MinyaKita Langka? Kapitalisme Tak Becus Atasi Masalah



Oleh Retno Purwaningtias

(Pegiat Literasi)


Aneh bin ajaib. Minyak goreng subsidi dari pemerintah yang dipasarkan pada tahun 2022 lalu--MinyaKita--mendadak langka di beberapa daerah. Meskipun ada, namun harga jualnyq melonjak hingga Rp20.000 per liter. Padahal harga minyak curah dan MinyaKita telah diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liternya. 


Dilansir dari CNN Indonesia, (1/2/2023), Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menyampaikan bahwa kelangkaan yang terjadi dikarenakan program biodiesel B35. Pasalnya, program tersebut meningkatkan penggunaan CPO yang menjadi bahan baku minyak goreng. Dalam program B35, pemerintah akan meningkatkan persentase campuran bahan bakar nabati ke dalam bahan bakar minyak jenis solar dari 20 persen pada B20 menjadi 35 persen. 


Selain itu, kelangkaan yang terjadi juga dipicu karena banyaknya masyarakat yang mulai beralih dari minyak goreng premium ke MinyaKita karena kualitasnya yang tidak berbeda jauh dan dengan harga yang murah


Kasus kelangkaan minyak yang terjadi ini menggambarkan adanya kesalahan pengelolaan pemenuhan salah satu kebutuhan rakyat. Meski telah dibuat kebijakan, namun selama kapitalisme yang masih menjadi asas, maka kebijakan tersebut tidak akan mungkin memecahkan permasalahan. Semua pengusaha menjadikan keuntungan sebagai tujuan, karena itu tidak mungkin ‘bersedia’ memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang murah.


Selain itu, realita yang terjadi ini sangatlah tidak masuk akal, karena Indonesia sendiri dikenal sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Namun, harga minyak goreng justru mahal bahkan langka di masyarakat. 


Jelas hal ini mengisyaratkan adanya praktik kartel di dalamnya yakni kongkalikong antara pengusaha dengan produsen minyak kelapa sawit. Praktik kartel ini jelas sangatlah menyengsarakan rakyat karena praktik ini hanya menguntungkan segelintir pihak yang memiliki modal besar untuk memonopoli barang. 


Kapitalisme membuat para pemilik modal menjadi penguasa sesungguhnya di balik sebuah negara. Publik bisa melihat negara tidak memiliki kekuatan ketika berhadapan dengan para pemilik modal. Sehingga negara yang sejatinya paham kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh para kartel tidak bisa menindak tegas mereka. Justru solusi yang diambil adalah solusi pragmatis yang malah menyengsarakan rakyat, di antaranya seperti pembatasan pembelian minyak, membeli minyak menggunakan KTP dengan alasan agar warga tidak memborong dan kebutuhan warga dapat terpenuhi. Bahkan sampai ditegaskan akan diberi sanksi bagi yang melanggar.


Sungguh sangat berbeda bila kepengurusan rakyat diterapkan dalam Islam. Dalam Islam, negara berfungsi sebagai raain yakni pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Hal ini karena para penguasa dalam Khilafah sangat memahami perintah dari Rasulullah SAW yang termaktub dalam hadis, "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari).


Oleh karena itu, urusan migor pun akan menjadi perhatian khalifah jika ketersediaannya tidak mencukupi. Dalam membuat kebijakan maka khalifah akan membuat kebijakan yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan menggunakan politik ekonomi Islam dan hal ini yang menjadikan negara tidak tersandera kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam kapitalisme saat ini. Dengan demikian negara mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga murah, sehingga kondisi harga pun terkendali dan stok pun mencukupi.


Selain itu, khalifah akan mencari akar masalah dari persoalan ini misalnya apakah kelangkaan itu terjadi karena pasokan dan permintaan atau karena penimbunan. Jika permasalahannya terletak pada pasokan dan permintaan maka khilafah tidak akan mengintervensi harga sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa kapitalisme saat ini.


Dalam Islam, pematokan harga oleh negara dilarang, hal ini berdasarkan sabda dari Rasulullah SAW, "Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak." (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi). 


Maka, harga jual barang akan diserahkan berdasarkan mekanisme harga pasar. Konsep ini akan membuat seluruh lapisan masyarakat bisa menjangkau harganya. Namun, khilafah diperbolehkan untuk mengintervensi barang yang didatangkan dari luar wilayah sehingga ketersediaannya akan kembali normal.



Wallahu a’lam bishshawab.