Mengenal Amil Zakat dalam Tuntunan Syariat



Oleh : Kholishoh Dzikri

Ramadhan adalah bulan di mana setiap jiwa muslim wajib mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok. Dan sebagian muslim lain yang hartanya telah mencapai nishab dan telah mencapai haulnya akan mengeluarkan zakat maalnya. Untuk memudahkan pembayaran zakat tersebut banyak muncul badan amil zakat baik yang dibentuk di masjid-masjid, lembaga, bahkan pemerintah pun telah membentuk badan amil zakat nasional (BAZNAS). Apakah lembaga-lembaga tersebut memenuhi kategori amil zakat sebagaimana ketentuan amil zakat dalam Islam?


Sebagai agama yang syamil dan kamil, Islam mengatur persoalan zakat sebagai salah satu bentuk ibadah mahdhah yang bersifat tauqifi bahkan zakat menempati salah satu pilar Islam (rukun Islam).


Zakat adalah ibadah maliyah yang telah ditentukan harta apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya, berapa jumlah yang harus ditetapkan dan siapa saja yang berhak  menerimanya. Allah Subhanaalahu Wa Ta’ala telah menetapkan pihak-pihak yang berhak menerima harta zakat dalam firmanNya,


   إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ


Artinya “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs At- Taubah :60).


PENGERTIAN AMIL ZAKAT


Amil Zakat berasal dari kata Amil dan Zakat. Kata ‘amil berasal dari kata dalam bahasa arab ‘amila-ya’malu yang berarti bekerja. Dalam konteks zakat, Menurut Yusuf Qardhawi yang dimaksudkan amil zakat adalah pihak yang bekerja dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan zakat. Berkata Abu Bakar al-Hushaini di dalam Kifayat al-Akhyar (279) :  “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara (Khalifah) untuk mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang diperintahkan Allah.“ 


Pengertian amil zakat menurut pendapat empat Mazhab memiliki beberapa perbedaan namun tidak signifikan dan mengarah pada pemahaman yang sama. Imam Syafi’i mendefinisikan amil zakat yaitu orang-orang yang dipekerjakan oleh khalifah untuk mengurus zakat. Mereka adalah para karyawan yang bertugas mengumpulkan zakat, menulis (mendatanya) dan memberikan kepada yang berhak menerimanya”, Dimasukkannya amil sebagai salah satu dari delapan ashnaf bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah (negara). Pada harta zakat ada anggaran khusus yang dikeluarkan untuk menggaji para pelaksananya dari kalangan amil zakat. (Imam Syafi’i, Al Umm, Juz 2 hlm. 91).


Imam Hanafi memberikan pengertian yang lebih umum yaitu orang yang diangkat pemimpin negara untuk mengambil dan mengurus zakat. Imam Hanbal berpendapat amil zakat yaitu pengurus zakat, yang diberi zakat sekadar upah pekerjaannya (sesuai dengan upah pekerjaanya). Sedangkan pengertian amil zakat menurut Imam Maliki lebih spesifik yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi, penasihat, dsb. Syarat amil zakat harus adil dan mengetahui segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.


Imam al-Qurthubi, dari mazhab Maliki dalam tafsir Al Qurthubi, Juz 8 hlm. 76. , menyatakan:


وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا يَعْنِيْ السُّعَاةُ وَالجُبَّاةُ الَّذِيْنَ يَبْعَثُهُمْ الإمَامُ لِتَحْصِيْلِ الزَّكاَةِ بِالتَّوْكِيْلِ عَلَى ذَلِكَ


“Amil zakat adalah para wali dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam atau Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat dengan status wakalah.


