Milenial Tidak Punya Rumah, Negara Gagal Memenuhi Kebutuhan Rakyat
Oleh Muzaidah (Aktivis Dakwah Muslimah)
Berdasarkan data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PURP) 58% penduduk Indonesia merupakan kaum milenial dan 81 juta diantaranya belum memiliki rumah. Kementerian BUMN beserta Kememerian PURP berupaya menghadirkan hunian untuk milenial.
Dalam acara peresmian apartemen Semesta Mahata Margondo, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, pihaknya akan menyediakan 8.348 hunian di tujuh lokasi dengan pendanaan Rp 5 triliun. Kini tingkat kelakuannya sudah di atas 65% dan 41% pembeliannya adalah milenial. (cnbcindonesia, 13/4/2023)
Presiden Jokowi juga meminta agar hunian vertikal berkonsep Transit Oriented Development (TOD) yang berseberangan dengan stasiun kereta rel listrik (KRL) dibangun di kota-kota besar lainnya, sehingga ketika bekerja tidak perlu bermacet-macet menggunakan kendaraan pribadi.
Harga Rumah Mahal Pendapatan Kurang
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jutaan milenial tidak memiliki rumah disebabkan faktor mayoritasnya berpendapatan rendah tidak sebanding dengan harga perumahan. DP dan cicilan yang tinggi jauh dari UMR, membuat mereka memilih tidak membeli rumah.
Harga properti kian melambung sehingga biaya pembangunan rumah, jasa tukang hingga bahan material lainnya terus naik akibat inflasi. Ditambah kenaikan harga lahan dan overdemand (kelebihan permintaan) menyebabkan harga rumah ikut naik.
Pendapatan rakyat walaupun secara nominal bertambah, tetapi nyatanya menurun tersebabkan inflasi. Kebijakan pun malah terlihat menekan upah demi menekan biaya produksi. Padahalkan penerintah menyiapkan setidaknya lima skema subsidi Kredit Kepemilihan Rumah (KPR), dengan Program Satu Juta Rumah, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Bahkan, pemerintah telah menyediakan program Rent to Own (RtO) bagi milenial yang cenderung pemilih, yaitu selama tiga tahun sewa rumah. Jika cocok dan ingin membeli, tinggal mengajukan KPR. Jika tidak cocok bisa pindah ke tempat baru. Tidak hanya itu, pemerintah juga sudah memfasilitasi gen ''mager'' dengan SuperApp BTN mobile sehingga bisa mencari rumah idaman sambil rebahan.
Pengurusan Bukan Bisnis
Akibatnya, banyak pengamat sangsi akan jenis hunian yang berkonsep ala milenial ini mampu memenuhi kebutuhan rakyat akan papan. Walaupun dikatakan murah, tetap saja harganya tidak terjangkau. Orientasi pembangunan perumahan tidak memenuhi kebutuhan asasi masyarakat, melainkan untuk bisnis.
Lihat saja suntikan dana untuk pengembangan hunia terus diberikan dengan alasan agar bergairah membangun perumahan bersubsidi. Padahal, ketika uang triliunan itu langsung diberikan kepada rakyat tentu banyak persoalan mmasyarakat langsung selesai.
Sayangnya, sistem ekonomi kapitalisme neoliberal seolah mengharamkan pemberian dana langsung kepada rakyat, dengan alasan pemerintah menyuntikan dana pada pengembang bukan pada rakyat karena berbasis kinerja. Hal ini malah memfasilitasi pengembang untuk mengomersialisasi perumahan yang dibutuhkan masyarakat.
Oleh karena itu, tidak heran jika ditemukan jutaan manusia tidak memiliki rumah sedangkan yang memiliki hanya segelintir saja. Ketika sudah dana sudah ditangan swasta maka orientasinya bukan lagi untuk kebutuhan warga akan papannya, melainkan mengutamakan keuntungan. Di sinilah hadirnya kesenjangan yang makin tinggi dan menjadikan pemerintah mudah berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyatnya.
Pemimpin yang Bertanggung Jawab
Tentu sangat berbeda dengan konsep Islam yang menjadikan rakyat sebagai fokus kerjanya. Seluruh kebijakan dibuat untuk kemaslahatan umat. Ada tiga faktor yang membuat Islam mampu membuktikan dalam menyejahterakan rakyatnya, termasuk memenuhi kebutuhan papannya.
Pertama, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawaban dalam memenuhi seluruh kebutuhan umat, termasuk rumah. Hasilnya, negara akan mengoptimalkan seluruh kebijakan dan kinerjanya untuk terpenuhinya kebutuhan umat.
Negara tidak boleh melimpahkan kepada pihak asing dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, karena akan menyebabkan kemudaratan bagi rakyat. Jika distribusi diserahkan ke swasta akan dimiliki bagi yang memiliki uang saja.
Rasulullah saw. bersabda,
“Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (h.r. Bukhari)
Rasulullah saw. mencontohkan pada kita saat awal mula hijrah dari Makkah ke Madina sebagai kepala negara yang dibantu dengan para muawinnya untuk mengurusi tempat tinggal kaum muhajirin di Madinah. Saat itu, Rasulullahlah yang langsung mengurus kebutuhan pokok rakyanya sebab kaum muhajirin berhijrah tanpa membawa harta.
Kedua, syarat yang harus diperhatikan pemimpin dalam membangun hunian, yakni syar'i (bangunannya harus menutupi aurat perempuan), nyaman (memenuhi aspek kesehatan), harganya terjangkau (kredit tanpa bunga dan bisa bersubsidi), bahkan bisa juga memberikan secara gratis pada fakir miskin yang tidak mampu membeli rumah, karena tidak ada larangannya.
Ketiga, untuk pembiayaan pembangunan perumahan sumbernya harus diambil dari kas negara atau baitulmal. Jika kas negara kosong, sedangkan rakyat masih ada yang tidak memiliki rumah, maka negara boleh meminta pajak dari orang kaya. Namun sifatnya sementara, jika persoalan telah selesai maka pemungutan dihentikan.
Negara tidak boleh mengambil pembiayaan dari utang luar negeri. Selain haram juga mengandung riba, dan menyebabkan kemudaratan. Kita ketahui bersama, bahwa utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara makmur pada negara miskin. Lagi pula, sangat jarang kondisi kas kosong sebab baitulmal memiliki sumber pemasukan dari pengelolaan SDA melimpah. Di sini negara hanya mengelola dan dikembalikan pada rakyat sebagai pemilik sahnya.
Adanya persoalan ini menandakan pemimpin gagal dalam menyelesaikan segala persoalan dan berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Berbeda ketika sistem Islam terterapkan, rakyat sebagai fokus kerjanya pemimpin dalam memenuhi segala kebutuhan dan menghadirkan berbagai kemaslahatan untuk umat.
Wallahualam bissawab