DELI MEGAPOLITAN: UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT ATAU KONGLOMERAT?




Dakwahaumut.com,- Saat ini pemerintah Sumatera Utara sedang gencar-gencarnya untuk terus membangun dan mengembangkan beberapa kota sebagai sebuah kota baru bertaraf Internasional yang mandiri, hijau dan super modern. Bertempat di Kabupaten Deli Serdang  proyek ini disebut dengan Deli Megapolitan. Proyek ini dikembangkan bersama KPSN Group dan bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara 2 (PTPN2). 9 Maret 2021 Ground breaking dihadiri Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, Bupati Deliserdang Ashari Tambunan, Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi, beserta Direksi PTPN 3 holding, Direksi PTPN 2 Irwan Perangin-angin.


Kawasan pertama yang akan dikembangkan adalah CitraLand Helvetia seluas 6,88 Ha. Kawasan ini akan menjadi sebuah kawasan hunian dan komersial yang sangat menguntungkan, baik untuk dihuni maupun sebagai tempat investasi karena lokasinya yang sangat strategis, dikelilingi oleh pusat-pusat perdagangan dan hunian yang sudah berkembang sejak lama. Digambarkan bahwa CitraLand Helvetia memiliki delapan keunggulan yaitu, dikembangkan oleh developer berpengalaman Ciputra Group bersama KPSN, lokasi yang sangat strategis, hanya 15 menit (5 km) ke kota Medan, 20 menit ke pelabuhan Belawan, dan hanya 30 menit ke Bandara Kualanamu, aksesibilitas yang mudah hanya 10 menit ke pintu exit tol Marelan.


Selanjutnya memberikan nilai investasi yang sangat menguntungkan karena perkembangan CitraLand KDM diharapkan akan menjadi sebuah Kota Mandiri, fasilitas hunian yang lengkap berskala kota, sistem keamanan 24 jam disertai sistem cluster dengan one boom gate system yang dilengkapi dengan CCTV, sistem smart home dan internet system, bagian dari Kota Mandiri dengan fungsi terlengkap di CitraLand KDM. CitraLand Helvetia Kota Deli Megapolitan yang akan diluncurkan dalam waktu dekat dengan jumlah hunian dan ruko yang sangat terbatas. Total unit 237 terdiri dari 42 ruko, 195 rumah dan Kavlingnya. Harga jual per kisaran Rp1 sampai Rp3 miliar. Kami hanya berikan harga kisaran, nunggu perizinan dan master plan,” katanya. Dalam kerjasama itu, pengembangan awal selama 5 tahun dan selanjutnya konversi hingga 30 tahun.


Sementara itu Direktur Utama Holding PTPN 3 (Persero) Mohammad Abdul Ghani mengungkapkan, kegiatan ini merupakan bagian dari program yang sudah direncanakan sejak lama untuk meningkatkan kemanfaatan asset-asset PTPN, khususnya PTPN 2 yang selama ini belum maksimal. Proyek Kota Deli Megapolitan menurut Abdul Ghani, sudah dirintis sejak tahun 2007 dan  akan berjalan panjang dengan investasi mencapai Rp 128 Trilyun. Realisasi proyek Kota Deli Megapolitan Helvetia akan segera dimulai setelah pembersihan lahan selesai dilaksanakan pada Kamis 25 November 2021. Lokasi proyek ini akan memakai lima kebun seluas 8.077,76 hektar dengan rincian Kebun Helvetia 811,89 hektar, Kebun Sampali – Saintis seluas 2.967.92 hektar, Kebun Bandar Klippa 3.545,74 hektar, Kebun Penara 507,11 hektar dan Kebun Kuala Namu seluas 245,10 hektar. 10 lokasi HGU PTPN2 yang dikuasai PT. Ciputra untuk pengembangan Kota Deli Megapolitan adalah Sampali seluas 1.552,07 hektare, Bangun Sari seluas 278,62 hektare, Sintis seluas 1.415,85 hektare. Telaga Sari seluas 300,66 hektare. Batang Kuis (Bandar Klippa 1A) seluas 1.057,11 hektare, Penara seluas 507,11 hektare, Klippa 1B seluas 696,4 hektare,  Kuala Namu seluas 245,1 hektare, Klippa 2B seluas 1.212,95 hektare, Helvetia seluas 811,89 hectare. Total lahan: 8.077,76 hektare.


Maka bisa dibayangkan, dengan luas total lahan yang dibutuhkan dalam proyek pembangunan Kota Deli Megapolitan akan banyak sekali masalah-masalah yang ditimbulkan akibat dari pembangunan tersebut. Mungkin bagi sebagian orang menganggap bahwa adanya proyek pembangunan ini memberikan keuntungan secara ekonomi karena dianggap menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan penyerapan tenaga kerja buruh dan adanya investasi ekonomi.  Pembangunan infrastruktur yang dianggap akan semakin memudahkan kehidupan masyarakat apalagi dengan basic tekhnologi yang serba mewah dan serba canggih. Namun benarkah demikian?

 

Karena realitasnya yang terjadi tidaklah sesuai dengan ekspektasi. Diluar percepatan pembangunan infrastruktur pendukung yang sangat massif, ternyata ada titik kelemahan dalam memahami hubungan pembangunan, daya dukung lingkungan dan partisipasi masyarkat sebagai satu kesatuan ekosistem yang seharusnya didorong bergerak secara alamiah untuk saling menopang sehingga tidak ada yang dirugikan bahkan dizholimi.  Sementara untuk pembangunan diawal saja, proyek ini sudah menimbulkan banyak masalah terutama masalah penggusuran beberapa wilayah karena alih fungsi lahan PTPN 2 dari pemukiman masyarakat biasa untuk pembangunan komplek elit kelas mewah. Seperti Kasus penggusuran paksa masyarakat Desa Sampali, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu, juga pemasangan plang dan akhirnya menimbulkan keresahan para warga pensiunan terkhusus komplek lapangan garuda Tanjung Morawa. Para pensiunan yang didominasi kaum ibu melakukan unjuk rasa untuk menuntut keadilan bagi mereka karena rumah mereka akan digusur demi proyek ini.