Imam as-Sarkhasi, dari mazhab Hanafi, menyatakan:


وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَهُمُ الَّذِيْنَ يَسْتَعْمِلُهُمُ الإمَامُ عَلَى جَمْعِ الصَّدَقَاتِ وَيُعْطِيْهِمْ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ كِفَايَتَهُمْ وَكِفَايَةَ أَعْوَانِهِمْ وَلاَ يُقَدَّرُ ذَلِكَ بِالثَّمَنِ


“Amil adalah orang yang diangkat oleh Khalifah menjadi pekerja untuk mengumpulkan sedekah (zakat). Mereka diberi dari apa yang mereka kumpulkan sekadar untuk kecukupan mereka dan kecukupan para pembantu mereka. Besarnya tidak diukur dengan harga (upah). (Imam Sarakhshi, Al Mabsuth, Juz 3 hlm.9).


Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha’ dari berbagai mazhab di atas, dapat disimpulkan, bahwa amil zakat adalah orang yang diangkat oleh Imam atau Khalifah (kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki, dan mendistribusikannya kepada para mustahiq-nya. Tugas yang diberikan kepada Amil tersebut merupakan wakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Khalifah (kepala negara). Sebab, hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut merupakan tugas Khalifah.


Syaikh Taiyuddin An-Nabhani dalam kitab Al-Amwal Fi Daulatil Khilafah menyebutkan amil zakat dengan as-su’ah atau al-mushaddiqun yaitu orang-orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan harta zakat kepada mustahik. Amil zakat berhak mendapatkan zakat walaupun mereka kaya, sebagai kompensasi tugas mereka.


Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim (Khalifah) untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya oleh karena itu lembaga amil zakat atau panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid  serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu yakni Khalifah.


‘Amil Zakat dalam Islam memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat karena telah diberi kewenangan oleh negara bahkan kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat. Khalifah Abu Bakar telah memerangi orang yang enggan membayar zakat, ketika mereka tidak mau membayarkannya kepada para wali dan as-su’âtu (amil zakat) yang telah ditunjuk.  Beliau berkata: “demi Allah, seandainya sekelompok orang menghalangi dariku apa yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah saw sungguh aku perangi mereka atasnya”. (Muttafaq ‘alayh dari jalur Abu Hurairah”).


Dalil bahwa Amil Zakat adalah petugas zakat yang diangkat Khalifah adalah hadits-hadits shahih.


Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wa Salam kadang-kadang membagikan harta zakat dengan tangan Beliau sendiri dan kadang-kadang mengangkat salah satu sahabat menjadi amil untuk membagikan harta zakat kepada yang yang berhak. Zakat harus diserahkan kepada khalifah atau orang yang mewakilinya dari kalangan wali dan petugas zakat (Amil Zakat) untuk dibelanjakan kepada salah satu atau semua dari delapan ashnaf.


Rasulullah Shalaallu Alaihi Wasallam dan para Khulafa` Rasyidin telah mengangkat para Amil Zakat. Di antaranya riwayat Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengutus Umar bin Khaththab untuk memungut zakat.” (HR Muslim, no 983). Juga riwayat Ibnu As Sa’idi Al Maliki Radhiaallahu anhu, dia berkata,”Umar bin Khaththab telah mengangkatku menjadi Amil untuk memungut Zakat. Setelah aku selesaikan tugasku dan kuberikan zakat kepadanya, Umar memberikan upah kepadaku…” (HR Muslim, no 1045; Bukhari no 6744, Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 29/228). Nabi Muhammad Shalaallahu Alaihi Wasallam juga menegaskan tentang posisi ‘Amil Zakat ini harus diangkat secara resmi oleh negara dalam hadits dari Abu Humaid as-Sa’idi :


 “Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata : Nabi Shallallahu A’laihi Wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : “Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali.“  (Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).


GAJI ATAU UPAH YANG DITERIMA AMIL ZAKAT.


Pendapat Mazhab Mâliki dan Jumhur Ulama’, yang mengatakan bahwa kadar upah atau gaji yang diberikan kepada amil zakat disesuaikan dengan pekerjaan yang diemban yang kira-kira dengan gaji tersebut ia dapat hidup layak. Khalifah yang berwenang akan menetapkan besaran upah yang menjadi haknya amil zakat sesuai dengan kelayakan tersebut. Ukuran kelayakan itu sendiri sesuai dengan taraf hidup masyarakat pada umumnya dimana dia tinggal.


