Uslûb Larangan

 


Al-Asâlib adalah bentuk jamak dari al-uslûb. An-Nawâhiy adalah bentuk jamak dari an-nahyu, Jadi bentuk tunggal dari asâlib an-nawâhiy adalah uslûb an-nahyi. Al-Uslûb (gaya bahasa) yang dimaksud di sini adalah uslûb al-kalâm al-‘arabi (gaya bahasa pengungkapan dalam bahasa Arab). Jadi uslûb an-nahyi (gaya bahasa larangan) adalah gaya bahasa pengungkapan dalam bahasa Arab yang ditetapkan untuk menunjukkan larangan.

Larangan adalah tuntutan meninggalkan perbuatan menurut cara isti’lâ’. Yang dimaksudkan dengan larangan (an-nahyu) dalam konteks ini adalah larangan Asy-Syâri’, yakni larangan yang berasal dari Allah SWT atau Rasul saw., yang dinyatakan di dalam nas syariah, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Jadi, uslûb an-nahyi asy-syar’iy adalah gaya bahasa penyampaian larangan syariah di dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Dengan menelaah nas-nas al-Quran dan as-Sunnah, diketahui bahwa uslûb an-nahyi itu adakalanya sharîh (gamblang) dan adakalanya ghayru sharîh (tidak gamblang).

 

Larangan yang Gamblang

Larangan yang gamblang (an-nahyu ash-sharîh) adalah larangan dengan uslûb yang sharîh. Artinya, dengan menggunakan lafal dan redaksi yang menunjukkan larangan secara gamblang (sharîh). Dan ini ada dalam dua bentuk:

Pertama, larangan dengan menggunakan lafal nahâ–yanhâ. Contohnya, firman Allah SWT:

وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ ٩٠

Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan (QS an-Nahl [16]: 90).

 

Contoh lainnya, Abdullah bin Umar ra menuturkan:

أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا،نَهَى البَائِعَ الْمِبْتَاعَ

Rasulullah saw. melarang menjual buah sampai tampak kelayakannya. Beliau melarang penjual dan pembeli (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Kedua: Menggunakan redaksi larangan (shîghât al-amri), yakni redaksi yang secara bahasa ditetapkan untuk menyatakan larangan, yaitu redaksi lâ nahiyah (huruf yang menyatakan larangan, yang dikaitkan dengan fi’lu al-mudhâri’). Tegasnya redaksi lâ taf’al atau lâ yaf’al dan bentukannya secara bahasa. Redaksi lâ taf’al lebih banyak digunakan daripada redaksi lâ yaf’al. Contohnya, firman Allah SWT:

فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا ٢٣

Sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka (QS al-Isra’ [17]: 23).

 

Juga firman Allah SWT:

لَّا يَتَّخِذِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ ٢٨

Janganlah kaum Mukmin mengambil kaum kafir sebagai wali dengan meninggalkan kaum Mukmin (QS Ali Imran [3]: 28).

 

Larangan yang Tidak Gamblang

Larangan itu tidak ditunjukkan oleh lafal atau redaksi larangan (shîghat an-nahyi). Namun, makna larangan itu ditunjukkan oleh kalimat di dalam nas. Artinya, kalimat di dalam nas itu mengandung makna larangan, baik secara langsung atau makna larangan itu ditunjukkan oleh kelaziman makna kalimat itu. Dengan kata lain, makna larangan itu ditunjukkan oleh kalimat di dalam nas secara manthûq atau secara mafhûm.

 

  1. Redaksi kalimat yang secara manthuq menunjukkan makna larangan.

Ini ada lima bentuk. Pertama: Larangan yang bersifat majaz yang dikaitkan dengan keadaan. Larangan ini ditujukan pada keadaan tersebut. Contohnya firman Allah SWT:

وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ  ١٠٢

Janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (QS Ali Imran [3]: 102).

 

Larangan “lâ tamûtunna (Janganlah kalian mati)” ini bersifat majazi. Pasalmnya, seseorang tidak bisa menolak kematian yang menghampiri dirinya. Jadi maknanya: Janganlah kalian meninggalkan Islam dan teruslah di atas Islam sampai kematian menghampiri diri dan kamu dalam keadaan demikian.

Contoh lainnya, sabda Rasul saw.:

لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلَّا وَهو يُحْسِنُ الظَّنَّ باللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Janganlah salah seorang kalian mati kecuali dia berprasangka baik kepada Allah (HR Muslim, Ahmad  dan Ibnu Hibban).

 

Maknanya, teruslah berprasangka baik kepada Allah sampai kematian menghampirimu dan kamu dalam keadaan itu.

Kedua: Larangan mendekati suatu perbuatan. Ini ada dua macam:

(1)      Jika larangan mendekati suatu perbuatan itu dikaitkan dengan keadaan maka larangan itu ditujukan pada keadaan itu dan bukan pada perbuatan itu. Contohnya firman Allah SWT:

 

لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُواْ مَا تَقُولُونَ ٤٣

Janganlah kalian shalat, sementara kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan (QS an-Nisa’ [4]: 43).

 

Di sini larangan untuk shalat dikaitkan dengan keadaan mabuk. Artinya, maknanya adalah jangan kalian mabuk ketika ingin shalat.