Perlu diketahui bahwa ternyata bangunan proyek itu berdiri diatas tanah yang bermasalah. Karena milik kesultanan Deli dan melebihi kapasitas luas tanah PTPN 2 yang hanya 5.873,70 hektare. bahkan ada yang di terbitkan PBG sementara masih sengketa di PN Lubuk Pakam. Bahwa Pihak PTPN 2 yang mengikut sertakan aparat berseragam TNI dan Polri serta Satpol PP Pemkab Deli Serdang menekan rakyat dengan dalil SK HGU 2003-2028. Sementara sudah ada penerbitan Perda Tata Ruang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2002-2012, yang menyatakan tidak memberikan izin kegiatan perkebunan dan ini di dukung oleh UU Tata Ruang tersebut. Menurutnya, pihak PTPN 2 dengan seenak hatinya menggebuki, merusak bangunan rakyat bahkan dibantu aparat Brimob memberondong rakyat. Belum lagi bahwa saat penggusuran pemaksaan harga pada rakyat dalam ganti rugi dengan dalih atas nama Negara, kepentingan umum, padahal area selanjutnya diserahkan pada pihak swasta yakni PT.Ciputra.


Sehingga patut diduga Proyek Deli Megapolitan adalah bukan kepentingan umum maka tidak ada dasarnya pihak PTPN 2 yang saat turun kelapangan ikut seragam TNI, Polri dan Satpol PP untuk memaksa rakyat menyerahkan tanah pertanian dan huniannya karena kegiatan itu semata-mata untuk kepentingan swasta. Padahal dampak alih fungsi lahan tersebut mengakibatkan beberapa wilayah selalu banjir ketika musim hujan tiba. Sehingga wajar jika proyek ini ditolak oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Ada sekitar 71 Aliansi dan Lembaga di SUMUT dan Nasional yang menolak proyek ini. 


Belum lagi potensi dampak sosial yang akan dirasakan oleh masyarakat terutama kaum perempuan, anak dan pemuda yang ada saat ini. Pembangunan proyek apalagi Kota Megapolitan yang tujuannya bertaraf internasional dan modern, berpotensi kuat akan mempengaruhi life style masyarakat setempat. Gaya hidup hedonis dan serba bebas akan sangat mewarnai kehidupan sekitarnya. Belum lagi dengan bangunan komplek yang super mewah, yang hanya bisa dibeli oleh kalangan konglomerat menjadikan ketimpangan hidup antara yang kaya dan yang miskin akan semakin kentara. Jadi sebenarnya pembangunan Kota Deli Megapolitan ini diperuntukkan bagi kepentingan siapa, Kepentingan rakyat atau konglomerat? Demikianlah paradigma konsep pembangunan dalam sistem kapitalisme, segala sesuatunya hanya diukur berdasarkan kepentingan segelintir orang bukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.


Berbeda dengan Kapitalisme, Islam menetapkan bahwa yang bertanggung jawab atas setiap pembangunan itu adalah Khalifah sebagai penguasa yang memimpin Khilafah. Dan setiap pembangunan yang dilakukan harus sejalan untuk mewujudkan kemaslahatan serta kesejahteraan rakyat, lagi mencegah munculnya fasad. Pemerintahan Islam yaitu Khilafah hadir untuk menjalankan Syariat Islam secara kaffah, sekaligus mengurusi seluruh urusan umat termasuk pengelolaan lahan. Sehingga Khilafah tidak akan dengan gegabah dan sembarangan menyerahkan lahan yang merupakan kepemilikan umum, untuk dikelola oleh pribadi konglomerat ataupun pihak swasta lain.


Karenanya kepemilikan dan pengelolahan lahan yang sesuai syariat, menjadi hal mutlak yang harus diwujudkan Khilafah. Peran utama untuk mewujudkannya ada di pundak Khalifah atau pemerintah. Rasulullah Saw. bersabda, 


أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya …” (HR. Bukhari)


Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda, 

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ  

“Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). 


Karena itu, Khalifah tidak boleh mengalihkan peran ini kepada pihak lain apalagi korporasi dan oligarki. 


Dan untuk merealisasikannya akan mengacu pada syariat Islam yang berlandaskan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ada paradigma dan konsep penting dalam mengatur lahan dan menanggulangi alih fungsi lahan, yaitu Islam memandang tanah memiliki tiga status kepemilikan. Tanah yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian; Tanah milik umum yaitu yang di dalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta; Dan tanah milik negara, di antaranya tanah yang tidak berpemilik (tanah mati), tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum, dll. Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian.


Dalam kasus alih fungsi lahan yang dilakukan oleh PTPN 2 maka itu termasuk kedzoliman karena mengambil hak rakyat. Bukannya negara menjamin kesejahteraan rakyat malah justru mengabaikannya hanya demi kepentingan para oligarki dan konglomerat. Maka sudah saatnya umat hari ini menyadari, bahwa negara yang akan peduli dan sungguh-sungguh untuk meriayah mereka hanyalah Khilafah yang akan menerapkan Syari’ah Islam secara kaffah. Sehingga agenda perjuangan mewujudkan kembali tegaknya Khilafah harus menjadi agenda utama seluruh umat. Walahu`alam bisshawab.