Hukum Dalam Sistem Sekuler Menghina Agama


Oleh: Cici Aprisa, S.Pd
(Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Bagai tersambar petir begitulah rasanya hati kaum muslimin, karena beberapa minggu lalu kita dihebohkan oleh sekelompok oknum banser yang dengan sengaja membakar bendera tauhid yang diduga bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). 

Melihat kejadian itu berbagai umat Islam diberbagai daerah kembali turun ke jalan di seputar monas, mereka menuntut keadilan atas pembakaran bendera tauhid. Bagaimana mungkin kaum muslimin tidak terusik ketika kalimat tauhid dilecehkan.

Maka umat Islam menuntut agar pelaku diberikan hukuman karena telah menistakan simbol suci umat Islam.

Karena umat menuntut agar pelaku diberikan hukuman, maka pelaku tersebut dilakukan sidang untuk memberikan hukuman. Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Garut, Jalan Merdeka, Tarogong Kidul, Senin (05/11/2018). 

Majelis hakim Hasanuddin membacakan putusan sekitar pukul 12.50 wib. Namun faktanya F dan M pembakar bendera berkalimat tauhid yang disebut polisi kalimat HTI setelah disidang keduanya dikenai tindak pidana ringan (tipiring). 


Majelis hakim menjatuhkan hukuman 10 hari penjara dan dan denda Rp. 2 ribu. Keduanya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan dijatuhi kurungan. 
Majelis hukum berdasarkan keterangan para saksi dan terdakwah, serta melihat barang bukti menilai bahwa F dan M telah terbukti melanggar pasal KUHP dengan membuat gaduh.


Pasal 17 KUHP merupakan tindak pidana ringan. Pasal ini menitikberatkan pada dengan sengaja mengganggu rapat umum, dengan mengadakan huru hara, atau membuat gaduh. 

Jika dilihat dari waktu dan tempat kejadiannya, kejadian itu dilakukan setelah hari santri, sehingga pembakaran tersebut tidak mengganggu rapat umum atau peringatan hari santri dan tiga rapat umum atau peringatan hari santri dan juga tidak terjadi huru hara pada saat itu. 

Maka berdasarkan vonis hukum yang telah dilakukan maka penegak hukum hanya memfokuskan pada dampak perbuatan, bukan pada objek perbuatan, sedangkan objek perbuatannya adalah bendera tauhid.

Penetapan tersangka dan vonis menggunakan pasal 174 KUHP, penegak hukum telah melakukan peredaman terhadap kemarahan umat, bukan untuk menegakkan keadilan kepada pelaku penista agama.

Vonis yang telah diberikan oleh penegak keadilan terhadap penista agama, ini sama saja menghina agama, masyarakat, serta hak-hak serta rasa keadilan masyarakat. Aparat penegak hukum tersebut telah menodai hakikat nilai dan dimensi ruhaniah hukum dan keadilan yang mereka buat sendiri.


Mengapa hal itu terjadi?
Hukum dalam sistem kapitalis sekuler , hukum yang dibuat oleh manusia, maka sudah jelas hukum akan dibuat sesuai dengan kepentingan sipembuat hukum, begitupun dengan hari ini akan nampak oleh kita sering kali hukum hanya sesuai dengan kepentingan penguasa, suka-suka penguasa, maka benarlah hukum itu akan selalu runcing kebawah namun tumpul ke atas. 

Sering kita lihat, ketika yang melakukan tindakan yang melanggar hukum adalah orang-orang yang berkuasa, maka hukum akan tampak lemah baginya, cobalah lihat betapa banyak di negeri ini penguasa yang melanggar hukum namun hukuman seolah tak berlaku baginya, sehingga mereka akan seenaknya saja berulang tanpa merasa bersalah dalam melanggar hukum yang telah dibuatnya sendiri.

Dan begitu juga betapa banyak ketika rakyat lemah yang melanggar hukum, meskipun kadang mereka tidak berniat untuk melanggar hukum, maka hukum akan terasa tajam kepadanya, dan seolah kesalahannya begitu besar. Masih teringat ketika berita seorang nenek yang hanya mencuri sepotong ubi demi memenuhi kebutuhannya diadili dengan.begitu keras, namun ketika penguasa yang mencuri uang rakyat sehingga begitu banyak rakyat menderita, seolah tak berlaku hukuman baginya.

Termasuk dalam kasus hari ini terhadap pelecehan bendera tauhid, para banser hanya diadili dengan kurungan 10 hari penjara yang ibaratnya hanya menginap 10 hari dipenjara, makan gratis dan tidur enak saja dalam penjara tanpa memikirkan biaya untuk hidup dalam waktu sepuluh hari karena sudah ditanggung oleh penjara, dan juga membayar uang Rp. 2 Ribu, seolah sama dengan sewa parkir. dan semua orang pasti gak akan menolak ketika mereka dikatakan bersalah dengan hukum yang semudah itu. 

Begitulah dalam sistem kapitalisme, hukum tak akan pernah berlaku adil bagi manusia, dan keadilan itu tak akan pernah di dapatkan, maka tiada solusi yang bisa menyelesaikan ketimpangan hukum hari ini, kecuali harus kita campakkan hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri, karena manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas yang lemah dan terbatas maka tak mungkin mereka akan mampu membuat hukum yang adil untuk manusia lain. Maka sudah sepatutnya kita beralih kepada hukum yang sudah diberikan oleh sang pencipta, Allah SWT.[MO]