Belawanku Sayang, Belawanku Malang: Banjir Rob Kapan Dapat Penanganan?



Oleh Retno Purwaningtias, S.IP (Pegiat Literasi Islam)

“Kota Belawan adalah zona utama. Dari sana sumber ekonomi Sumut berasal. Tapi kampung kami, Kota Belawan, dianggap sebagai dapur belakang rumah. Kami tidak terima ini. Kami minta pemerintah, baik provinsi dan Kota Medan, DPRD, lihat kami, dengar kami, tolong hal ini segera dituntaskan!” – Chairil Chaniago, Ketua Forum Anak Belawan Bersatu (FABB)

Warga Belawan menangis. Masalah banjir rob makin kritis. Berbagai upaya telah ditempuh masyarakat. Mulai dari melakukan pengaduan, melayangkan surat pada tiga instansi, hingga menggeruduk kantor Gubernur Sumatera Utara secara langsung.

Namun, upaya-upaya tersebut lagi-lagi hanya direspons apatis dari pemerintah setempat. Menunjukkan bahwa protes dan unjuk rasa yang dilakukan masyarakat akan selalu berujung percuma. Maka, perlu adanya sebuah perubahan fundamentalis. Sebuah perubahan yang akan membawa Belawan keluar dari bencana yang telah lama mengundang traumatis bagi masyarakatnya.

Dikutip dari waspada.co.id, 18/10/2021, Ketua Forum Anak Belawan Bersatu (FABB), Chairil Chaniago, mengatakan bahwa telah bertahun-tahun masyarakat Belawan menghadapi banjir rob. Tiap tahun pun volume air laut yang menggenangi pemukiman warga makin bertambah. Penambahan volume ini disebabkan karena buffer zone (kawasan penyangga) yang ada di wilayah Belawan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hutan mangrove telah disulap menjadi perkebunan sawit, pertambakan dan depo-depo pelabuhan petikemas. Drainase pun tidak berfungsi dengan baik.

Melihat fakta tersebut, masalah banjir rob di Belawan ini sudah seharusnya menjadi persoalan urgen yang butuh penanganan cepat. Namun sayangnya, pemerintah Kota Medan tidak pernah menjadikan masalah banjir rob di Belawan ini sebagai masalah prioritas. Keluhan, aduan, dan protes hingga unjuk rasa terkesan diabaikan. Pembangunan di kawasan Medan Utara seperti dianaktirikan. Padahal Belawan merupakan pintu gerbang perekonomian di Sumatera Utara. Karena ada sebuah pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, nasional, dan regional di Belawan, yakni Pelabuhan Bandar Deli sebagai sumber devisa.

Jadi, sebenarnya apa alasan pemerintah yang terkesan abai menyikapi masalah ini? Adapun upaya yang dilakukan juga terkesan lambat dan tidak responsif. Wajar saja bila masyarakat Belawan merasa wilayahnya hanya dijadikan sebagai dapur rumah yang tidak diperhitungkan.

Namun, justru sebaliknya. Sikap pemerintah akan berbeda dalam merespons soal pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol Medan – Danau Toba yang rencananya akan rampung di akhir tahun 2021 ini. Pun sama halnya dalam menangani proyek reklamasi pantai pelebaran dermaga yang berdalih kerjasama investasi dengan negara asing.

Apakah kepentingan investasi jauh lebih penting daripada menyelesaikan masalah banjir rob yang sudah menahun di Belawan?

Sikap kontradiktif pemerintah sangat jelas menunjukkan bahwa pemerintah lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal (kapitalis) daripada menyelesaikan masalah masyarakat. Bukan sebuah hoaks bila Belawan dikenal sebagai wilayah yang paling kumuh dan jorok di Kota Medan. Memang benar adanya. Belawan menjadi wilayah tertinggal. Banjir rob ini hanyalah salah satu dari sekian banyaknya masalah yang membelit wilayah Belawan, seperti kemiskinan, pengangguran, angka kriminalitas yang tinggi, dan masalah lainnya. Ditambah lagi soal ketidakadilan dalam pembangunan wilayah. Lengkap sudah penderitaan masyarakat Belawan.

Lantas, mau sampai kapan seperti ini? Adakah yang mampu memberikan alternatif lain selain melakukan pengaduan, protes, atau demonstrasi? Apakah upaya ini memberikan solusi? Atau minimal ada respons pemerintah dalam bentuk tindakan. Tidak ada!

