Perempuan Tiang Negara

 



Oleh : Alfisyah (Aktivis Muslimah Medan)

 

Dua tahun lalu mungkin kita masih ingat. Saat Presiden Jokowi menyatakan  dalam peringatan hari wanita sedunia tentang kontribusi perempuan. Beliau menyatakan bahwa, beliau  percaya jika perempuan itu memiliki peran sentral sebagai  pilar ekonomi dari sebuah keluarga (cnnindonesia,06/03/2019).

Keyakinan presiden Jokowi itu terkesan membela perempuan. Namun jika kita cermati lebih dalam, akan nampak nyata jika itu adalah pembiaran terhadap perempuan untuk mengurusi urusan ekonomi dan kebutuhannya sendiri.

Mengapa demikian?

Sebab seharusnya di dalam Islam yang berperan sentral bertanggung jawab dalam urusan ekonomi keluarga adalah seorang ayah. Jika kemudian peran itu diarahkan pada perempuan, maka akan banyak dampak bahaya yang ditimbulkannya. Tentu tidak sekedar mengenai anak, namun juga para suami dan masyarakat.

Islam menetapkan justru peran sentral ibu itu hanya pada status ummun, manajer rumah tangganya, menjadi anak, istri dan pengemban dakwah. Adapun memikirkan pekerjaan atau ekonomi keluarga hanyalah berstatus mubah saja.

Peristiwa ini menunjukkan jika pemerintah masih menganggap perempuan sebagai sapi perah. Sapi perah untuk para cukong kapital itu. Sebab tenaga wanita yang murah, mudah ditekan, banyak bermain perasaan nenjadikan posisi lobi-lobinya lemah di hadapan para kapital.

Memang benar ada hadis yang menyatakan  perempuan itu tiang negara. Namun yang dimaksudkan bukan sebagai pencari nafkah atau pemegang kebijakan negara.

Tetapi ibu sebagai pihak yang paling bertanggung jawab mendidik anaknya agar menjadikan anak lelaki dan perempuan sebagai pemimpin kelak. Anak laki-laki menjadi pemimpin peradaban ini dan yang perempuan menjadi pendidik generasi berikutnya. Begitulah itu berlangsung terus menerus hingga peradaban tetap dalam posisi yang diperhitungkan.

Sebagaimana Khilafah yang berdiri tegak 13 abad. Semua itu karena peran ibu yang terus berlangsung sesuai syariah islam.

Karena pada saat ibu mendidik anaknya hanya akan terfokus pada pembentukan karakter anak seperti yang sudah diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Ibu tidak akan tersibukkan dengan dunia kerja, bisnis dan yang lainnya karena sudah tercukupi kebutuhan diri dan anaknya. Para suami dimudahkan untuk mrncari nafkah oleh negara. Negara pun akan membantu jika ayah terganggu dan terhalang upayanya dalam mencari nafkah.

Dengan mekanisme seperti ini dipastikan seorang perempuan atau ibu tadi fokus pada penyiapan anaknya menjadi generasi cerdas gemilang yang dibutuhkan zaman. Tiga belas abad lamanya peran ibu dalam peradaban islam dibuktikan. Tak pernah ada cerita buruk tentang peran ibu dan perempuan itu.

Jika dibandingkan dengan dua peradaban yang lain. Tentu konsep islam memandang wanita ini sebagai tiang negara atau pilar peradaban adalah peran yang luar biasa.

Sejak di dalam kandungan terdidik, hingga lahir dan hingga mampu menanggung beban saat dewasa. Peran ini bukan peran yang remeh, peran tak produktif yang sering dituduhkan peradaban barat kapitalis dan sosialis. Maka jika hari ini perempuan merasa kecil akan perannya sebagai ummun wa robbatul bayt, berarti sesungguhnya dia sudah terpapar racun pemikiran yang berbahaya. Pemikiran yang menyesatkan dan membuat seorang muslimah itu kehilangan jati dirinya.

Jadi, perempuan itu tiang negara bukanlah kalimat yang tanpa makna. Justru peran itulah yang ditakuti oleh musuh islam. Sebab dengan peran yang terlaksana dari para ibu itu, akan terlahir generasi yang luar biasa yang akan meninggikan islam dan kaum muslimin.

Oleh karena itu, jangan sampai kita salah memahami peran sentral ini. Bukan untuk menyaingi laki-laki tetapi agar tugas laki-laki dan perempuan terlaksana keduanya secara benar. Sehingga masyarakat yang islami dan berperadaban tinggi tetap ada hingga hari kiamat. Wallahu'alam.