Kewajiban Istri; Melaksanakan Pekerjaan Di Dalam Rumah

 



Oleh: Kusnady Ar-Razi

 

Islam telah menetapkan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Seorang suami wajib memenuhi kebutuhan isterinya yang berasal dari luar rumah, yaitu mencari nafkah dan urusan-urusan yang dilakukan di luar rumah. Sedangkan isteri wajib melayani suaminya dengan melaksanakan pekerjaan di dalam rumah seperti memasak, membersihkan rumah, menyiapkan makanan dan minuman, serta berbagai urusan di dalam rumah yang sudah seharusnya ia kerjakan. Yang semua pekerjaan itu dilakukan dalam rangka melayani suaminya. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani di dalam an-Nizham al-Ijtima’i fil Islam mengatakan:

 

فإنه يجب على المرأة خدمة زوجها من العجن والخبز والطبخ ومسح الدار وتنظيفها ويجب عليها أن تسقيه إذا طلب أن يشرب وأن تضع له الطعام ليأكل وأن تقوم في كل ما يلزمه في البيت. وكذلك ما يلزم لخدمة البيت مما تستدعيه أمور   المعيشة في المنزل من كل شيء دون تحديد

“Wajib bagi seorang istri melayani suaminya seperti mengadon roti, memasak, membersihkan rumah, menyediakan minum apabila suami memintanya, menyiapkan makanan untuk dimakan oleh suaminya, dan melaksanakan semua pekerjaan yang wajib dikerjakan di dalam rumah. Begitu juga apa-apa yang menjadi keharusan untuk mengurus rumah, yaitu pekerjaan yang dituntut oleh kehidupan di dalam rumah tanpa ada batasan.”[1]

 

Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a.[2] tentang Fathimah r.ha. yang mengadu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم atas apa yang dialami tangannya akibat mengadon roti sehingga ia meminta pembantu untuk meringankan pekerjaannya. Berikut adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya:

 

عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى حَدَّثَنَا عَلِيٌّ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهِمَا السَّلَام أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَشْكُو إِلَيْهِ مَا تَلْقَى فِي يَدِهَا مِنْ الرَّحَى وَبَلَغَهَا أَنَّهُ جَاءَهُ رَقِيقٌ فَلَمْ تُصَادِفْهُ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ فَلَمَّا جَاءَ أَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ قَالَ فَجَاءَنَا وَقَدْ أَخَذْنَا مَضَاجِعَنَا فَذَهَبْنَا نَقُومُ فَقَالَ عَلَى مَكَانِكُمَا فَجَاءَ فَقَعَدَ بَيْنِي وَبَيْنَهَا حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ قَدَمَيْهِ عَلَى بَطْنِي فَقَالَ أَلَا أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّا سَأَلْتُمَا إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا أَوْ أَوَيْتُمَا إِلَى فِرَاشِكُمَا فَسَبِّحَا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَاحْمَدَا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبِّرَا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

Dari Ibnu Abu Laila, telah menceritakan kepada kami Ali bahwa Fathimah عليهما السلام datang menemui Nabi صلى الله عليه وسلم mengadukan apa yang menimpa tangannya karena menggiling. Fathimah pernah mendengar kabar bahwa nabi pernah mendapatkan budak, dan ia tidak menemui beliau saat itu. Fathimah pun menceritakan hal itu pada Aisyah. Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم datang, maka Aisyah pun menuturkannya. Kemudian beliau mendatangi kami yang pada saat itu kami sudah bersiap-siap untuk tidur, maka kami pun segera beranjak. Beliau bersabda: "Tetaplah pada tempat kalian." Beliau datang lalu duduk tepat antara aku dan Fathimah hingga aku merasakan kesejukan kedua kakinya. Dan beliau bersabda: "Maukah aku tunjukkan pada sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Bila kalian hendak beranjak ke tempat tidur, maka bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali serta bertakbir tiga puluh empat kali. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu."