Banjir rob yang tidak kunjung mendapatkan penanganan dan masalah berlapis lainnya yang terjadi di Belawan karena akibat diterapkannya sistem rusak. Sistem kapitalisme yang diadopsi negara akan selalu membuka peluang bagi lahirnya kapital untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Kapitalisme cenderung berorientasi pada keuntungan, bukan pada pemenuhan kebutuhan. Pantaslah pemerintah hanya peduli jika itu berhubungan dengan pembangunan infrastruktur. Wajar saja karena para kapitalis pun sebenarnya telah menjelma menjadi para pengendali kebijakan. Siapa mereka? Pemerintah dan para pemilik modal (investor). Wajar saja bila semua persoalan Belawan tak kunjung menemukan titik terang.

Oleh sebab itu, tiada obat yang bisa menyembuhkan permasalahan di Belawan selain beralih sistem. Karena sistem rusak yang sudah jelas tak pernah berpihak pada hajat masyarakat tak layak dipertahankan. Allah berfirman dalam Al-Qu’ran, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum: 41)

Ayat di atas mengingatkan kita bahwa semua permasalahan yang terjadi disebabkan karena manusia tidak berpedoman pada aturan-aturan Allah dalam mengambil tindakan. Menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai landasan dalam membuat aturan dan kebijakan. Jelas. Hasilnya selalu menyengsarakan masyarakat.

Seperti yang terjadi di Belawan. Banjir rob yang terjadi di Belawan disebabkan oleh ulah tangan manusia tamak yang menyalahi aturan-aturan Allah. Hutan mangrove yang seharusnya berfungsi sebagai buffer disulap menjadi perkebunan sawit, dijadikan tempat usaha budidaya tambak, dibangun depo-depo petikemas.

Bagaimana mungkin kawasan penyangga bisa menyerap kelebihan air laut bila fungsinya telah diubah? Penerapan sistem kapitalisme membuat manusia bisa bebas merusak alam demi kepentingan pribadinya. Pemerintah pun tak ada upaya melakukan proteksi untuk melindungi kawasan penyangga di Belawan. Buktinya, lebih "hepi" mengurusi proyek reklamasi dan pembangunan jalan tol dibandingkan mencari cara agar banjir rob tidak menggenangi pemukiman warga lagi.

Tiada obat lain untuk menyelesaikan masalah Belawan selain mengganti sistem rusak ini dengan sistem terbaik. Sebuah sistem yang akan menjamin bagi siapa saja yang menerapkannya, maka, kebaikan-kebaikan akan datang padanya. Sistem yang seluruh aturan-aturannya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pemimpinnya pun akan meriayah umat, bukan menyengsarakan. Karena dalam sistem Islam seorang pemimpin pastilah melandaskan arah kebijakannya pada keimanan, bukan keuntungan. Ia lebih takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah daripada sekadar mendapat untung dunia.

Dalam sistem Islam, bila ada kebijakan atau proyek yang dijalankan akan membawa kesengsaraan pada masyarakat, maka, tidak boleh ditindaklanjuti. Pemimpin dalam menjalankan tugasnya selalu bertujuan untuk kepentingan rakyat dan selalu mengutamakan solusi pada masalah-masalah yang terjadi. Karena pemimpin dalam sistem Islam akan menjalankan amanah berdasarkan keimanan, bukan kepentingan materi. Dalam sebuah hadist disebutkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (h.r. Al-Bukhari)

Masalah banjir rob yang terjadi di Belawan hanyalah satu dari sekian banyaknya masalah yang terjadi di negeri ini. Belawan adalah satu contoh dari ruang lingkup yang lebih kecil. Masih banyak persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi sejak lama serta keluhan-keluhan yang tak kunjung ada penyelesaian yang konkret.

Maka, untuk mewujudkan sebuah sistem terbaik tersebut dibutuhkan usaha yang memerlukan kerjasama antar masyarakat. Al-Maududi menegaskan bahwa—dalam buku Mohd. Azizuddin Mohd. Sani, 2002 halaman 59—“Negara dan pemerintahan Islam bukanlah boleh lahir secara mukjizat dengan tiba-tiba sempurnanya (meskipun Allah SWT bisa melakukannya), ia mestilah melalui suatu usaha yang besar dan menyeluruh termasuklah proses pentarbiyahan serta pembentukan pikiran rakyat umum”.

Wallahualam bissawab.