Khilafah: Kewajiban dan Kebutuhan

 



 
Dalam khasanah Islam, istilah khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing. Khilafah adalah ajaran Islam sebagaimana ajaran Islam lain seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.  Kaum Muslim dan non-Muslim setelah Rasulullah saw. wafat pernah lebih dari 1000 tahun hidup sejahtera dalam naungan Khilafah. Karena itu khilafah adalah ajaran Islam yang secara normatif dan historis jelas bisa ditemukan jejaknya.

Asal-usul kata khilâfah kembali pada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa. Al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H) mengungkapkan: fulân[un] yakhlufu fulân[an] fî ‘iyâlihi bi khilâfat[in] hasanat[in]. Ini menggambarkan estafeta kepemimpinan.

Hal senada diungkapkan oleh al-Qalqasyandi (w. 821 H). Salah satu contohnya dalam QS al-A’raf [7]: 142. Al-Qalqasyandi menegaskan bahwa Khilafah secara ’urf lantas disebut untuk kepemimpinan agung. Ini memperkuat makna syar’i-nya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas umat, menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya.

Khilafah bukan sembarang kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara urusan agama ini, dan mengatur urusan dunia dengannya. Ini ditegaskan oleh Imam al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H) dan para ulama lainnya.

Dengan kata lain, kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi ciri khas mulia. Ini berbeda dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka. Inilah yang diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani. Beliau menjelaskan makna syar’i khilafah yang digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah: kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (yakni mengemban dakwah dengan hujjah dan jihad).

Dalam Mu’jam Musthalahat al-’Ulum as-Syar’iyyah (hlm. 756), istilah khilafah ini didefinisikan sebagai: pengganti Nabi saw dalam menjalankan agama dan mengurus dunia, di antaranya seperti Abu Bakar, dan para Khulafaur Rasyidin sepeningganya, dan yang lain seperti mereka. Semoga Allah meridhai mereka. Khilafah merupakan pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia.

Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.  Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah.

Dalam Kitab fikih yang terbilang sederhana—namun sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya  Sulaiman Rasyid, dicantumkan juga bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Terlepas dari berbagai ragam sikap, seluruh imam mazhab bersepakat bahwa  Khilafah atau Imamah adalah bagian dari ajaran Islam yang wajib untuk ditegakkan.

Dr. Mahmud al Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al Azhar Mesir, menyatakan, Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (Al-Khalidi, Qawa’id  Nizham al-Hukm fi al Islam, hlm. 226).

Menurut Sayyid Quthb, Islam tidak akan tegak tanpa negara dan kekuasaan (Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, I/601).

Sejarah Islam, menurut Quthb, sebagaimana yang pernah ada, merupakan sejarah dakwah dan seruan, sistem dan pemerintahan. (Quthb, ibid, II/696).

 

Ulama Aswaja Mewajibkan Khilafah

Kewajiban menegakkan Khilafah ini telah menjadi ijmak para ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).  Imam al-Qurthubi menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah)  dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, 12/205).

Imam al-Ghazali menyatakan, “Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para nabi. Karena itu kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 99).

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, “Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah,  bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Imam al-Mawardi menyatakan, “Melakukan akad Imamah (Khalifah) bagi orang yang (mampu) melakukannya hukumnya wajib berdasarkan ijmak meskipun al-‘Asham menyalahi mereka” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyyah, hlm. 5).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Ketahuilah juga, para sahabat Nabi saw. telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban terpenting karena mereka telah menyibukkan diri dengan hal itu dari menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami,  Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 17).

Imam asy-Syaukani menyatakan, “Mayoritas ulama berpendapat Imamah (Khilafah) itu wajib. Menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Muktazilah dan Asy’ariyah, Imamah (Khilafah) itu wajib menurut syariah (Asy-Syaulani, Nayl al-Awthâr, VIII/265).

Pendapat para ulama tedahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirin (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll).

Karena itu sungguh aneh bin ajaib jika ada kaum Muslim mengatakan bahwa Khilafah adalah ilusi dan utopis. Apalagi orang-orang Barat justru sedang menghadang kebangkitan kembali Khilafah. Mereka justru begitu yakin akan berdirinya Khilafah dalam waktu dekat. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004 merilis laporan berjudul: Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project. Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia tahun 2020. Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: (1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia. Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS. (3) A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. (4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia), yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia—kekerasan akan dibalas kekerasan.

Dari dokumen tersebut jelas sekali bahwa negara-Negara Barat meyakini bahwa Khilafah Islam akan bangkit kembali. Menurut mereka, Khilafah Islam tersebut akan mampu menghadapi hegemoni nilai-nilai peradaban Barat yang kapitalistik sekularistik.

 

Tiga Esensi Khilafah

Esensi pertama Khilafah adalah penerapan syariah Islam secara kaffah (QS al-Baqarah [2]: 208) dalam seluruh aspek kehidupan.