 

Senada dengan apa yang dijelaskan di atas, Syaikh ‘Ali Ash-Shobuni mengatakan di dalam kitabnya Al-Zawaj Al-Islamiy Al-Mubakkir[3]:

 

الرجال يعمل خارج البيت لسعادة زوجته وأولاده ليقدم لهم ما يحتاجون من طعام وشراب وكسوة. والمرأة تعمل داخل   البيت قتهيىء الطعام وتنظف الأواني وتغسل الثياب وتقوم على إصلاح المنزل بما يجعله عشا للسعادة

 

“Laki-laki bekerja di luar rumah untuk kebahagiaan istri dan anak-anaknya, demi memenuhi apa yang dibutuhkan mereka berupa makanan, minuman, dan pakaian. Sedangkan perempuan bekerja di dalam rumah menyediakan makanan, mencuci piring dan baju, dan mengurusi rumah secara patut untuk meraih kebahagiaan.”

 

Dalil yang menjadi dasar pandangan beliau ini adalah riwayat dari Asma’ binti Abu Bakar r.a. yang beliau nukil sendiri di dalam kitabnya tersebut. Dari Asma’ binti Abu Bakar r.a. dia berkata[4]:

 

تَزَوَّجَنِي الزُّبَيْرُ وَمَا لَهُ فِي الْأَرْضِ مِنْ مَالٍ وَلَا مَمْلُوكٍ وَلَا شَيْءٍ غَيْرَ نَاضِحٍ وَغَيْرَ فَرَسِهِ فَكُنْتُ أَعْلِفُ فَرَسَهُ وَأَسْتَقِي الْمَاءَ وَأَخْرِزُ غَرْبَهُ وَأَعْجِنُ وَلَمْ أَكُنْ أُحْسِنُ أَخْبِزُ وَكَانَ يَخْبِزُ جَارَاتٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ وَكُنَّ نِسْوَةَ صِدْقٍ وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَأْسِي وَهِيَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَيْ فَرْسَخٍ فَجِئْتُ يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِي فَلَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَدَعَانِي ثُمَّ قَالَ إِخْ إِخْ لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسِيرَ مَعَ الرِّجَالِ وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ وَغَيْرَتَهُ وَكَانَ أَغْيَرَ النَّاسِ فَعَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي قَدْ اسْتَحْيَيْتُ فَمَضَى فَجِئْتُ الزُّبَيْرَ فَقُلْتُ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى رَأْسِي النَّوَى وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَأَنَاخَ لِأَرْكَبَ فَاسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ وَعَرَفْتُ غَيْرَتَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَحَمْلُكِ النَّوَى كَانَ أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ رُكُوبِكِ مَعَهُ قَالَتْ حَتَّى أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ بَعْدَ ذَلِكَ بِخَادِمٍ تَكْفِينِي سِيَاسَةَ الْفَرَسِ فَكَأَنَّمَا أَعْتَقَنِي

 

“Zubair bin Awwam menikahiku. Saat itu, ia tidak memiliki harta dan tidak juga memiliki budak serta tidak memiliki apa-apa kecuali alat penyiram lahan dan seekor kuda. Maka akulah yang memberi makan dan minum kudanya, menjahit timbanya serta membuatkan adonan roti. Padahal aku bukanlah seorang yang pandai membuat roti. Karena itu, para tetanggaku dari kaum Ansharlah yang membuatkan roti dan mereka adalah para wanita yang tulus. Aku memindahkan biji kurma dari kebun Zubair yang telah diberikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya di atas kepalaku. Jarak kebun itu dariku adalah duapertiga farsakh. Suatu hari aku datang sementara biji kurma ada di atas kepalaku. Lalu aku berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang bersama beberapa orang dari kaum Anshar. Beliau kemudian memanggilku dan bersabda: "Ikh, ikh (beliau bermaksud menderumkan unta) rupanya beliau ingin menaikkanku diatas kendaraan di belakangnya. Namun, aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku ingat akan kecemburuan Zubair, ia adalah orang yang paling pencemburu. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun tahu bahwa aku malu, hingga beliau pun berlalu. Setelah itu, aku pun menemui Zubair dan berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemuiku sementara di atas kepalaku ada biji kurma. Sedangkan beliau sedang bersama beberapa orang dari kalangan Anshar, lalu beliau mempersilahkan agar aku naik kendaraan, namun aku malu dan juga tahu akan kecemburuanmu." Maka Zubair pun berkata, "Demi Allah, kamu membawa biji kurma itu adalah lebih berat bagiku daripada engkau naik kendaraan bersama beliau." Akhirnya Abu Bakar pun mengutuskan seorang khadim yang dapat mencukupi pekerjaanku untuk mengurusi kuda. Dan seolah-olah ia telah membebaskanku.” [HR Bukhari]

