Kapitalis Menggerus Peran Wanita Sebagai Pencetak Generasi Cemerlang


Oleh: Siti Nuraini (Aktivis Muslimah Medan)

Salah satu permasalahan yang dialami penduduk dunia hari ini adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi momok yang menghantui yang seakan tidak bisa diselesaikan. Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini menjadi penyebab lahirnya kemiskinan yang struktural dan telah menciptakan kesenjangan ekonomi  yang besar antara si kaya dan si miskin. 
Adalah wanita yang turut menjadi korban kesenjangan ekonomi ini. Karena himpitan ekonomi yang dideritanya, banyak wanita yang terpaksa menjelma menjadi tulang punggung keluarga sehingga lupa jati dirinya sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga. Banyak Ibu yang meninggalkan tugas mulianya karena kemiskinan menuntutnya harus keluar rumah demi menghidupi buah hatinya. Padahal di dunia pekerjaan pun wanita banyak menemui babak baru penderitaan hidup, seperti pelecehan seksual, kriminalitas dan permasalahan lainnya.

Kemiskinan perempuan saat ini menjadi isu yang terus digaungkan para aktivis perempuan. Solusi yang diberikan untuk mengatasi masalah tersebut adalah perempuan diberikan hak yang sama dengan pria di sektor publik. Hasilnya banyak wanita yang terjun dalam pemberdayaan ekonomi perempuan. Kondisi ini menyebabkan perempuan keluar dari rumah untuk bekerja demi mengangkat perekonomian keluarga. Namun harapan untuk mensejahterakan ekonomi dan membahagiakan keluarga hanya seperti mimpi disiang bolong. Karena yang terjadi justru wanita dieksploitasi yang akhirnya membuat perannya dalam keluarga tergerus bahkan hilang tak berbekas.

Disisi lain, ketika kaum wanita bekerja secara massif diluar rumah muncul beban ganda dan dilemma yang tidak bisa dielakkan. Bisa kita bayangkan, seorang Ibu bekerja dari pagi hingga sore, kemudian sisa tenaga harus digunakan untuk mengurusi keluarganya. Jika saja hasil bekerjanya seharian mampu menutupi kebutuhan keluarganya, tentu separuh bebannya akan hilang. Namun pada kenyataannya, banyak wanita yang telah menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, namun gaji yang diterima masih tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga akibat nominal yang diterima kecil. Maka stres seakan menjadi teman akrab yang seringkali menimbulkan pertengkaran-pertengkaran yang menjadi pemicu munculnya konflik serius dalam keluarga. Jika sudah seperti itu perceraian seolah-seolah menjadi satu-satunya jalan keluar. Tak bisa dipungkiri, kelihaian dan kemampuan wanita di dunia pekerjaan membuat para wanita mudah menuntut perceraian. Karena merasa mampu menghidupi diri walau tanpa ada suami.

Tentu ini memiliki pengaruh besar pada kualitas generasi. Kecenderungan meningkatnya tingkat kenakalan remaja disinyalir akibat perceraian. Hasilnya ketahanan keluarga roboh dan generasi hancur. Dari sini bisa kita tarik kesimpulan, mempekerjakan wanita dengan dalih meningkatkan ekonomi keluarga bisa diumpamakan dengan menyelesaikan masalah dengan masalah, sehingga memilih bekerja untuk menyelesaikan masalah kemiskinan bukan merupakan solusi yang tepat bahkan menimbulkan permasalah baru yang memiliki pengaruh besar pada keluarga dan generasi. 

Sejatinya keluarga adalah pilar utama penyangga kekuatan sebuah peradaban. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi manusia untuk memahami makna hidup. Menjadi tempat pembinaan generasi calon pemimpin ummat. Kesuksesan keluarga membina generasi pemimpin tentu akan membawa pengaruh pada pembentukan peradaban dunia. Jika keluarga hancur dan berantakan, jika Ibu sang pengatur rumah tangga tak lagi menjalankan perannya, tentu bisa dibayangkan generasi seperti apa yang lahir dalam kondisi seperti ini. Dan jika kondisi generasinya adalah generasi yang bobrok, tentu tidak akan mungkin peradaban agung bisa dihasilkan.

Wahai para wanita, ingatlah selalu peran pentingmu sebagai Ibu. Ibu adalah sekolah utama bagi putra-putrinya. Jika ada seorang ulama, ilmuwan, pahlawan, dan orang sukses lainnya maka lihatlah ibunya. Pasti Ibu memiliki peran yang besar dalam mencapai keberhasilan tersebut. Hal itu karena Ibu berperan besar dalam membentuk watak, karakter, dan kepribadian anak-anaknya. Layaknya sekolah, Ibu adalah gudang ilmu, pusat peradaban dan wadah yang menghimpun sifat-sifat akhlak mulia. Hanya dari sekolah semacam inilah lahir anak-anak yang sholih, cerdas, alim, berakhlak mulia dan seluruh sifat agung mukmin yang bertaqwa. 

Memang sulit untuk menjadi sosok Ibu sebagaimana yang Islam gariskan. Namun kesulitan itu bukan karena hal tersebut tidak mungkin terealisasi. Namun karena sistem kapitalis demokrasi yang saat ini bercokol di Indonesia yang kita cintai ini. Sistem yang membuat perempuan dilemma, antara ingin membantu perekonomian keluarga atau ingin menjadi Ibu dan pengatur rumah tangga.

Tentu kondisi ini tidak akan kita temui jika yang diterapkan adalah sistem Islam. Sistem yang menerapkan aturan Allah SWT. Sang pengatur kehidupan manusia. Sistem yang pasti cocok dan mensejahterakan manusia karena aturannya dibuat oleh yang membuat manusia.  Kehidupan yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang menjaga syariat Islam dan menyatukan seluruh umat Islam. Itulah sistem Khilafah yang telah dikabarkan Rasulullah SAW. akan menaungi ummat manusia di akhir zaman mengikuti metode kenabian. Kita berharap dan berdoa semoga tegaknya tidak lama lagi, InsyaAllah.