KRISIS MENTAL ANAK DAN REMAJA DALAM SISTEM KAPITALIS NAN SEKULER

       
               
Oleh : Ugi Fitri Hardiyanti,S.Pd (Aktivis The Great Muslimah Community)

     Gejala bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia perlu menjadi sorotan, dikutip dari KOMPAS.com - Depresi akan menjadi masalah kesehatan jiwa yang besar di Indonesia. Terlebih pada 2020, Indonesia akan mendapatkan "bonus" demografis. Artinya, diprediksi akan ada lebih banyak orang yang mengalami depresi, bahkan memiliki pemikiran bunuh diri. Badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) bahkan memprediksi, depresi akan menjadi penyakit dengan angka kasus tertinggi kedua, setelah penyakit jantung. Menurut Kepala Koordinator Kuminitas Into the Light, Benny Prawira Siauw mengungkapkan, hingga tahun 2012, diketahui ada 9.106 orang di Indonesia yang meninggal dunia akibat bunuh diri. Sebelumnya, pada periode 1990-2016, jumlahnya sebanyak 8.580 jiwa. Jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia, diprediksi merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
       Di berbagai daerah Indonesia sejak awal tahun saja sudah banyak kasus bunuh diri anak. Seorang siswa SMP ditemukan tewas di Kecamatan STM Hulu, Sumatera Utara. Polisi menduga siswa bunuh diri. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan rasa duka terdalam atas meninggalnya siswi SMP berinisial DR di Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat. DR mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun tanaman lantaran putus cinta. Penyebab bunuh diri terbanyak adalah urusan putus cinta remaja, frustasi akibat ekonomi, anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, dan masalah sekolah. Kasus anak bunuh diri termuda adalah berusia 13 tahun. 
     Meski tidak terdapat data nasional yang spesifik soal bunuh diri, angka ini bukan tidak mungkin akan terus bertambah. Tinggi angka bunuh diri anak dan remaja ini tentu sangat memprihatinkan. Apa yang sebenarnya terjadi terhadap dunia anak dan remaja di Indonesia? Mengapa dari tahun ke tahun peristiwa bunuh diri di kalangan anak dan remaja di Indonesia terus meningkat? Apa motif mereka melakukan bunuh diri? Fenomena bunuh diri di Indonesia tidak saja karena faktor tekanan ekonomi. Latar belakang pelakunya juga tidak mesti berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. 
     Fenomena bunuh diri anak-remaja juga mulai marak di perkotaan dan  menimpa pula dari kalangan keluarga kaya yang berpendidikan tinggi.  Bahwa kondisi perekonomian seseorang dan tingkat pendidikannya tidak menjamin seseorang bebas dari stress dan mampu mengatasi persoalan hidupnya secara rasional. 

     Ada kondisi dimana seorang anak dipaksa berfikir dengan realitas yang kompleks diluar kemampuan nalar dan kontrol emosinya dalam mengatasi permasalahan – dan memilih jalan pintas untuk memecahkan masalahnya. 
     Nuansa ini menjadi semakin kental dalam konteks perkembangan sosial-politik yang terjadi. Dunia anak dan remaja lepas dari perhatian pemerintah yang asyik bergelut dalam pertarungan politik kekuasaan. Penempatan aqidah sekuler yaitu pemisahan agama dari kehidupan menjadi bertambahnya kerusakan mental para geberasi penerus, ditambah ekspansi budaya penuh propaganda yang masuk tanpa filter ke dalam negeri, menjadikan arah hidup baru bagi anak dan remaja. Sementara, keluarga yang semestinya menjadi sendi imajinasi bangunan perkembangan anak, menghadapi banyak tantangan. Seorang bapak dan ibu tidak sempat mendampingi sang anak karena sibuk dengan problem kehidupan yang terus semakin menyulitkan. 

     Islam hadir di tengah-tengah manusia lengkap dengan aturan hidup, menjadikan aturannya sebagai solusi pemecah problematika kehidupan, dan sudah terbukti dengan penerapannya selama 13 abad dan menjadi mercusuar bagi dunia. Kejayaannya melahirkan kemaslahatan bagi umat karena merupakan hukum paripurna lagi sempurna mencakup segala aspek kehidupan, dan tak ada yang luput dari jangkauannya. Maka penerapannya akan menjadi solusi bagi kekacauan sistem saat ini yang hanya mengutamakan keuntungan, kepentingan dan menenpatkan agama pada sudut ibadah saja. Wallahua'lam.