Kekerasan Pada Perempuan Kapankah Berakhir?

 



Oleh: Alfisyah S.pd (Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Kekerasan pada perempuan terjadi terus-menerus. LSH Surabaya menyebutkan ada 284 kasus kekerasan pada perempuan dan anak perempuan. Pelaku utamanya bahkan suami perempuan itu dan ayah anak perempuan itu. Perempuan hari ini kehilangan sosok suami dan sosok ayah yang penuh kasih sayang. Kesedihan perempuan dan anak perempuan tak berujung jika tidak ada solusi konkrit untuk menuntaskannya. Selama ini UU yang ada tidak cukup untuk menuntaskan atau bahkan hanya mengurangi kasusnya. Hal yang terjadi justru meningkat kasusnya, khususnya saat pandemi belum usai.

Budaya patriarki dituduh sebagai biang keladi atas kasus kekerasan ini. Para feminis dan pejuang kesetaraan gender menuduhkan bahwa budaya itu telah menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua yang sering menjadi korban. Karena alasan itulah, kemudian para feminis mengarusderaskan perjuangan nasib perempuan dalam perjuangan emansipasi dan kesetaraan gender. Budaya patriarki yang dituduhkan dianggap sebagai sumber bencana bagi perempuan dan anak perempuan. Para pejuang itu kemudian mendesak pemerintah untuk mengundang-undangkan peraturan khusus dalam rangka melindungi perempuan dari kasus kekerasan yang terjadi. Namun apakah mampu undang-undang yang dibuat tersebut menyelesaikan kasus ini secara tuntas?

Faktanya negara-negara yang menyarankan perjuangan kesetaraan gender PBB adalah Negara yang justru memiliki indeks kesetaraan gender yang mengalami peningkatan insiden kekerasan pada perempuan. Demark (52%), Finlandia (47%), Swedia (41%). Negara-negara yang menganut sistem kapitalis sekuleris itulah yang justru menunjukkan kegagalan atas upaya tersebut. Penetapan UU kesetaraan gender berdasarkan sistem sekuler itu menjadi biang “langgengnya” kekerasan pada perempuan

Menteri Bintang Puspa Yoga menyatakan bahwa penyebab kasus kekerasan pada perempuan adalah masalah ekonomi. Ungkapan ibu menteri itu tidaklah salah. Sebab faktanya memang sistem kapitalis yang mewujudkan masalah ekonomi itu ada. Masalah ekonomi yang parah dan berlangsung yang lama memicu dan melanggengkan kekerasan pada anak perempuan dan perempuan. Para suami dan ayah yang stress (dalam tekanan ekonomi) menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing melakukan tidakan pada perempuan.penyalahgunaan statusnya sebagai suami / ayah ata bahkan teman yang notaben “laki-laki” dalam sistem kapitalis menjadi tersuasanakan. Jadi sesungguhnya biang keladi yang paling utama dalam kasus ini bukanlah budaya patriarkinya, namun sistem hidup apa yang sedang berlaku saat kekerasan itu terjadi. Masalah ekonomi, masalah ketidakmampuan para suami dan ayah dalam menanggung beban untuk keluarganya itulah yang terjadi. Padahal satu-satunya syarat dalam pernikahan itu adalah ketika para laki-laki sudah bisa menanggung beban untuk keluarganya.

Negara bahkan menekan mereka dengan menarik subsidi atas beberapa kebutuhan pokok yang memicu kenaikan harga barang-barang komoditinya. Pejuang kesetaraan gender juga mengajukan ide pemberdayaan perempuan di era pandemi ini agar perempuan membantu suami bekerja untuk kelangsungan ekonomi keluarga. Bukan meningkatkan ekonominya, solusi itu justru menimbulkan masalah baru sebab kaum perempuan menjadi “ikut-ikutan” stress sebagaimana para suami dan ayah. Kondisi stress perempuan ini juga menyebabkan kewarasan akalnya terguncang sebagaimana laki-laki. Jika sudah begini, laki-laki dan perempuan menjadi sama-sama berada dalam tekanan. Anaklah yang menjadi korban selanjutnya. Sistem UU buatan kapitalis dan ide-ide kesetaraan gender menjadi blunder bagi negara yang menerapkannya.

Demikianlah, sistem ekonomi kapitalis dan sistem demokrasi sekuleris telah menjadikan laki-laki dan perempuan menjadi manusia yang tidak berguna dalam keluarganya. Keluarga itu rapuh, roboh dan berantakan naik secara ekonomi maupun sisi lainnya. Padahal Al-Masih ada sistem terbaik selain itu yang menjadikan kaum laki-laki dan perempuan berada dalam posisi mulia dan bahagia. Sistem terbaik itu adalah sistem ilahiyah. Sistem yang berasal dari pencipta laki-laki dan perempuan itu. sistem ini memiliki berbagai mekanisme konkret dalam menuntaskan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sistem itu menjadikan perempuan itu mitra (sahabat) dan saudara bagi laki-laki. Tugasnya adalah sebagai ibu dan pengatur (manajer) rumah tangga. Mereka wajib dijaga kehormatannya.

Sementara para laki-laki adalah suami mereka yang menanggung beban nafkah mereka dan menjadi pemimpin atas rumah mereka. Posisinya sebagai qawwam itu didukung penguasa dengan memudahkan mereka beroleh nafkah dengan lapangan kerja bagi mereka atau iklim bisnis yang memudahkan mereka mencari nafkah. Pencipta laki-laki dan perempuan ini meletakkan tanggung jawab pada Negara (penguasa) agar memudahkan para suami melakukan tugasnya mencari nafkah. Tidak boleh mempersulit mereka dan membiarkan mereka dalam kesulitan, tekanan dan hilang kewarasannya. Negara melalui penguasanya akan ditanya tentang tanggung jawab ini. Sebab mereka (penguasa) itu adalah pelaksana atas kekuasaan yang mereka miliki.

Syariat pernikahan pun mejadi syariat yang menjaga agar salah satu pihak (suami dan istri) tidak saling melanggar aturan. Semua itu agar keluarga tersebut mapu berdiri kokoh berdasarkan asas keimanan. Syariat itu juga akan membesarkan perlindungan perempuan. Perempuan boleh berkiprah dalam kehidupan umum secara “aman” tanpa ada tekanan dan diskriminasi. Penataan ulang atas UU kepemilikan umum, Negara dan individu harus dilakukan. Semua itu agar semua SDA yang ada dinikmati semua warga negara (laki-laki dan perempuan). Pengelolaan SDA secara mandiri akan mencegah penjajahan ekonomi negara lain atas negeri ini. Para penguasanya pun akan “percaya diri” mengurus negara ini agar tetap berada dalam kemerdekaannya. Penyiapan lapangan pekerjaan itu akan memudahkan laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan hidup yang lebih sejahtera. Maka jika laki-laki dan perempuan sudah hidup dengan yang semestinya, penyebab kekerasan pada perempuan tidak akan muncul. Sebab masalah utama penyebab masalah kekerasan itu sudah dituntaskan. Wallahu'alam.