Ketika RUU-TPKS Disahkan, Bisakah Selesaikan Problematika Perempuan?




 
Oleh Nurlela Nasution (Aktivitas Muslimah)

“Tidak dapat memuliakan derajat kaum perempuan kecuali orang yang mulia, dan tidak dapat merendahkan derajat kaum perempuan kecuali orang yang tidak baik budi pekertinya.” (h.r. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Asakir).

Kini, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU-TPKS) telah resmi disahkan. Setelah sebelumnya melewati perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Lantas, bisakah pengesahan dari UU TPKS ini benar-benar mampu melindungi dan menyelesaikan seluruh problematika perempuan? Atau justru hal ini malah akan membuka peluang bagi permasalahan baru yang memusingkan?

Seperti yang terjadi baru-baru ini, Puan Maharani selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah mengetok palu. Hal ini sebagai tanda disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) menjadi Undang-Undang. (kompas.com, 13/04/2022).

Kasus kekerasan seksual terhadap kaum perempuan dan anak-anak kerap kali terjadi di tengah masyarakat dan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini pun terjadi bukan tanpa alasan. Sebab, hukum yang diberlakukan di negeri ini dirasa belum dapat melindungi para korban. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa para aktivis perempuan ingin sekali agar RUU-TPKS ini disahkan dan menjadi Undang-Undang.

Memang benar adanya jika permasalahan kekerasan terhadap kaum perempuan masih marak terjadi, baik di rumah maupun di tempat umum. Inilah bukti betapa pelecehan, penindasan, dan juga kemiskinan masih saja menyelimuti kaum perempuan. Hal ini pun terjadi karena masih diterapkannya sistem demokrasi-kapitalisme di negeri ini. Sistem yang telah berakar dan menjadi urat nadi bagi bangsa ini, yang secara pasti akan memberikan pengaruh bagi setiap kebijakan yang diberlakukan.

Belum lagi negara seperti lepas tangan dan tak mau tahu tentang kesusahan yang dirasakan oleh seluruh warga negaranya, termasuklah di dalamnya perempuan. Dari sinilah cikal-bakal perempuan dengan terpaksa keluar dari rumahnya untuk membantu keluarga agar terpenuhinya segala kebutuhan. Keberadaan perempuan di luar rumahnya dari pagi hingga malam untuk bekerja, memberi celah bagi para pelaku kejahatan untuk mengintai keamanan kaum perempuan.

Apalagi, mengingat kaum perempuan hari ini sangat kental dipengaruhi oleh aroma liberalisme yang menjadikannya ingin serta dan mendapat posisi yang sama dengan laki-laki. Hal inilah yang menjadi alasan kaum perempuan ingin berkarier di luar rumahnya. Tak hanya itu, sistem pergaulan pun nyatanya menjadi salah satu faktor bagi permasalahan ini. Seperti yang kita tahu bahwa hari ini hubungan antara laki-laki dan perempuan makin liar, yang mengakibatkan terbukanya peluang kejahatan seksual pada kaum perempuan.

Maka jelaslah dari sini, bahwa UU yang disahkan ini akan menjadi alat liberalisasi dalam hubungan seksual, di mana akan terlihat jelas bahwa banyaknya pelecehan seksual, pasangan homo dan gay, pemerkosaan yang didasari suka sama suka, bahkan, atas nama cinta tanpa ada ikatan pernikahan (zina) dapat terjadi. Sebab, aktivitas seksual yang dilarang menurut UU-TPKS hannyalah aktivitas yang berbasis kekerasan, paksaan, atau bertentangan dengan keinginan personal. Sedangkan aktivitas seksual tanpa paksaan atau kekerasan, tidak masuk dalam bahasan kejahatan seksual.

Maraknya kasus kekerasan dan kejahatan seksual sesungguhnya akibat dari sistem sekuler yang memang mengakar di tengah masyarakat. Sistem kehidupan sekuler membentuk individu-individu yang cenderung menginginkan kebebasan sebebas-bebasnya dalam kehidupannya. Ia tidak mau diatur terlalu banyak, bahkan sama sekali tidak mau diatur oleh aturan agama. Sistem sekuler ini juga membentuk manusia-manusia yang tidak mau memikirkan aspek spiritual dalam hidupnya. Mereka bersikap masa bodoh dengan agama. Kebahagiaan pun disandarkan pada materi, yaitu hanya terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, termasuk kebutuhan sekunder bahkan tersiernya.

Bahagia disandarkan pada kepuasan materi, termasuk kepuasan seksual. Entah bagaimana caranya untuk mendapatkan kepuasan seksual tersebut, baik pemuasan seksual lawan jenis ataupun sesama jenis, semuanya tanpa aturan agama. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan konsep Islam yang menempatkan aturan Allah sebagai pedoman dalam berbuat, termasuk dalam hal menyalurkan keinginan seksual. Oleh karenanya, kita bisa lihat kasus kekerasan atau kejahatan seksual dimasyarakat bukannya makin berkurang, tetapi justru makin meningkat. Payung hukum UU-TPKS ini cenderung mengakomodasi pemikiran liberal.

Dalam Islam, solusi untuk kasus kekerasan dan kejahatan seksual sangat apik, baik penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif).

Ada tiga mekanisme Islam di dalamnya, yaitu:
Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, baik ranah sosial maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’). Islam juga membatasi interaksi laki-laki dan perempuan selain pada sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar), kesehatan (rumah sakit, klinik) dan sebagainya.

Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dengan cara yang baik.

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu rajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah) dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).

Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku sekaligus penghapus dosa (jawabir) ketika sampai waktunya pada Yaumil Hisab nanti. Hanya saja, ketiga mekanisme Islam yang apik ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan hukum Islam kafah, yaitu Khilafah Islamiah, bukan institusi sekuler-liberal seperti hari ini. Karena Islam dan Khilafah itu adalah Junnah (perisai) yang akan melindungi dan memberi keselamatan serta keamanan dalam segala lini.

Wallahualam bissawab.