Tawuran Merenggut Nyawa Lagi, Sampai Kapan Begini?
Aulia Zuriyati (Aktivis Muslimah)
“Meski aparat kerap turun tangan meredam tawuran di Belawan, kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan sosial pemuda setempat, sehingga kekerasan terus berulang dan menelan korban jiwa.”
Lagi dan lagi kita mendengar aksi tawuran antar pemuda yang menelan korban jiwa. Seorang pemuda tewas setelah dadanya tertancap anak panah dalam bentrokan di kawasan Kampung Kolam, Kelurahan Belawan Bahagia, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan. Peristiwa ini menambah panjang daftar korban sia-sia akibat kekerasan jalanan di wilayah tersebut.
Ironisnya, Belawan bukan sekali dua kali mencatat tragedi semacam ini. Seakan sudah menjadi pemandangan rutin, tawuran pecah, korban berjatuhan, aparat datang, dan kemudian masyarakat kembali hidup dalam ketakutan menanti bentrokan berikutnya (kompas.com, 29/06/2025).
Pertanyaannya, sampai kapan Belawan dibiarkan jadi panggung kekerasan? Mengapa akar persoalan tidak kunjung diselesaikan? Mengapa pemuda di sana seakan tidak memiliki arah hidup selain adu kekuatan dan menebar teror di jalanan?
Dalam sistem hari ini, respons aparat biasanya baru muncul setelah korban jatuh atau kasus viral di media. Seolah nyawa manusia hanya berharga ketika sorotan publik menuntut keadilan. Padahal, dalam Islam, pemimpin adalah penanggung jawab urusan rakyat. Rasulullah pernah bersabda, “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (h.r. Bukhari).
Artinya, negara wajib hadir sebelum tragedi menimpa, bukan hanya bertindak setelah darah tertumpah. Fenomena tawuran yang terus berulang menegaskan gagalnya sistem pembinaan generasi hari ini. Pemuda kehilangan panutan, kehilangan arah, terjebak dalam lingkungan yang miskin kasih sayang dan miskin peluang memperbaiki diri.
Pendidikan karakter gagal membangun kesadaran mulia dihati mereka. Masyarakat pun terjebak dalam budaya permisif membiarkan pemuda menghabiskan waktu tanpa kegiatan positif, hingga akhirnya amarah dan dendam menjadi saluran pelampiasan. Kehidupan dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari aturan kehidupan yang membuat pemuda tidak kenal makna hidup yang hakiki.
Mereka tumbuh tanpa visi sebagai hamba Allah sekaligus khalifah fil ardh (pengelola bumi), sebagaimana yang diajarkan Islam. Akibatnya, nilai-nilai mulia seperti ukhuwah, kasih sayang, dan kepedulian tercerabut, yang digantikan oleh budaya geng, dendam, dan pembalasan.
Padahal Islam begitu menaruh perhatian pada keamanan jiwa manusia. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar.” (TQS. Al-Isra ayat 33).
Islam menegaskan bahwa satu nyawa saja bernilai sangat besar. Bahkan Rasulullah bersabda, “Hilangnya dunia lebih ringan disisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (h.r. Nasa’i).
Negara dalam Islam tidak hanya berfungsi menindak lanjuti pelaku kriminal setelah kejadian, tetapi membina masyarakat agar kejahatan tidak bersemi sejak awal. Remaja dididik dengan akidah Islam yang kokoh, difasilitasi dengan aktivitas yang menumbuhkan bakat dan potensi mereka. Negara juga menyiapkan lingkungan sosial yang sehat, termasuk pemberdayaan ekonomi dan budaya, agar para pemuda tidak terjerumus ke dalam kekerasan jalanan.
Sayangnya, dalam sistem kapitalistik hari ini, wilayah pinggiran seperti belawan sering diabaikan. Pembangunan hanya berorientasi pada nilai ekonomi. Pemuda di kawasan pelabuhan itu tak diupayakan pembinaan mental dan spiritual yang layak. Padahal Belawan adalah kawasan dengan beragam masalah sosial kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas yang perlu perhatian ekstra.
Selain itu, lemahnya ketahanan keluarga ikut menjadi akar persoalan. Banyak orang tua tidak mampu mendidik anak dengan nilai Islam karena sibuk mencari nafkah dalam sistem ekonomi yang menindas. Akibatnya, anak-anak tumbuh liar, mencari jati diri di jalanan, hingga kemudian menjadi bagian dari lingkaran kekerasan.
Islam menuntun agar keluarga menjadi madrasah pertama yang menanamkan iman, akhlak, dan rasa takut kepada Allah Swt. ketika iman tertanam, pemuda akan malu menumpahkan darah saudaranya sendiri hanya demi harga diri semu. Jadi sudah saatnya kita menyadari, pembenahan sekadar dengan menambah patroli atau menangkapi pelaku tidak akan menuntaskan masalah.
Tawuran hanyalah gejala dari kerusakan sistem kegagalan negara membina generasi dan menyehatkan lingkungan sosial. Maka yang diperlukan adalah perubahan menyeluruh berbasis akidah Islam. Sistem Khilafah memberikan perhatian mendasar pada pendidikan generasi, pembinaan keluarga, hingga pengelolaan wilayah secara adil tanpa diskriminasi.
Negara dalam Islam tidak menunggu laporan viral untuk bergerak, melainkan proaktif memastikan keamanan, kesejahteraan, dan ketenteraman warga. Mekanisme amar makruf nahi munkar pun dilembagakan, sehingga masyarakat bisa saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran secara terorganisir dan sah di mata hukum.
Jika umat masih mempertahankan sistem sekuler dan kapitalis sekarang, maka jangan heran tragedi semacam ini akan terus berulang. Jalanan tetap jadi arena duel berdarah, generasi muda hilang arah, dan orang tua hanya bisa menangisi anak-anaknya yang terbunuh sia-sia.
Islam tidak hanya mengajarkan salat dan puasa, tetapi juga menata sistem kehidupan agar kejahatan dapat dicegah dari akar. Inilah saatnya kita kembali menjadikan Islam sebagai pedoman, bukan hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam mengatur pendidikan, keamanan, dan ketertiban masyarakat secara kafah.
Wallahualam bissawab.