Peduli Generasi Pemimpin Umat



Peduli Generasi Pemimpin Umat

Ingin beli rumah masih dalam angan
Inginnya di jalan Sudirman
Jadikan Keutamaan sebuah Pendidikan
Agar Negara mendapat kemajuan

Makan nasi adalah yang teraman
Kenyang bersama hingga ke pangkal
Umat sudah jelas beriman
Jika ilmu agama dijadikan amal

Dua isi pantun melayu di atas turut menggambarkan hal yang sama pada cita-cita para muslimah negarawan dalam sebuah agenda tahunan “Peduli Generasi Pemimpin Umat”. Turut hadir di forum tersebut para muslimah dari berbagai latar belakang namun disatukan dengan aqidah dan tujuan yang sama. Para guru, dosen, professor, ustadzah, muballighoh, dan juga para aktivis, bersama-sama menyerukan Islam sebagai solusi atas permasalahan generasi di negeri ini. Mencari Generasi Pemimpin Umat, Mungkinkah di Sistem Sekuler?

Guru SMA di Tangerang, Dwi Hendriyanti, S.Pd menyebutkan bahwa kondisi generasi hari ini sangat mengkhwatirkan, karena kurikulum yang diterapkan hari ini tidak berkorelasi positif terhadap perbaikan akhlak dan moral para siswa. Beban administrative yang banyak membuat para guru tidak memiliki ruang dan waktu untuk transfer behavior kepada murid, belum lagi kesejahteraan guru yang masih menjadi problem klasik pendidikan. Intinya kurikulum pendidikan sekolah yang diterapkan sekarang menjauhkan siswa dari ajaran agama.
Dosen dan Pakar Administrasi Publik, Prof. Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, MS menyebutkan bahwa desain kurikulum Indonesia yang berbau liberalisme hari ini sudah dirancang sejak Indonseia merdeka. Kebijakan system pendidikan tinggi di Indonesia tidak lepas dari pengaruh kebijakan politik ekonomi. Sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini adalah sistem yang hanya mencetak buruh.

Karakteristik mahasiswa yang sudah lulus perguruan tinggi bermindset individualistis dan tidak berpikir untuk menjadi pemimpin. Kebijakan Kampus Merdeka adalah contoh nyata bahwa pendidikan tinggi mengarah kepada orientasi liberal yang menjadi materi sebagai tujuan pendidikan (Pengetahuan dan Skill) bukan manusia yang beriman dan berilmu. Para dosen juga tidak lolos dari kebijakan ini yang membuat mereka tersibukkan dengan tuntutan pemenuhan standarisasi administratif. 

Bila pendidikan di sekolah dan juga perguruan tinggi tidak juga mampu mencetak generasi yang didambakan, mungkinkah jawabannya ada di dalam system pendidikan pesantren? Ini pula pertanyaan yang mengawali diskusi selanjutnya. 

Pengasuh Ponpes Purwakarta, Hj. Tingting Rohaeti menjawab bahwa semua tsaqofah yang diajarkan di pesantren hanya sebagai teoritis dan tidak menjadi solusi bagi kehidupan sehari-hari. Ada dua regulasi yang merusak para santri. Pertama, UU No. 18 tahun 2019.

Pemerintah mengharuskan pesantren menerapkan kurikulum Islam Washathiyah (Islam Moderat) serta tidak boleh mengajarkan jihad dan khilafah. Kedua, regulasi kebijakan pemberdayaan pesantren yakni One Pesantren One Product. Ini tampak bagus padahal ini jelas mengalihkan tujuan pesantren yang sebenarnya yakni dri amencetak para ulama yang faqih fiddin kepada tujuan materi duniawi. 

Ternyata kerusakan pada dunia pendidikan dan generasi sudah mengepung dari segala arah. Hal ini tentu mendapat perhatian dari para aktivis yang peduli tentang nasib generasi. Diskusi yang semakin memanas kemudian dilanjutkan oleh seorang aktivis pemuda Islam.
Ketua Kornas Kohati Periode 2018-2020, Apri Hardiyanti, SH memaparkan bahwa generasi hari sedang menuju pada regulasi pemuda yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berwirausaha, dan kreatif. Namun sangat menarik apabila kita kritisi satu persatu poin-poinnya. Pemuda yang beriman dan bertaqwa tidak mungkin terealisasi di system hari ini karena para pemuda yang belajar Islam disebut sebagai radikal. Sementara Pemerintah sibuk membentuk duta-duta moderasi yang mneyeru lawan syariat. Pemuda yang berakhlak mulia juga tidak sesuai dengan realitas hari ini, malah pemuda hari ini sedang mengalami regradasi moral. Pemuda yang berwirausaha tidak mungkin bias menjadi pemimpin. Pemuda yang kreatif hanya dilihat dengan tolak ukur seberapa besar bias menghasilkan materi, ini menunjukkan betapa rendahnya daya pemuda hari ini. Ditambah lagi dengan peran politik pemuda yang hanya dianggap ketika memberikan suara di pemilu, tetapi saat pemuda kritis terhadap rezim, ini tidak dianggap sebagai peran politik, malah mereka dipersekusi. Artinya system hari ini tidak memberikan ruang untuk perubahan secara sistemik, karena pemuda sudah dikepung dengan macam-macam regulasi yang membajak potensi mereka. 

