Fiqh Wanita : Larangan Menzhihar Isteri

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh : Tommy Abdillah

(Khadim Majelis Ulin Nuha)


Islam telah mensyari'atkan pernikahan sebagai bagian dari ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu tujuan mulia pernikahan adalah menghalalkan yang asalnya diharamkan Allah yaitu hubungan biologis antara pria dan wanita tanpa ikatan pernikahan.


Ketika seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita sah secara syar'i maka berstatus sebagai suami isteri. Status suami isteri tetap memiliki aturan hukum syara' agar ikatan pernikahan tetap berjalan dengan baik agar tercapai visi misi pernikahan yaitu rumah tangga sakinah (damai), mawadah (cinta kasih) wa rahmah (rasa sayang). Diantara aturan itu ada larangan Menzihar isteri.


*Makna Zhihar*


Asalnya zhihar menjadi salah satu budaya orang-orang kafir Quraish jahiliyah 14 abad yang lalu. Zhihar adalah tradisi problematis dan diskriminatif karena perempuan yang telah dizhihar statusnya tidak jelas dan terluntang-lantung.  Zhihar dilakukan ketika seorang suami tidak menginginkan bersama istrinya lagi dan ia juga tidak ingin istri tersebut dipersunting orang lain. Ini sangat merendahkan martabat dan kedudukan wanita.


Secara bahasa, الظهار

bentuk kata masdar dari kata الظهر yang berarti punggung.(1) Yakni menyamakan punggung istri dengan ibu. Secara singkat, zhihar dapat dikatakan sebagai perkataan seorang suami yang digunakan untuk menyamakan istri dengan ibunya. 


Secara istilah zhihar adalah : tindakan suami menyerupakan isterinya atau salah 1 bagian tubuhnya dengan orang yang haram dinikahinya (mahram) meskipun pada batas tertentu atau dengan salah satu bagian tubuhnya.(2). 


Motif Zhihar bisa dimaksudkan sebagai ungkapan ketidak senangan suami terhadap istrinya dan dia menginginkan perceraian. Namun adapula yang bermaksud sebagai pujian atas kecantikan istrinya, yang kecantikannya itu mirip dengan ibunya.


Misalnya, Wahai istriku, kecantikan sangat menawan. Rambutmu hitam dan panjang, bagaikan bidadari dari kahyangan. Kecantikanmu mengingatkanku pada kecantikan ibuku.


*Hukum Zhihar*


Hukum zhihar adalah haram menurut kesepakatan ulama.(3). Menurut Al-Khatib Asy-syarbini pengarang kitab Mughnil Muhtaj, bahwasannya zhihar tergolong perbuatan yang menjerumuskan pelakunya dalam dosa besar. Secara tegas Allah menyifati mereka dalam surat Al-Mujadalah ayat 2


الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ 


Artinya : “Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.(QS. Al-Mujadilah : 2).


Dan juga firman-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 4 yang menyangkal penyerupaan istri dengan ibu,


وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ


Artinya :..dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu.(QS. Al-Ahzab : 4).


Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang disebutkan dalam As-Sunan dan Al-Masanid bahwasannya Aus bin Ash-Shamit menzhihar istrinya, Khaulah binti Malik bin Tsa’labah. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah tentang hal itu. Ia berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ia menikahiku selagi aku masih remaja putri yang layak dicintai, tapi setelah gigi-gigiku copot dan perutku mengendor ia menyamakanku dengan ibunya. Kemudian beliau SAW berkata: “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia adalah anak pamanmu. Aku belum bisa memutuskan urusanmu ini sedikitpun. Khaulah berkata, Ya Allah, aku mengadu kepada Engkau.


Aisyah berkata, Segala puji bagi Allah yang pendengaranNya meliputi segala sesuatu. Khaulah mengadu kepada Rasulullah, sementara aku bersembunyi di dalam rumah sambil merekam sebagian perkataannya. Maka kemudian Allah menurunkan ayat pertama surat Al-Mujadilah.


Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Hendaklah ia memerdekakan budak wanita. Khaulah menjawab Ia tidak sanggup. Beliau bersabda, Hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut. Khaulah menjawab Wahai Rasulullah, ia sudah lanjut usia, dia tidak kuat berpuasa. Beliau bersabda, Hendaknya ia memberi makan enam puluh orang miskin. Khaulah menjawab, Ia tidak memiliki apapun untuk dishadaqahkan.


Aisyah menuturkan, Saat itu Rasulullah mendapat sekeranjang kurma. Maka ku katakan, Wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan sekeranjang korma yang lain. Beliau bersabda, Engkau telah berbuat baik, maka berikanlah ini kepada enam puluh orang miskin dan kembalilah kepada anak pamanmu (suamimu).


*Rukun Zhihar*


Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa zhihar memiliki empat rukun, yaitu lelaki yang mengucapkan zhihar (Al-Muzhaahir), istri yang dizhihar (Al-Muzhaahir Minha), lafal (Sighah) atau ucapan dan perkara yang diserupakan (Muzhaahir).


*Sighat (Ucapan)*


Sighat adalah lafadz zhihar, ia ada dua macam :


1. Sighat shorih.


Yaitu perkataan suami terhadap istrinya, Engkau bagiku atau untukku, atau milikku (dan yang sejenisnya) seperti punggung ibuku (maksudnya dalam hal keharaman). 


Dan maksud dari perkataan tersebut adalah, suami mengharamkan diri dari mensetubuhi istrinya, sebagaimana ia diharamkan atas punggung ibunya. Termasuk kategori perkataan shorih adalah ucapan Engkau seperti punggung ibuku, yakni dengan menghapuskan silah.


2. Sighat Kinayah


Yaitu yang mengandung makna selain dimaksudkan untuk zhihar. Seperti perkataan, Kamu bagi selain diriku seperti punggung ibunya. maka dalam hal ini ulama berbeda pendapatnya. Menurut kebanyakan fuqaha’ sighat kinayah terhitung zhihar apabila disertai dengan niat.


*Kafarat Zhihar*


Bila seorang suami telah Menzhihar isterinya maka jumhur ulama sepakat bahwasannya kafarat zhihar ada tiga bentuk yang ditunaikan salah satunya sesuai urutan. 


1. Memerdekakan budak.


2. Berpuasa 2 bulan berturut-turut


3. Memberi makan 60 orang miskin.


Dalil-dalil yang menjadi dasar kafarat terdiri dari dua macam:


Pertama, dalil Al-Qur’an.  Allah berfirman 


وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ 


Artinya, “Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian hendak menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 


Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.” (QS. Al-Mujadalah: 3-4)


Kedua, dalil dari Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagaimana yang telah penulis cantumkan sebelumnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sanadnya dari Khaulah binti Malik bin Tsa’labah, ia berkata “Aus bin Shamit menzhiharku, maka aku datang kepada Rasulullah untuk mengadu. Kemudian beliau menggugatku, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya dia adalah sepupumu.” Kemudian Allah menurunkan surat Al-Mujadalah ayat satu hingga empat.


Beliau bersabda, Hendaknya ia memerdekakan seorang budak, Khaulah menjawab, Dia tidak memilikinya. Beliau berkata, Kalau begitu hendaknya ia berpuasa dua bulan berturut-turut. Khaulah menjawab, Wahai Rasulullah, sungguh ia adalah orang tua yang tidak bisa melakukan puasa. Rasul mengatakan, Kalau begitu hendaknya ia memberi makan enam puluh orang miskin.


*Penutup*


Maha suci Allah yang telah menetapkan Syari'at-Nya bagi makhluk-makhluk-Nya agar kehidupan manusia bisa berjalan secara normal dan seimbang. Termasuk Syari'at dalam pernikahan agar seorang suami tidak dengan mudah mengucapkan Zhihar dan thalaq kepada isterinya.


Wallahu a'lam


Catatan Kaki :


1. Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 6, hal 506, Jakarta: Gema Insani, 2010


2. Syaikh Abu Malik Kamal, Kitab Shahih Fiqh Sunnah, jilid 3, hal 586, Pustaka Azzam, 2007


3. Ibnu Qudamah,  Al-Mughni, jilid 7, hal 238, Beirut: Daarul Kutub Al-Islami, 2008