‘Amil Zakat tetap diberi harta dari zakat meskipun ia kaya, karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya, bukan pertolongan bagi yang memmbutuhkan. Sesuai dengan namanya, profesi utama amil zakat adalah mengurusi zakat. Jika dia memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia berhak mendapatkan bagian dari zakat Abu Daud meriwayatkan hadis Nabi SAW yang mengatakan:


لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ


 “Tidak halal sedekah bagi orang kaya kecuali dalam lima hal. Pertama, orang yang berperang di jalan Allah. Kediua, karena jadi amil zakat. Ketiga, orang berhutang. Keempat, orang yang membeli barang sedekah dengan hartanya. Kelima, orang yang tetangganya seorang miskin, lau ia bersedekah kepada orang miskin tadi, maka dihadiahkan kembali kembali kepada orang kaya itu tadi.”


TUGAS ‘AMIL ZAKAT


Kegiatan menghimpun zakat, jika kita membaca sejarah Islam, merupakan kegiatan atau usaha ‘Amilin dalam menghimpun zakat dengan menjemput atau mengambil dari tempat muzakki.. Selain mengambil zakat, para ‘Amilin yang bertugas mengambil zakat juga mesti mendoakan orang-orang yang mengeluarkan zakat. Dalam hadits riwayat Mutafaq ‘Alaih, ‘Abdullah Bin Abi ‘Aufa berkata, Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika datang kepadanya salah satu kaum yang membayar zakat, beliau mendoakannya: “allahumma shalli ‘alaihim” ya Allah berikanlah shalawat (kesejahteraan) kepada mereka!(Ibn Hajar al-Atsqalany, Ibid., hlm. 124) 


Selain itu, para pemungut zakat juga berkewajiban untuk berusaha mengingatkan umat untuk membayar zakat. Hal ini terjadi seperti yang dilakukan Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala mengutusnya ke suatu negeri. Riwayat dari Anas radhiyaallahu anhu, Ia berkata, “Datang seseorang dari bani Tamim kepada Rasululllah Shalaallahu Alaihi Wa Sallam seraya berkata,”Apakah cukup bagiku ya Rasulaallah jika aku tunaikan zakat kepada utusanmu sehingga aku sudah terbebas dari kewajiban zakat Allah dan Rasulullah ?. Rasulullah Shalaallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Ya, Apabila kamu tunaikan zakat kamu kepada utusanku maka kamu sudah terbebas dari kewajiban zakat tersebut, kamu berhak mendapatkan pahalanya, dan dosanya akan kembali kepada orang-orang yang menukar zakat tersebut”. (HR. Imam Ahmad)


Kata خذ fi’il amr yang berarti “Ambillah” mengindikasikan adanya perintah kepada seseorang untuk mengambil zakat dari orang-orang tertentu (yang mampu/wajib zakat), dengan kata lain harus ada petugas yang mengumpulkan zakat tersebut dari para muzakki sekalipun tanpa diambilpun muzakki harus mengeluarkan zakat yang menjadi kewajibannya.


Sebelum dilakukan pemungutan zakat, amil zakat telah melakukan sensus wajib zakat dengan melakukan inventarisasi atas jenis-jenis kekayaan setiap muslim yang wajib dikeluarkan zakatnya ketika sudah mencapai nishab dan haul dan juga melakukan sensus kaum muslimin yang berhak menerima zakat (Mustahiq), Ia juga menentukan cara pemungutan zakat yang paling memudahkan muzakki untuk membayarkan zakatnya, cara penyimpan harta zakat sehingga aman dan tidak rusak.


Adapun penentukan pembagian zakat kepada para mustahiq menjadi kewenangan mutlak khalifah. Khalifah akan mengkaji dari delapan ashnaf mana yang paling mendesak untuk dipenuhi. Pemahaman ini diperkuat dengan beberapa riwayat hadits maupun praktek yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallaallahu Alaihi Wa Sallam.


