Tragedi Kanjuruhan, Fanatisme dan Represifnya Negeri Ini

 



Oleh Retno Purwaningtias
(Pegiat Literasi)

Peristiwa memilukan terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, pada Sabtu malam. Pertandingan antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya menyisakan duka yang mendalam, lebih dari 130 korban meninggal dunia akibat kerusuhan yang terjadi. Bagi Aremania, kalah di Kanjuruhan merupakan pertaruhan harga diri, mengingat kedua klub dan suporter dari keduanya sangat kental dengan aroma rivalitas yang tinggi. (republika.co.id, 02/10/2022).

Dalam dunia sepakbola, rasa cinta terhadap klub kesayangan dinilai sebagai harga diri. Bahkan ada yang menyebutkan klub sepakbola adalah agama kedua bagi mereka, sehingga tak heran mereka sangat membela dan mendukung timnya. Bila tim tercintanya dihina, diremehkan, atau bahkan sampai kalah dengan rivalnya di kandang sendiri, maka itu sangat mengecewakan. Oleh karena itu, hal ini dinilai oleh publik sebagai fanatisme golongan.

Dalam ilmu psikologi, fanatisme didefinisikan sebagai sebuah semangat atau kesetiaan berlebih yang tidak rasional terhadap keyakinan tertentu (Fanaticism – APA Dictionary of Psychology, t.t.). Maka, berdasarkan definisi yang ada, dapat dipahami bahwa perilaku yang dimaksud sebagai fanatisme merupakan perilaku yang terjadi secara berlebihan dan cenderung tidak rasional terhadap kelompok atau public figur tertentu.

Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan adalah potret buruk fanatisme golongan, yang sudah berulang terjadi. Kali ini adalah yang paling parah. Karena tragedi ini menjadi peristiwa tragis kedua dalam dunia sepakbola setelah tragedi di Lima, Peru saat Argentina bertamu ke Stadion Nasional Lima 24 Mei 1964 pada kualifikasi Olimpiade Tokyo. Sebanyak 328 nyawa melayang akibat sesak nafas karena gas airmata, hampir sama dengan yang terjadi di Malang.

Kasus kerusuhan suporter sepak bola seperti ini sudah berulang kali terjadi. Berulangnya kerusuhan dalam pertandingan sepak bola seolah menunjukkan pembiaran negara atas hal ini. Hal ini dinilai masyarakat demikian karena hingga kini, negara tak memberikan sanksi efek jera terhadap para suporter yang melakukan kerusuhan.

Di sisi lain, tragedi ini menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi.  Hal ini nampak pada penggunaan gas air mata, yang sejatinya dilarang penggunaannya dalam pertandingan sepak bola dan juga dalam stadion. Gas air mata tersebut tak akan digunakan jika memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Di sinilah letak represifnya aparat dalam mengatasi persoalan yang dihadapi.

Sebetulnya, tragedi ini tak akan terjadi ketika fanatisme tak menjadi acuan dan aparat bertindak tepat dalam mengatasi persoalan. Namun, itulah potret buruk sistem pemerintahan kapitalisme-sekularisme yang diampu negeri ini. Sistem ini menumbuhsuburkan fanatisme golongan yang sempit dan membuat sempit masyarakat. Selain itu juga sistem ini membuat para aparat negeri ini begitu represif menghadapi tiap persoalan.

Wallahualam Bissawab.