Luntang-lantung Akibat Gempa Cianjur

 


Oleh Sri Arya Ningsih (Aktivis Muslimah)


Usai satu bulan setelah terjadinya gempa bumi dengan kekuatan 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat telah memakan banyak korban, korban yang meninggal dunia sebanyak 635 jiwa, 5 masih ditanyakan hilang, dan banyak juga warga yang selamat, tetapi banyak rumah dari mereka yang hancur dan porak-poranda, sehingga sampai saat ini masih banyak warga yang tinggal di tenda-tenda pengungsian, mereka sangat berharap agar kehidupannya bisa normal kembali seperti dulu.


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Mengatakan 8.300 warga telah menerima dana stimulan tahap pertama untuk memperbaiki rumah warga. Sejak Rabu, 21 Desember, BNPN mengatakan proses penanganan korban gempa Cianjur, memasuki tahap rekonstruksi dan rehabilitasi, setelah masa tanggap darurat. Pada tahap ini pemerintah akan fokus memperbaiki kembali rumah warga serta infrastruktur yang rusak, dengan target akan selesai pada bulan Juni 2023.


Sebelumnya pemerintah telah menjanjikan kepada masyarakat Crampung yang menjadi korban gempa, untuk memberi bantuan sebesar Rp60 juta untuk rumah yang rusak berat, Rp30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rumah rusak ringan. Namun, pada proses verifikasi sebelumnya, ditemukan data yang tidak sesuai dengan kondisi riil rumah yang rusak. Oleh sebab itu, masyarakat pun meminta dilakukan verifikasi ulang. Akibatnya, mayoritas warga Desa Cibeureum masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, termasuk balita dan anak-anak. Beberapa pengungsi juga mengalami demam, batuk, serta gatal-gatal.


Pemerintah harusnya lebih gesit dan serius menanggapi permasalahan pasca bencana alam ini. Jangan sampai warga yang selamat justru hidupnya lantang kantung tidak tahu arah, makin banyak juga yang terjangkit penyakit, karena tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman. Melihat fakta tersebut, hal ini menunjukkan adanya tidak optimalnya pengurusan korban gempa, apalagi persoalan utama adalah rumah tinggal. Seharusnya negara bergerak cepat untuk menyelesaikannya, mengingat Cianjur adalah sesar gempa. Sebab, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam pencegahan dan penanggulangan segala sesuatu yang berbahaya bagi masyarakat.


Sungguh miris mencermati realitas ini. Indonesia terbukti berada di wilayah tiga patahan lempeng bumi. Artinya, negeri kita jelas rawan bencana, tetapi mitigasi masih seadanya. Bahkan tata kelolanya cenderung ala kadarnya akibat ketiadaan koordinasi solid di antara pejabat dan instansi terkait, serta minimnya prioritas anggaran negara untuk antisipasi bencana. Tata kelola urusan masyarakat lagi-lagi tampak belum menjadi visi utama para pemangku kebijakan. Tidak terkecuali dalam menangani bencana, baik secara preventif maupun kuratif.


Ego sektoral dan saling lempar tanggung jawab antar instansi pengelola alat PDT, menunjukkan miskinnya visi sistem teamwork dan network pemerintahan. Akibatnya, rakyat harus kembali menjadi korban. Masih banyak dari rakyat yang tak paham mitigasi bencana, karena memang tidak pernah memperoleh simulasi, alih-alih penyuluhan. Coba kita ingat, bukankah para pejabat itu diberi amanah menjabat demi mandat sebagai pengurus urusan rakyat, tetapi yang terjadi sungguh kontraindikatif. Cara kerja penguasa benar-benar berorientasi hasil, bukan proses. Padahal, proses adalah aspek ikhtiar sistemik yang hendaknya diraih secara kualitatif dan kuantitatif. Semata agar ikhtiar tersebut berbuah amal saleh. Sebaliknya, tidak sungguhnya ikhtiar tidak ubahnya sikap abai.


Dalam sistem kehidupan saat ini yaitu kapitalisme telah mencetak penguasa melakukan kelalaian, dan ini sudah menjadi karakter dan sifat bawaan rezim politik demokrasi. Karakter buruk ini tidak dapat dipisahkan dengan cacat bawaan yang diterapkan. Karakter sistem politik demokrasi dengan sistem kehidupan sekuler ibarat dua sisi pada sekeping mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya saling mendukung dalam hal pelaksana kebatilan. Lain halnya dengan sistem Islam. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya.” (h.r. Al-Bukhari).


Jika diketahui, bagaimana Islam menangani permasalahan pasca bencana, negara Islam memiliki langkah kebijakan dengan menempuh dua strategis sekaligus yaitu kuratif dan preventif. Dua strategis tersebut bertujuan untuk mencegah dan menghindari penduduk dari bencana. Mereka melakukan pembangunan sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti membuat bendungan, pemecah ombak, dan lain sebagainya. Kemudian melakukan reboisasi, memelihara kebersihan lingkungan, serta menutup celah bagi para korporasi melakukan eksploitasi sumber daya alam.


Pemimpin adalah pengurus dan penanggung jawab atas rakyat. Seorang pemimpin harus sigap dan cekatan tanpa menunda-nunda dan lalai dalam mengurusi rakyatnya. Apabila ia lalai berarti dia termasuk orang yang tidak amanah. Pemimpin yang tidak amanah akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang yang diberi amanah mengurusi rakyatnya, lalu tidak menjalankannya dengan penuh loyalitas, melainkan dia tidak mencium bau surga.” (h.r. Bukhari).


Wallahualam bissawab.