Ketika Nabi Muhammad Shalaallahu Alaihi Wa Salam mengutus Mu’adz bin Jabal, Beliau berpesan “Zakat itu diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin”.   Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab melakukan praktek yang sama dengan masa Rasulullah, zakat itu diambil oleh petugas (Amil Zakat) lalu disalurkan kepada Mustahik.


PANITIA ZAKAT BUKAN AMIL ZAKAT


Amil zakat ditentukan keberadaannya oleh tegaknya sistem pemerintahan khilafah Islamiyah sebab khalifah yang berhak memberikan mandat kepada orang-orang tertentu untuk menjadi amil zakat. Ketika khalifah tidak ada maka mandat itu tidak bisa diberikan.


Dalam kondisi seperti saat ini ketika sistem khilafah Islamiyah belum ditegakkan maka muzakki bisa secara langsung membayarkan zakatnya kepada mustahiq namun ia bisa juga mewakilkan kepada orang atau lembaga tertentu untuk mendistribusikan zakatnya kepada mustahiq. Terdapat riwayat dari para sahabat dan tabi’un atas bolehnya muzakki pendistribusian zakatnya.  Abu ‘Ubaid meriwayatkan bahwa Kaisan datang kepada Umar ibn Khattab dengan membawa dua ratus dirham zakat. Ia berkata kepada Umar: “wahai amirul mukminin, ini zakat hartaku”. Umar ibn Khattab berkata kepadanya: “pergilah dengan hartamu dan bagikan”. Sebagaimana Abu ‘Ubaid juga meriwayatkan dari Ibrahim dan al-Hasan yang berkata: “letakkan di tempatnya (bagikan kepada yang berhak) dan sembunyikan”.


 Lembaga amil zakat yang saat ini ada pada hakekatnya ia adalah panitia pengumpulan dan pendistriusian zakat. Panitia zakat ini berbeda dengan amil zakat. Panitia zakat hanya menerima wakalah untuk mendistribukan zakat sesuai amanah dari muzakki. Dalam menjalankan pendistribusian, panitia zakat boleh meminta upah dan biaya operasional dan upah ini tidak boleh diambil dari harta zakat yang telah dititipkan muzakki karena posisi mereka bukan amil zakat. Panitia zakat boleh menerima harta zakat yang titipkan muzakki apabila keadaan mereka adalah fakir atau miskin sehingga terkategori mustahiq. Panitia zakat juga tidak boleh memaksa muzakki untuk menyerahkan zakat kepadanya karena posisi mereka hanya wakalah untuk mendistribusikan dan ini berbeda dengan status wakalah dari khalifah kepada amil zakat. Wakalah dari khalifah meliputi wakalah untuk mengambil dengan paksa bagi yang tidak mau membayar dan mendistribusikan kepada yang mustahiq.


Kebolehan membagikan harta zakat langsung kepada mustahiq bukan bermakna bahwa tidak lagi dibutuhkan amil zakat namun itu adalah solusi sementara agar umat muslim tetap bisa menunaikan ibadah zakat di saat tidak ada Khalifah yang berhak mengangkat amil zakat sebab keberadaan Khalifah  adalah kewajiban lain yang harus ditegakkan. Ketiadaan khilafah Islamiyah ini menjadikan banyak syariat Islam tidak bisa terlaksana secara sempurna. Ada banyak syariat Islam yang tidak sempurna pelaksanaannya atau bahkan sama sekali tidak bisa dilaksanakan karena mengharuskan pelaksanaannya oleh kepala negara khilafah, salah satunya adalah optimalisasi pelaksanaan ibadah zakat. Tanpa adanya amil zakat yang ditunjuk oleh Khalifah maka tidak ada pihak yang memaksa orang-orang kaya (muzakki) untuk membayarkan zakat atas hartanya padahal zakat telah diwajibkan atas mereka. Demikian juga dengan pengelolaan harta zakat menjadi tidak ada jaminan pendistribusiannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah Subhanaallahu Wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60.


Waallahu A’lam