Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Demokrasi Kerap Terjadi

 



Oleh Susan Efrina (Aktivis Muslimah)


Sejumlah figur yang menduduki posisi sebagai menteri, kepala daerah, hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turut meramaikan kontestasi pemilihan presiden 2024. Penyalahgunaan fasilitas negara, termasuk penggunaannya untuk keperluan kampanye, sangat rawan terjadi. Tanpa pengawasan dan pencegahan, kontestan pemilihan presiden  2024 mungkin saja berkompetisi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.


Dari tiga pasangan bakal capres dan cawapres yang telah diumumkan saat ini, hanya ada dua nama figur yang sudah non aktif sebagai pejabat. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menyampaikan, peluang penggunaan fasilitas negara dalam pemilu 2024 akan selalu terbuka, apa lagi jika kontestan merupakan seseorang yang masih menjabat. Penyalahgunaan ini berpotensi karena bisa saja peserta pemilu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan kampanye.


“Misalnya program-program pemerintah digunakan sebagai alat kampanye,” kata Nisa, sapaannya, dihubungi reporter Tirto, Selasa (24/10/2023) (tirto.id, 25/10/2023).


Dalam sistem demokrasi kapitalisme, biaya untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden sangatlah mahal. Hanya orang super kaya dan didukung oleh orang kaya yang bisa untuk meraih kekuasaan tersebut. Kalau untuk mengandalkan kekayaan pribadi saja rasanya tidak cukup untuk mendapatkan itu. Sehingga para calon menikmati “aji mumpung” masih berada pada jabatan yang di embannya saat ini untuk memakai fasilitas dan anggaran  dalam kampanyenya.


Ada pun, anggota KPU RI Idham Holik mengatakan bakal calon presiden maupun calon wakil presiden yang masih berstatus sebagai menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari presiden untuk cuti.


Berdasarkan pada Pasal 16 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan wakil presiden. Menteri dan pejabat setingkat menteri, Pasal 15 PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tidak perlu mengundurkan diri jika mencalonkan sebagai presiden atau wakil presiden. Adapun pejabat-pejabat tersebut adalah presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.


Ketentuan mengenai masa cuti yang diberikan tercantum dalam pasal 36 ayat 1, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2018, yang mengatur bahwa menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, melaksanakan cuti selama satu hari kerja dalam satu minggu pada masa kampanye pemilu (antaranews.com, 18/10/2023).


Sistem politik demokrasi kapitalisme yang lahir untuk kepentingan pemilik modal untuk meraih kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat. Hakikat demokrasi sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat hanyalah mitos saja. Sehingga lahirlah aturan KPU yang memberi peluang dan ruang para calon pejabat untuk melakukan  penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi/golongan, bahkan juga memanfaatkan fasilitas negara dan memakai anggaran negara. 


Selain itu ada potensi pengabaian tanggung jawab tugas, dan abai terhadap hak rakyat. Dilansir dari Voa Indonesia.com, pada tanggal 22 Oktober 2023, partai buruh menuntut kenaikan upah sebesar 15 persen, yang asumsinya inflasi makanan tersebut menjadi dasar dari partai buruh untuk kenaikan upah minimum pada 2024. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apa lagi didukung regulasi yang ada.


Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusia. Karena sistem ini di bangun atas asas sekulerisme yang memisahkan antara agama dari kehidupan. Politik demokrasi kerap dijadikan ajang untuk meraih keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya serta meniscayakan kebijakan-kebijakan yang lahir hanya untuk kepentingan pribadi/golongan.


Islam mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, kepemimpinan dalam Islam berbeda dengan presiden, khalifah tidak memiliki masa periode. Sehingga tidak ada pemilihan khalifah setiap lima tahun sekali. Setelah di angkat, khalifah tidak boleh di ganti kecuali ada alasan syar’i yang mengharuskan khalifah boleh diberhentikan. 


Oleh karena itu, tidak ada pengumpulan dana untuk modal pemilihan umum maupun untuk kampanye yang akan menghabiskan dana yang sangat besar. Meski pun, kampanye diadakan maka kampanye tidak akan menjadi andalan untuk dapat khalifah terpilih, karena khalifah yang terpilih adalah tokoh yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat dan sudah berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Ketegasan Islam akan adanya pertanggung jawaban di akhirat dapat menjaga setiap orang termasuk calon pejabat untuk taat pada Aturan Allah dan rasul-Nya. Pemimpin dalam Islam bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunah dalam menjalankan amanah. 


Salah satu sejarah dalam kepemimpinan Islam di masa Khalifah Umar bin Abdul Azis dan lampu istana merupakan contoh yang kerap diceritakan. Pada saat Umar bin Abdul Azis malam itu didatangi oleh putranya langsung beliau bertanya, “Untuk urusan apa wahai anakku engkau datang ke sini? Untuk urusan negara ataukah urusan keluarga?” “Urusan keluarga ayahku,” jawab putranya. Lalu Umar spontan mematikan lampu penerangan di atas mejanya. Selanjutnya, Umar meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam. “Nah sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita , minyak pun di beli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah.”


Perlunya pemimpin yang bertakwa yang menerapkan Islam. Pemimpin muslim yang bertakwa akan senantiasa memperhatikan urusan dan kemaslahatan rakyat. Sebab, pemimpin yang bertakwa takut kelak akan diminta pertanggung jawaban pada hari kiamat akan amanah yang di embannya dan rakyatnya pun akan menuntut dirinya di hadapan Allah Swt. atas kemaslahatan rakyat yang dia abaikan. Rasul saw., bersabda: “Pemimpin yang mengurusi urusan  masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.” (h.r. Al-Bukhari dan Muslim). 


Motivasi menjadi seorang pemimpin didorong atas dasar ketakwaan dan keimanan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt. menjalankan berbagai kewajiban syariat dan hukum-hukum Islam, bukan untuk mengejar kedudukan sebagai seorang pemimpin yang melakukan  perbuatan dosa dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat sesuai dengan hawa nafsu. Islam memiliki segenap aturan yang bisa menjamin kesejahteraan seluruh umat. Karena penerapan syariah yang menyeluruh oleh pemimpin yang bertakwa itulah yang harus kita wujudkan bersama.


Wallahualam bissawab.