TERLEPASNYA SIMPUL-SIMPUL ISLAM (Syarah Hadits )

“Sungguh, simpul-simpul Islam akan dilepaskan satu demi satu, setiap kali satu simpul terlepas, orang-orang bergantung pada simpul berikutnya.Yang pertama terlepas adalah al-hukm (Pemerintahan/hukum) dan yang terakhir adalah sholat.” (Imam Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini) 

Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini menyatakan bahwa hadits tersebut seluruh isnadnya shohih.Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’bul Iman, Imam ath-Thabrani dalam kitab Mu’jam al-kabir, dan Imam Ahmad dalam kitab Musnad Imam Ahmad. Adapun Imam Ahmad menukil hadits di atas berturut-turut dari Walid bin Muslim, dari Abdul Aziz bin Ismail bin Ubaidillah, dari Sulaiman bin Habib, dari Abu Umamah al-bahili, dari Rasulullah saw.Selain itu, Muhammad bin Nusr bin al-Hajjaj al-Muruzi dalam kitab Taqdir Qadr ash-shalah, al-Haitsami dalam kitab Majma’ az-Zawa’id, dan al-Minawi dalam kitab Faidh al-Qadir juga menilai hadits di atas adalah hadits yang tidak diragukan lagi tentang keshahihannya. Karena itu, hadits di atas hadits yang dapat diterima terkait dengan berita yang disampaikan, sebab berdasarkan riwayatnya adalah shohih dan dirayahnya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lain.

Terkait dengan simpul-simpul islam tersebut Imam al-hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihaini juga mengeluarkan beberapa hadits yang lain, diantaranya : “Sungguh, simpul-simpul Islam akan dilepaskan satu demi satu, (pada saat itu) akan ada para pemimpin yang tersesat, dan sungguh keluarlah dajjal yang ketiga pada masa itu.” Imam Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya menilai bahwa hadits tersebut merupakan berita tentang simpul Islam yang pertama kali terlepas adalah dari sisi rusaknya hukum (pemerintahan) dan penguasanya.Sedangkan Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihhya menyatakan tentang terlepasnya simpul-simpul Islam dan terpecah belahnya jama’ah (kesatuan) umat Islam. Sehingga, berita tentang terlepasnya simpul-simpul Islam sangat erat kaitannya dengan sistem pemerintahan, para, penguasa, dan hukum-hukum yang diterapkan untuk menjaga kesatuan umat dan pelaksanaan ajaran Islam yang diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.

Imam Ibnu Mandzur dalam kitab lisan al-Arabmenyatakan bahwa ‘ura adalah jamak dari ‘urwah. Sedangkan kata ‘urwah sendiri secara bahasa memiliki beberapa makna antara lainalwutsqa (perjanjian) atau tamassuk (pegangan). Al-Minawi dalam kitab Faidh al-Qadir menyatakan bahwa ‘ura islam adalah gaya majaz isti’arah yang digunakan untuk menyebut perkara agama berupa cabang-cabang Islam yang dijadikan pegangan dan tempat untuk bergantung. Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’bul Iman menyebutkan yang dimaksud ‘urwah adalah hal-hal yang menjadi pegangan dalam menjaga agama, hukum-hukum, serta syari’at-syari’atnya.Demikian pula penjelasan Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab shohihnya bahwa ‘ural Islam adalah hudud, ahkam, dan beberapa perkara yang berkaitan dengan ajaran Islam.Dengan demikian, simpul-simpul Islam adalah ajaran-ajaran Islam itu sendiri, dimana ajarannya meliputi berbagai perkara; baik aspek pemerintahan yang menjalankan hukum atau aspek ibadah ritual seperti pelaksanaan ibadah sholat.

Oleh sebab itu, aspek pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari islam seperti halnya sholat. Hadits ini telah menggugurkan pendapat orang bahwa pemerintahan adalah urusan dunia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan ajaran islam. Justru sebaliknya, hadits di atas menyatakan bahwa salah satu simpul ajaran islam yang mesti dipegang adalah sistem pemerintahan yang menjalankan seluruh hukum-hukum Islam. Karena itu pula, memisahkan pemerintahan dari islam sama artinya dengan membuang salah satu simpul islam. Realitas telah menunjukkan, ketika pemerintahan islam yakni khilafah di Turki berhasil diruntuhkan oleh Inggris dan anteknya Mushafa kemal at-tartuk, banyak sekali hukum-hukum islam yang harusnya diterapkan, diabaikan begitu saja, bahkan hilang dari ruang publik pengaturan masyarakat. Hingga sekarang, hanya tersisa pada sektor privat yang tercermin pada ritual ibadah, unsur akhlak, dan pernikahan semata.