  1. Jika larangan mendekati suatu perbuatan itu tidak dikaitikan dengan keadaan tertentu, maka larangan itu dengan keras ditujukan pada perbuatan itu sendiri. Contohnya:

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا  ٣٢

Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk (QS al-Isra’ [17]: 32).

 

Ini merupakan larangan sangat keras zina.

 

Ketiga: Larangan dari musabab atau akibat. Larangan itu sebenarnya ditujukan pada sebabnya. Contohnya adalah firman Allah SWT:

فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا ٥

Sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kalian (QS Fathir [35]: 5).

 

Maknanya: Janganlah kalian menjadikan duniasebagai tujuan perhatian kalian sehingga menyebabkan kalian terpedaya oleh dunia.

Keempat: Kalimat bersyarat yang bersifat informatif (jumlah syarthiyah khabariyah) atau kalimat informatif dalam makna syarath yang jawab syarath-nya mengandung celaan terdapat perbuatannya atau pelakunya. Ini menunjukkan larangan untuk melakukan perbuatan tersebut. Contohnya firman Allah SWT:

وَمَن يَكۡسِبۡ خَطِيْئَةً أَوۡ إِثۡمٗا ثُمَّ يَرۡمِ بِهِۦ بَرِيْئًا فَقَدِ ٱحۡتَمَلَ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا  ١١٢

Siapa saja yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian hal itu dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh dia telah melakukan suatu kebohongan dan dosa yang nyata (QS an-Nisa’ [4]: 112).

 

Ini merupakan kalimat syarat informatif yang jawab syarath-nya, yakni “faqad ihtamala buhtân[an] wa itsm[an] mubîn[an]”, mengandung celaan. Maknanya adalah larangan atas perbuatan yang dinformasikan, yaitu larangan untuk melakukan dosa dan kesalahan, lalu melemparkan tuduhan atasnya kepada orang lain.

Contoh, sabda Rasul saw.:

مَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّ أْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa saja yang mengklaim apa yang bukan miliknya bukanlah dari golongan kami dan hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya dari neraka (HR Muslim dan Ibnu Majah).

 

Maknanya adalah larangan kepada seseorang agar tidak mengklaim apa yang bukan miliknya.

Kelima: Menggunakan huruf al-jarr (al-lâmu, fî, ‘alâ) dengan makna aslinya yang menafikan di dalam inti ucapan. Contohnya firman Allah SWT:

لَّيۡسَ عَلَى ٱلۡأَعۡمَىٰ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡأَعۡرَجِ حَرَجٞ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرِيضِ حَرَجٞ وَلَا عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَن تَأۡكُلُواْ مِنۢ بُيُوتِكُمۡ أَوۡ … ٦١

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi diri kalian sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri atau… (QS an-Nur [24]: 61).

 

Maknanya: Janganlah kalian merasa keberatan untuk makan…

 

  1. Redaksi kalimat yang secara mafhuum memberi faedah larangan.

Maksudnya adalah larangan itu bukan ditunjukkan oleh lafalnya, tetapi oleh makna kalimatnya melalui dalâlah al-iqtidhâ’. Ini ada beberapa macam. Pertama: Makna larangan itu dituntut oleh kebenaran pihak yang berbicara. Contohnya firman Allah SWT:

وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا  ١٤١

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).

 

Maknanya: Janganlah kalian mengadakan jalan bagi kaum kafir menghancurkan kaum Mukmin.

Kedua: Makna larangan dituntut oleh kesahihan terjadinya apa yang diucapkan itu secara syar’i. Ini dalam bentuk penggunaan makna penetapan hukum syariah dalam redaksi berita, yakni hukum haram atau makruh menggunakan lafal harrama, hurrima, karaha atau kuriha dan bentukannya. Hal itu mengharuskan makna larangan dengan redaksi lâ taf’al

Contohnya dalam firman Allah SWT: Hurrimat ‘alaykum ummahâtukum (Telah diharamkan bagi kalian ibu kalian) (QS an-Nisa’ [4]: 23). Maknanya: Lâ tunkihûhâ wa lâ tuzawijûhâ (Janganlah kalian menikahi dan jangan kalian mengawininya).

Demikian pula firman Allah SWT: Hurrimat ‘alaykum al-maytatu (Telah diharamkan bagi kalian bangkai) (QS al-Maidah [5]: 3). Maknanya:  Lâ ta`kulû al-maytata (Jangan kalian makan bangkai).

Ketiga: Makna larangan itu dituntut oleh keharusan kesahihan terjadinya apa yang diucapkan itu secara Bahasa. Di situ digunakan uslûb idhmâr (penyembunyian): at-tahdzîr (peringatan). Contohnya sabda Rasul saw.:

إِيَّاكُمْ وَالجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ

Jauhilah oleh kalian duduk di jalanan (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

 

Maknanya: Janganlah mendekati duduk-duduk di jalanan, yakni hati-hati dan jauhilah duduk-duduk di jalanan. Jadi di situ ada idhmâr (penyembunyian) lafal ihdzarû atau ijtanibû dan itu bermakna larangan.

Inilah di antara uslûb yang digunakan untuk menunjukkan larangan. WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yahya Abdurrahman]