Esensi kedua Khilafah adalah ukhuwah dan rahmat (QS al-Anbiya’ [29]: 107). Dengan Khilafah kaum Muslim akan bersatu dalam satu kepemimpinan. Bahkan Khilafah akan memberikan perlindungan yang maksimal kepada setiap warga negara, meski beda ras dan agama dalam satu naungan pemerintahan yang adil dan beradab. Para cendekiawan Barat yang nota bene non-Muslim pun mengakui gemilangnya peradaban Islam di bawah Khilafah yang telah memberikan kesejahteraan bagi seluruh manusia tanpa kecuali.

Esensi ketiga Khilafah adalah dakwah Islam rahmatan lil‘alamin (QS Ali Imran [3]: 104). Dakwah adalah ajakan dan seruan menuju jalan Allah SWT tanpa kekerasan dan paksaan. Karena itu dakwah Islam oleh Khilafah berbeda dengan imperialisme kapitalis dan revolusi komunis yang keduanya menyisakan kesengsaraan manusia.

Dengan tiga esensi utama Khilafah, tegaknya Khilafah adalah kebaikan bagi semua manusia dan akan menjadi rahmat bagi alam semesta. Karena itu melabeli Khilafah sebagai berbahaya adalah upaya demonologi atau monsterisasi ajaran Islam.

 

Dunia Butuh Khilafah

Tanpa Khilafah, kondisi umat di seluruh dunia mengalami kondisi yang memprihatinkan. Di bawah hegemoni penjajahan kapitalisme sekular, nasib umat Islam di dunia terjajah, tertindas dan miskin.

Tanpa Khilafah, umat Islam terbelenggu dalam kubangan sistem hukum kufur. Mereka juga hidup di bawah nasionalisme  sempit yang memecah-belah persatuan umat Islam di dunia. Padahal umat Islam di seluruh dunia adalah satu dan bersaudara.

Tanpa Khilafah, sebagian umat Islam terjebak dalam kesesatan beragama. Muncul berbagai aksi penghinaan dan penistaan terhadap Islam, ulama, kitab suci al-Quran bahkan penghinaan terhadap Allah dan Rasulullah saw.

Tanpa Khilafah umat Islam juga terkungkung dalam liberalisme yang menuhankan kebebasan tiada batas. Liberalisme terus berusaha merusak kaum Muslim dengan serangan pemikiran yang melumpuhkan pilar-pilar fundamental Islam. Dalam pemikiran liberal yang halal dianggap haram dan yang haram justru dianggap halal dengan berbagai apologi ngawur. Dalam pemikiran liberal, penghinaan terhadap Rasulullah saw. dianggap sebagai kebebasan berekspresi, sementara pembelaan terhadap Islam dianggap sebagai radikalisme.

Tanpa Khilafah umat Islam juga terjebak dalam budaya hedonisme dan pragmatisme yang mengukur segala sikap dan perilaku berdasarkan nafsu duniawi semata. Hedonisme dan pragmatisme telah melahirkan seks bebas, pornografi pornoaksi, pelacuran, homoseksual, miras, narkoba, dan pergaulan bebas. Hedonisme inilah yang telah menghancurkan generasi muda Islam.

Tanpa Khilafah umat islam pun hidup di bawah sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi, penuh praktik perjudian, penipuan dan kezoliman. Kapitalisme adalah bentuk penjajah ekonomi yang hanya mementingkan pemilik modal semata sehingga melahirkan pertumbuhan ekonomi palsu. Kapitalisme melahirkan ketidakadilan karena yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dengan sistem ribawi, kapitalisme telah menjerat bangsa ini dengan hutang yang tidak mungkin terbayarkan. Seluruh SDA dirampok tanpa tersisa. Rakyat dijerat dengan berbagai skema hutang ribawi. Akibatnya negeri ini menjadi bangkrut karena hutang, sementara rakyat semakin sengsara. Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim kini hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Kapitalisme telah menjadikan negeri ini terjual habis tanpa tersisa. Bahkan rakyat yang telah miskin masih dicekik dengan pajak yang tidak masuk akal.

Lebih dari itu, tanpa Khilafah, saat ini kondisi kaum Muslim di seluruh dunia terjajah, terzalimi, teraniaya, terusir, terfitnah, tertuduh, terbunuh, termiskin, terpecah, tersiksa, terhina, terpuruk dan tertindas. Padahal kaum Muslim menurut Allah SWT adalah umat terbaik dan termulia. Islam memuliakan umatnya.

Alhasil, tidak ada jalan lain kecuali umat Islam harus kembali pada Islam sebagai ideologi yang memancarkan sistem hukum dan pemerintahan. Dengan itu umat Islam kembali merdeka, kuat dan mulia.

Dengan ideologi Islam yang diterapkan oleh Khilafah inilah kaum Muslim akan bisa dipersatukan kembali dan memperoleh kemuliaannya kembali. Bahkan dengan Khilafah, ideologi Islam akan kembali memancarkan peradaban mulia yang memberi rahmat bagi alam semesta sekaligus akan menghapus segala bentuk kezaliman dan kesombongan kaum kafir penjajah.

Alhasil, tegaknya Khilafah, selain sebagai kewajiban bagi kaum Muslim, juga merupakan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan problem multidimensi manusia, hari ini dan masa depan.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. Ahmad Sastra, MM; Dosen Filsafat di Institut Al Zuhri Singapore