Siyasah Syar'iyyah : Adakah Partai Oposisi Dalam Islam?



بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh : Tommy Abdillah

(Lembaga Studi Islam Multi Dimensi/eLSIM)


Pasca Partai Nasdem Mendeklarasikan Calon Presiden Anies Baswedan pada tgl 03 Oktober 2022 yang lalu, isu reshuffle kabinet menteri kembali mencuat. 

Partai koalisi pendukung Jokowi mendesak Presiden untuk mereshuffle dua Menteri dari Partai Nasdem yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dievaluasi kinerjanya. Reshuffle menteri diprediksi akan dilakukan Presiden Jokowi awal tahun 2023.

Masa Pilpres 2024 masih 2 tahun lagi tapi suhu dan peta politik nasional dalam kondisi pasang surut. Sulit untuk diprediksi kebersamaan Parta Koalisi untuk bisa bersama di Kabinet Menteri hingga masa jabatan Presiden berakhir.

Awalnya Pasca Pilpres 2019 Partai politik yang berada diluar pemerintah hanya tersisa PAN dan PKS. Akhirnya PAN masuk koalisi setelah mendapatkan jatah menteri Perdagangan sang Ketua Umum sendiri yakni Zulkifli Hasan. Hingga kini PKS tetap menjadi partai oposisi. PKS merasa lebih leluasa dan terhormat untuk berada di luar pemerintahan. 

Begitulah wajah buruk Prgmatisme politik Demokrasi. Benar adanya slogan *"Tidak ada kawan dan musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi."*


Partai Politik Dalam Islam

Dalam perspektif Islam partai politik terdiri dari 2 suku kata yaitu hizbun dan siyasiy. Secara bahasa kata hizb dipakai dalam beberapa ayat Al-Quran, Imam Al-Qurthubiy rahimahullahu dalam kitab tafsirnya memaknai kata hizb dalam Surat Al-maidah ayat 56, surat Al-mukminun ayat 53 dan surat Al-mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok atau fariq, millah atau kumpulan orang.


Imam Ar-razi rahimahullahu dalam kitab tafsirnya Mafatih Al-ghaib menjelaskan, partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya.

Peran Partai Politik Islam

Dalam sistem politik Islam seorang Khalifah (penguasa) bukanlah orang yang otoriter yang anti terhadap kritik dari rakyatnya sebab seorang Khalifah adalah wakil ummat (Naib al-ummah) untuk mengurusi urusan kehidupan manusia dan sekaligus penjaga aqidah dan syari'ah. 


Seorang Khalifah juga bukan manusia suci yang terlepas dari kesalahan maupun dosa sebagaimana keyakinan orang-orang Syi'ah terhadap imamnya. Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berasal dari Allah SWT akan tapi yang menjalankannya adalah manusia yang sangat berpotensi melakukan kelalaian, kealfaan ataupun dosa.


Rasulullah SAW bersabda : 


كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ


Artinya : "Seluruh anak Adam berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat."(HR. Ibnu Maajah no. 4.241).


Pada saat Khalifah melakukan kesalahan dalam menjalankan roda kepemimpinan maka rakyat berhak untuk mengoreksinya baik secara langsung maupun melalui lembaga representative majelis ummat. Bahkan partai politik yang ada berhak mengoreksinya. Koreksi partai politik terhadap kebijakan Khalifah bukan dalam rangka untuk menjatuhkannya dengan mosi tidak percaya (impeachment) tapi dalam rangka menyerukan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar.


Bila seorang Khalifah terbukti melakukan kemungkaran atau tindakan kekufuran yang nyata (kufran bawahan) maka Khalifah akan diadili oleh mahkamah madzhalim dan ditegakkan hukuman atasnya sanksinya sesuai dengan tingkat kesalahannya mulai tindakan ta'zir hingga pemecatan (impeachment).


Allah SWT berfirman, 


{وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ} [آل عمران : 104]


Artinya : "Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Al-imran : 104).


Imam Al-qadhi Al-Baydhawi rahimahullahu didalam kitab tafsirnya menjelaskan Surat Al-imran ayat 104, lafadz Min dalam ayat tsb mempunyai konotasi li at-tab’idh yaitu menunjukkan makna sebagian karena amar ma'ruf dan nahyi mungkar merupakan fardhu kifayah.


Disamping itu karena aktivitas tsb tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tsb harus mempunyai sejumlah syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tata cara menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tsb memang menyeru kepada seluruh umat Islam namun yang diminta mengerjakannya hanya sebagian dari mereka.


Hal itu membuktikan bahwa perintah tsb wajib untuk seluruhnya sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban tsb semuanya berdosa. Namun kewajiban tsb dinyatakan gugur jika ada sebagian diantara mereka yang mengerjakannya. (Kitab Tafsir Al-baidhawi Juz I hal 374).


*Penutup*


Partai politik oposisi tidak dikenal dalam Islam. Eksistensi partai politik Islam memiliki peran dan fungsinya untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li alhukkam). Sebab hukum mengoreksi penguasa adalah fardhu atas kaum muslimin. Benar, seorang penguasa wajib ditaati walaupun mrk melakukan kedzaliman dan memangsa hak-hak rakyat. Akan tapi taat kepada penguasa lalim bukan berarti meniadakan kewajiban melakukan koreksi atas diri mereka atau berdiam diri terhadap kemungkaran. Rasulullah SAW bersabda, 


مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ .( رواه مسلم) 


Artinya :“Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dgn tangannya, jika ia tidak mampu maka dgn lidahnya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemah iman “(HR.Muslim).


Wallahu a'lam