Suasana pun semakin bergelora dengan  semangat dan pekikan takbir dari para audiens. Benarlah apa yang disampaikan oleh para pembicara-pembicara tersebut. Betapa generasi hari ini sudah dikepung dengan berbagai persoalan yang mengikis aqidah, moral dan juga potensi mereka. Oleh karena itu, tentulah diharapkan sebuah solusi yang dapat memperbaiki kerusakan generasi, karena mereka adalah orang-orang yang akan menjadi pemimpin kelak. Solusi ini disampaikan oleh pembicara selanjutnya.

Ibu dan juga aktivis dakwah, Ustadzah Ratu Erma Rachmayanti membuka dengan pernyataan yang menampar-nampar kita. Tidak ada tempat yang aman bagi generasi di sistem sekuler. 100 tahun sudah kita tidak berhukum dengan hukum Islam. Dalam Khilafah proses pendidikan dimulai dari keluarga. Negara wjib membuat keluarga sejahtera sehingga orangtua focus para pendidikan anak. Dalam sistem sekuler, Negara abai terhadap pemenuhan ekonomi keluarga sehingga orangtua fokus mencari uang. Dalam Islam, masyarakat wajib amar ma’ruf nahi mungkar. Para ulama menyediakan pendidikan non formal. Ada juga parpol Islam yang memantau pemerintah agar tidak lalai dari kewajibannya. Sedangkan dalam system sekuler, justru masyarakat yang merusak pemuda. Sekolah dalam sistem islam tidak mendikotomi antara tsaqofah dan pengetahuan umum. Kurikulumnya satu yakni aqidah Islam, dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Maka pemuda muslim yang dihasilkan menjadi ulama dan ilmuwan yang faqih fiddin. Guru tidak dipusingkan dengan persoalan upah yang rendah karena posisi guru dalam Islam sangat mulia dan mereka di ujroh dengan sangat tinggi.

Semua fasilitas pendidikan disediakan oleh Negara. Negara menyediakan layanan di bidang-bidang Industi, kesehatan, dan sebagainya untuk ketersediaan lapangan kerja yang mudah untuk generasi. Negara melarang tontonan pornografi, hedonism dan nilai-nilai buruk lainnya tersebar. 

Ustadzah Erma juga menyebutkan bahwa musuh umat Islam hari ini adalah rezim global. Semua kerusakan tersebut disebabkan oleh program-program yang dimulai dari PBB kemudian disodorkan kepada pemerintah nasional, turun ke pemerintah daerah dan seterusnya hingga sampailah kepada generasi umat ini. Maka ada beberapa cara untuk kita melawannya.

Team Work: Kerjasama tim dakwah dengan umat. Harus dilakukan oleh partai Islam ideologis.
Kesadaran konfrontatis: melawan dengan tsaqofah Islam. Umat Islam harus yakin bahwa kita punya petunjuk Allah yaitu syariat. Pemuda wajib diajari penyelesaian masalah dengan syariat. 
Wajib menjadikan pemuda menjadi role model menjadi duta Islam melawa pemuda duta moderat. Profiling pemuda sebagai panutan.
Perlawanan opini: dengan menggaungkan opini Islam.

Ustadzah Erma melanjutkan bahwa di mata Allah pemuda bntang adalah pemuda yang mampu melawan sekulerisasi Islam. Pemuda yang dibekali dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang dapat menerangi teman-temannya yang di dalam kegelapan. Pemuda bintang bukan yang self oriented, tetapi pemuda bintang yang hidup untuk umat. Mereka memiliki potensi akal, usia muda, skill, tsaqofah, sains, dan koneksi. 

Akhirnya, host menanyakan kesiapan para audiensi apakah siap menjadi bagian dari perjuangan? Sontak disambut dengan gema suara  "siap" oleh para audiens. Wallahu’alam bish showab.  [] Rahmah Khairani