Penguasa Anti Kritik?



Oleh Astri Ahya Ningrum, S.Pd (Praktisi Pendidikan)

Hak asasi manusia atau HAM merupakan hal yang sangat dijamin di dalam sistem demokrasi. Pasalnya hal tersebut merupakan hak bagi setiap individu tanpa pernah memandang status sosialnya. Setiap individu diberi kebebasan yang sama sehingga kita harus bisa untuk menghormati, menjaganya dan tidak mengusik setiap individu lainnya. Apalagi HAM menjadi bagian dari UU yang tercantum di dalamnya. Ini tentu menjadi jaminan atas hidup setiap individu.


Karena HAM merupakan hal yang sangat diagung-agungkan di dalam sistem demokrasi. Tidak heran jika ada masyarakat yang berani untuk menyuarakan pendapatnya. Mengkritik kebijakan penguasa yang tidak sesuai, berani menyuarakan ketidakadilan. Keberanian itu muncul sebab dorongan dari situasi rumit yang dialami serta merasa dapat dilindungi oleh sistem hari ini.


Namun faktanya, praktik HAM sering kali tidak sesuai dengan praktik di lapangan. Jelas berbeda dan biasanya sering tidak memberikan keadilan bagi masyarakat. Apalagi jika kasusnya terjadi pada individu atau masyarakat yang lemah tidak memiliki kekuasaan. Kepada yang lemah penegakkan HAM sering tidak diterapkan tentu ini sangat tidak adil dilihat dari segi kemanusiaan. Sangat jauh berbeda dengan apa yang dimuat pada UU yang membahas tentang HAM. Jika dalam praktiknya berbeda menandakan adanya HAM hanya formalitas saja. 


Kasus yang sering terjadi di negeri ini adalah ketika kita mencoba untuk menyampaikan pendapat dan kritik terkait kebijakan yang dilakukan oleh penguasa. Padahal, kita menyampaikan pendapat tentang berbagai fakta yang terjadi di sekitar kita. Tentang apa yang kita alami selama ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri dan merasakannya. Hal semacam ini sering mendapat ancaman serta larangan. Bahkan dianggap menyebarkan berita hoaks. Jadi, di mana posisi HAM pada situasi saat ini jika HAM itu benar adanya?


Beberapa waktu lalu terjadi sebuah kasus yang bukan kali pertama saja terjadi namun sudah pernah ada. Di mana setiap ada bagian dari masyarakat yang berusaha memberikan pendapat atau kritikan kepada para penguasa selalu dianggap biang masalah. “Dalam beberapa video, Bima menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi di Lampung yang menurutnya tidak mengalami kemajuan. Mulai dari persoalan infrastruktur yang bobrok seperti jalan rusak, proyek Kota Baru Lampung yang mangkrak, tata kelola birokrasi, pertanian hingga kecurangan dalam sistem pendidikan. Atas konten tersebut, Bima diadukan ke Polda Lampung terkait pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia dituduh menyampaikan hoaks (cnnindonesia.com, 15/04/2023).


Apa benar sistem demokrasi yang diterapkan saat ini menjamin HAM bagi setiap masyarakatnya? Mampu melindungi, mengayomi dan memberi kebebasan berekspresi? Namun, kenapa masih ada ancaman dalam sebuah kritikan yang dilakukan oleh masyarakat? Jika begini, membuktikan bahwa HAM hanya berlaku untuk segelintir orang saja. Sebab, masih saja ada pelarangan dalam menyuarakan pendapat dan kritik terlebih lagi jika itu dilakukan di media sosial. 


Ternyata tidak ada jaminan keamanan di dalam sistem yang sedang diterapkan saat ini. Belum lagi UU ITE yang sengaja dibuat untuk membungkam masyarakat. Menakut-nakuti agar tidak berani untuk menyampaikan kritik dan pendapatnya. Padahal, yang ingin disampaikan sering kali berupa kegelisahan yang tengah dirasakan. 


Ini sama saja seperti bualan ketika kita berbicara tentang HAM karena itu tidak benar-benar memihak pada rakyat kecil. Sistem yang salah pastilah akan melahirkan aturan-aturan yang salah. HAM saat ini hanya menjadi kedok bagi para penguasa yang seolah membela rakyat kecil padahal nihil sama sekali tidak ada. Bagaimana mungkin di negeri yang menjunjung tinggi HAM tetapi pejabatnya anti untuk dikritik sungguh sebuah kesalahan apabila penguasa anti untuk dikritik.  


Beginilah apabila sistem yang bukan berasal dari Islam diterapkan. Berharap bisa mengatur kehidupan seluruh masyarakat  itu hanya mimpi disiang bolong. Para penguasanya saja lahir menjadi penguasa anti kritik. Padahal, mengkritik penguasa bagian dari hak masyarakat juga, tetapi saat ini para penguasa menjadikan masyarakat menutup rapat mulutnya. Membiarkan kezaliman terus terjadi namun masyarakat yang merasakannya tetap harus diam tanpa berkutik.


Berbeda jika di dalam sistem Islam kita diperbolehkan untuk mengkritik dan memberikan pendapat terkait kebijakan penguasa yang tidak sesuai. Setiap kebijakan harus dilakukan berdasarkan hukum syarak bukan hawa nafsu semata serta harus memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat. Keadilan di dalam sistem Islam dapat terlaksana tentu karena ada dorongan ketakwaan kepada Allah Swt. setiap penguasa harus menjalankan tugasnya sesuai dengan perintah Allah bukan menurut kemauan dirinya sendiri. Inilah yang menjadikan sistem Islam itu berbeda dari sistem yang lainnya. Islam itu sempurna maka ia akan melahirkan aturan yang membawa kemaslahatan untuk seluruh umat manusia. 


Allah berfirman:

يٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah [5]: 8).


Wallahualam bissawab.