Dalam hadits di atas mengabarkan bahwa ‘ura islam itu akan diurai satu persatu. Ungkapan dalam bentuk fasif (bina majhul) menunjukkan bahwa terurainya ‘ural islam itu tidak terjadi dengan sendirinya.Tetapi diurai atau dirusak, bahkan dihancurkan oleh orang yang tidak suka terhadap ajaran-ajaran Islam.Sehingga, umat Islam terperdaya dan mengikuti jejak langkah mereka. Bahkan, mereka mampu untuk memperalat umat islam untuk menghancurkan ajaran-ajarannya sendiri. Kalimat al-hukm yang menjadi kalimat pertama dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa al-hukm menjadi fokus pertama atau sasaran utama untuk dihancurkan. Jika al-hukm berhasil diurai atau dirusak maka itu menjadi pembuka bagi terurainya simpul-simpul islam yang lain. Hingga perkara terakhir yang menjadi benteng umat Islam yang berkaitan dengan ibadah sholat pun, diabaikan dan disepelekan pelaksanaannya.Padahal, bila masih ada sistem pemerintahan Islam, umat Islam yang tidak melaksanakan sholat tetap terkena hukuman sebagaimana penjelasan para ulama mazhab dalam kitab-kitab mereka.

Munculnya pemahaman yang keliru berkaitan dengan hak asasi manusia, dimana seorang ayah sekalipun tidak boleh memukul anaknya walaupun dalam urusan agar anaknya mau melaksanakan ibadah sholat sebagaimana hadits Rasulullah saw, hal ini merupakan upaya agar anak-anak umat ini memiliki pemahaman sebagaiman orang-orang yang berupaya untuk memisahkan simpul-simpul islam. Karena itu, ‘urwah islam yang berkaitan dengan ibadah sholat serta metode menegakkannya harus tetap dijaga.Anak-anak umat ini harus diajarkan bagaimana pentingnya melaksanakan ibadah sholat, termasuk tatacara mengerjakannya.Namun, upaya yang terakhir ini menuntut kita untuk menggalang persatuan dalam rangka mewujudkan ‘urwah al-hukm. Karena ‘urwah al-hukm akan melindungi dan melaksanakan seluruh pelaksanaan ‘ural islam. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa imam (penguasa dalam Islam) adalah junnah (perisai) yang melindungi Islam dan kaum Muslim dari berbagai penindasan, kedzholiman, dan keterjajahan sebagaimana yang kita saksikan hari ini.

Dengan demikian, apa dijelaskan oleh para ulama berkaitan terlepasnya simbol islam karena pemimpin yang tersesat atau rusaknya penguasa serta hukum-hukum islam yang tidak dijalankan lagi menjadi bukti tersendiri dengan lahirnya realitas yang semakin mengkhawatirkan terkait dengan ajaran-ajaran islam. Upaya untuk memperbaiki merupakan kewajiban utama bagi anak-anak umat ini agar Islam sebagaimana pernah diterapkan pada masa yang lalu, tampil kembali sebagai institusi yang sangat disegani kawan dan ditakuti oleh lawan. Bandingkan dengan realitas institusi yang dimiliki oleh umat islam pada masa ini, yakni sistem tatanegara yang diterapkan oleh umat Islam dengan perpecahannya yang cukup banyak, tidak mampu mengangkat harkat dan martabat islam dan kaum muslim dari berbagai penjajahan yang dilakukan oleh Barat, bahkan anak-anak umat islam rela dan dengan senang hati menghamba pada Barat, walaupun mereka telah melecehkan keberadaan islam.

Karena itu, pernyataan bahwa ‘ural islam sangat erat kaitannya dengan terpecah belahnya kesatuan umat islam telah terlihat di depan mata. Al-hukm yang menjadi titik fokus penyerangan yang pertama kali benar-benar telah menjadikan umat islam tidak mampu lagi untuk melindungi urwah-urwah islam yang lainnya. Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan kembali ‘urwah al-hukm, yakni sistem pemerintahan yang menerapkan seluruh hukum-hukum Allah dan dapat melindungi umat ini dari kedzholiman, merupakan upaya strategis untuk memperbaiki seluruh simbol-simbol islam. Disisi lain, penerapan seluruh hukum-hukum Allah dan kuatnya kembali persatuan umat Islam bukan dalam rangka menjajah berbagai negeri dan mendzholimi manusia sebagaimana yang telah dilakukan Barat pada umat islam. Namun, islam yang tampil dengan seluruh potensi dan seluruh kekuatannya hanya ditujukan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Insya Allah.

Penulis :  Muhammad Fatih al-Malawiy
Ketua Lajnah Tsaqafiyyah HTI Sumut, Mudir Ma’had ats-Tsaqafiy