bahan baku utama untuk memperoleh EBT akibat pembatasan penggunaan energi fosil juga dapat memicu kenaikan harga komoditas strategis tertentu. 

Selain masalah baru yang ditimbulkan oleh EBT, transisi kepada bioenergi seperti biofuel (Bahan Bakar Nabati) dan biomassa juga turut menghasilkan emisi yang lebih tinggi dari energi fosil jika dilihat dari rantai produksi secara keseluruhan. 

Manajer Portofolio Bioenergi Trend Asia Amalya Okta mengemukakan, salah satu program pengembangan bioenergi, yakni co-firing atau pembakaran bersama biomassa pelet kayu dan batubara, dapat menimbulkan deforestasi besar-besaran. Sebab, sebanyak 8 juta ton dari total kebutuhan 10,2 juta ton biomassa untuk co-firing tersebut berasal dari hutan tanaman energi (HTE).

Potensi deforestasi dari pengembangan bioenergi ini juga telah ditunjukkan melalui hasil kajian Trend Asia tentang co-firing biomassa khusus dari kayu terhadap 52 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) eksisting dari 2021-Mei 2022. Trend Asia menemukan bahwa risiko terjadi deforestasi dan permintaan batubara akan tetap meningkat meski telah ada program co-firing.

Di sisi lain, peningkatan kebutuhan lahan perkebunan sawit untuk pengembangan bioenergi ini berpotensi menimbulkan konflik. Sebab, program B50 yang merupakan pencampuran solar dengan 50 persen bahan bakar nabati yang dicanangkan untuk 2025 akan membutuhkan tambahan lahan seluas 9,29 juta hektar.

Alih-alih mengatasi masalah lingkungan, meningkatnya deforestasi di berbagai wilayah untuk pengembangan bioenergi akan berimplikasi pada kenaikan emisi karbon. Implikasi lain dari deforestasi ini, yaitu hilangnya biodiversitas, sumber air, dan pangan, serta bertambahnya eskalasi bencana.

Sejak program B30 diluncurkan pada 2018 hingga 2021, permintaan Crude Palm Oil (CPO) untuk sektor energi meningkat sebesar 14% per tahun. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menunjukkan konsumsi CPO untuk biofuel naik dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020. 

Di samping itu, pangsa CPO untuk industri makanan malah turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020. Hal ini tentu berdampak pada stabilitas harga pangan. Kompetisi antara lahan untuk energi dan pangan, akhirnya menyebabkan kenaikan harga pangan yang membuat pemenuhan pangan yang baik semakin tidak terjangkau.

Hal ini yang kemudian memicu terjadinya inflasi yang disebabkan oleh peralihan kepada penggunaan energi hijau (EBT) sehingga disebut greenflation

Greenflation ini telah menjadi dilema yang cukup serius antara mengutamakan efisiensi ekonomi atau tanggung jawab terhadap alam dan lingkungan

Namun benarkah satu-satunya solusi menyelamatkan lingkungan dan alam hanya dengan beralih kepada penggunaan EBT dan bionergi yang tak efisien dan menimbulkan masalah baru tersebut? 

Kerusakan lingkungan dan alam banyak diakibatkan oleh kegiatan eksploitasi yang dilakukan manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Kegiatan eksploitasi sumber energi fosil telah menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dari hulu hingga hilir. 

Sistem Kapitalisme yang berjalan di negara ini telah memberikan kebebasan (liberalisasi) pada individu swasta untuk melakukan eksploitasi sumber daya energi demi memenuhi kepentingan bisnis semata. Hal ini menyebabkan eksploitasi terjadi semakin massif dan tak terkendali. 

Liberalisasi sumber daya energi tampak pada penyerahan blok-blok migas potensial kpada swasta. Sebagai contoh, dari 137 wilayah tambang migas nasional yang dikelola SKK Migas, kontraktor asing (swasta) masih mendominasi. 

Peralihan dari energi fosil ke EBT juga ternyata tidak memberi solusi nyata tetapi justru menambah permasalahan baru

Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menyebut proyek bioenergi dalam bentuk biodiesel telah merusak Pertamina sebagai perusahaan migas. Menurut Daeng, proyek ini akan membuat Pertamina sangat tergantung pada segelintir konglomerat sawit, sebab Pertamina tidak punya kebun sawit sebagai pemasok CPO

Megaproyek ini telah menyandera APBN untuk mensubsidi para konglomerat sawit dalam jumlah yang sangat besar. Program ini juga telah menyedot keuangan negara dari iuran sawit kembali kepada perusahaan para konglomerat.

Megaproyek ini juga telah menyandera Pertamina karena harus membeli minyak sawit dengan sangat mahal. Daeng menilai, harga minyak sawit sekarang mencapai 5200 ringgit per ton. Dan sebanyak 10 juta ton minyak sawit untuk mencampur solar harus dibeli Pertamina dengan sangat mahal. Bisa mencapai 170 triliun rupiah lebih.

Solarisasi sawit Pertamina tersebut, menurut Daeng, terkesan mengikuti agenda para bandar sawit besar. Hal itu tampak sebagaimana diketahui, sawit dipandang sebagai faktor penyebab kehancuran hutan tropis di Indonesia dan Malaysia yang sekaligus sebagai produsen sawit terbesar dunia.

Bahkan Eropa melalui duta besarnya baru-baru ini mengatakan, solarisasi sawit semacam yang dilakukan Indonesia bukan merupakan agenda transisi energi.

Kesimpulan

Peralihan dari yang tadinya menggunakan energi fosil yang tidak ramah lingkungan ke EBT yang lebih ramah lingkungan merupakan hal yang sangat dibutuhkan saat ini, mengingat kerusakan alam dan lingkungan sudah terjadi sedemikian massif. Misalnya saja beralih kepada sumber energi nuklir. 

Dalam proses pembangkitan energinya, energi nuklir tidak menghasilkan gas rumah kaca maupun polusi udara ke lingkungan seperti pembangkit berbahan bakar fosil. Akan tetapi, kerap diasosiasikan dengan persenjataan dan bahaya radiasi, pemanfaatan energi nuklir masih penuh dengan kontroversi. Untuk itu sepertinya pemanfaatan nuklir belum menjadi alternatif yang bisa direalisasikan dalam waktu dekat. 

Demi mengurangi dampak kerusakan lingkungan, sepatutnya kegiatan eksploitasi sumber daya energi tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Melainkan harus dikelola oleh negara dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. 

Prinsip pengelolaan sumber daya energi untuk melayani kepentingan rakyat hanya dapat dilaksanakan bila sistem ekonomi Kapitalisme yang berjalan di negeri ini diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menyerahkan hak kepemilikan sumber daya energi kepada seluruh rakyat, sebagaimana termaktub dalam hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah yang berbunyi : "Kaum Muslim (rakyat) berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput dan api (energi) dan harganya adalah haram".

Dengan begitu, kegiatan eksploitasi secara besar-besaran dan serampangan yg mengakibatkan kerusakan lingkungan akan perlahan berkurang, sebab paradigma pemanfaatan sumber daya energi adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan untuk mengejar keuntungan bisnis. 

Sehingga tidak perlu repot-repot melakukan peralihan kepada EBT dalam waktu dekat bila ternyata belum efisien dan dapat menyebabkan kerugian (inflasi) ekonomis.