 

Ringkasnya, wanita wajib melakukan pekerjaan di dalam rumah, apapun jenis pekerjaannya. Hanya saja, kewajiban tersebut terbatas pada kemampuan istri. Jika pekerjaan rumah sangat banyak dan melebihi kemampuan istri, maka suami wajib menyediakan pembantu. Sebaliknya, jika pekerjaan itu sedikit dan masih dalam batas kemampuan, maka istri wajib mengerjakannya sendiri.

 

Hubungan Persahabatan

 

Meskipun Islam telah menetapkan kewajiban suami dan istri, bukan berarti suami sama sekali tidak boleh membantu meringankan apa yang menjadi kewajiban dan tugas istri, begitu juga sebaliknya. Kehidupan rumah tangga tidak lah kaku. Tidak seperti hitungan matematis 1+1=2. Artinya, suami istri saling membantu satu sama lain dalam menjalankan kewajiban. Nabi sendiri terkadang juga melayani dirinya sendiri saat berada di rumahnya. Begitulah cara Nabi menyenangkan hati istrinya agar terwujud ketenangan di dalam kehidupan rumah tangga. Sayyidah ‘Aisyah r.ha. pernah ditanya:

 

ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يعمل في بيته؟ قالت: كان يخيط ثوبه ويخصف نعله وكان يعمل ما يعمل ابرجال في  بيوتهم

“Apa yang dilakukan oleh Nabi di rumahnya?”, Sayyidah ‘Aisyah menjawab: “Beliau menjahit bajunya sendiri, memperbaiki sandalnya, dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di rumahnya.” [HR. Ahmad]

 

Saat haji wada’, Nabi صلى الله عليه وسلم memberikan wasiat agar para suami berbuat baik kepada istri-istri mereka. Beliau mengatakan:

 

ألا واستوصوا بالنساء خيرًا فإنهنّ عوان عندكم

“Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka itu bagaikan tawanan di sisi kalian.” (HR. At-Tirmidzi)

 

Karena itu suami tidak dilarang melakukan pekerjaan di dalam rumah meski itu bukan kewajibannya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk berkhidmat kepada keluarganya. Suami yang baik tidak akan mengatakan kepada istrinya, “Itukan kewajibanmu, bukan kewajibanku”. Tapi mestinya ia meringankan pekerjaan-pekerjaan istrinya yang dilakukan atas dasar rasa cinta dan kasih sayang demi mengharapkan ridho Allah. Begitulah cara suami mempergauli istrinya yaitu dengan memasukkan kebahagiaan ke dalam hati istrinya.

 

وعاشروهنّ بالمعروف فإن كرهتموهنّ فعسى أن تكرهوا شيئًا ويجعل الله فيه خيرًا كثيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An-Nisa: 19)

 

Hubungan suami istri sejatinya adalah hubungan persahabatan, yang masing-masing pihak berusaha meringankan beban satu sama lain. Dengan itulah, kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupan rumah tangga akan tercipta.[]

 

 

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’I Fil Islam, hlm. 143

[2] Lihat Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih, Kairo: Dar Ibnul Jauzi, hlm. 656, hadits nomor 5361 dan dan riwayat Muslim nomor 2727.

[3] Lihat Muhammad ‘Ali Ash-Shobuni, Al-Zawaj Al-Islamiy Al-Mubakkir, hlm. 149

[4] Lihat Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih, Kairo: Dar Ibnul Jauzi, hlm. 639, hadits nomor 5224.