Ekonomi Indonesia: Sekarat menuju Gagal Total

Oleh : Linda Wulandari, S.Pt (Pemerhati Kebijakan Publik)
Harga BBM naik terus, harga listrik ikut naik terus, keduanya naik terus, harga harga barang otomatis naik terus dan pabrik-pabrik banyak yang gulung tikar. Daya beli masyarakat semakin menurun, banyak pengusaha kesulitan likuiditas dan barang dagangan banyak yang tak laku, dalam waktu bersamaan utang negara pun terus meroket.
Tak lain dan tak bukan, ini akibat Indonesia mengadopsi si sistem cacat bawaan Kapitalisme. Cacat bawaan berupa self destructive yang secara alamiah dikandung Kapitalisme ini akan membawa serta Negara bahkan dunia yang mengadopsinya, menuju jurang kehancuran secara bersamaan.
Ini juga yang tampak jelas di Indonesia. Sistem ekonominya sekarat bahkan menuju pasti pada sakratul maut, gagal total. Bagaimana tidak, dengan rupiah berada di rekor terendah nilai tukarnya selama 20 tahun yaitu Rp 14.844 per USD (31/08/2018) ini menunjukkan potensi guncangan dahsyat stabilitas ekonomi nasional. Kondisi Venezuela, negara kaya minyak, patut dipelajari untuk meningkatkan kewaspadaan Indonesia atas ancaman krisis, sehingga Indonesia tidak mengalami krisis dan kebangkrutan yang sama.
Di Indonesia sendiri menurut Arim Nasim, pengamat ekonomi Islam, setidaknya ada lima poin yang menjadi pemicu terjadinya krisis ekonomi secara sistemik. Pertama, perbankan dengan sistem ribawi; kedua, semakin massifnya sosialisasi pasarmodal yang memunculkan sektor non riil dalam perekonomian; ketiga, pemerintah semakin tergantung kepada utang luar negeri dalam membiayai pembangunannya; keempat, uang yang beredar tidak menggunakan emas dan perak (atau lebih dikenal dengan sistem fiat money); kelima, semakin gencarnya pemerinthan Jomowi melakukan privatisasi atau menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta.
Dampak Kapitalisme
Cacat bawaan Kapitalisme ini sebenarnya sudah semakin nyata. Krisis yang terus berulang dan menjadi siklus dalam perekonomian telah menjadi blunder yang berulang dan terus berulang. Yang pertama, perbankan sistem ribawi dan massifnya pasar modal menghasilkan fenomena ekonomi balon, tumbuh tapi hanya menghasilkan gelembung ekonomi yang setiap saat bisa meletus menjadi krisis. Sistem ribawi ini menyebabkan uang yang beredar di sektor riil (produksi) jauh lebih kecil dibandingkan dengan di sektor non riil. Ini karena perbankan harus bisa memutar uang yang ada demi memberikan bunga kepada nasababnya. Tentu uang itu tidak diputar di sektor riil seperti pemberian kredit, tapi di sektor lain seperti pasar uang dan surat utang. Makanya begitu gejolak terjadi, dampaknya akan sangat dahsyat karena tidak bertumpu pada ekonomi riil. Sistem ribawi ini juga menyebabkan harta hanya beredar pada orang kaya saja. Orang miskin tidak dapat menikmati dana yang banyak yang ada di perbankan karena tidak punya agunan. Sementara orang kaya akan mudah mendapatkan kucuran dana. Dana yang mereka peroleh dijadikan mesin uang lagi diinvestasikan di sektor non riil misalnya dengan mencari bunga lagi yang lebih besar. Jika terjadi sesuatu, hang itu bisa habis tanpa sisa karena memang tidak ada riilnya. Ketika bursa saham gonjang ganjing, maka para pemilik saham pun rugi dan jatuh 'miskin'. Padahal mereka adalah pemilik perusahaan. Akibatnya banyak perusahaan yang mengalami kredit macet. Gagal bayar, perusahaan mengakibatkan likuiditas bank menurun. Kinerja bank yang tadinya sudah jeblok menjadi semakin hancur. Sedangkan nilai perusahaan/kekayaan menurun sehingga perusahaan dijual murah atau mem-PHK karyawannya. Persoalan berikutnya pun muncul yaitu tingginya angka pengangguran. Para bapak tak lagi bisa bekerja baik dan hanya bisa menyesali diri karena rasa bersalah menelantarkan keluarganya.
Persoalan yang tak kalah pelik adalah ketergantungan pemerintah pada utang luar negeri. Di saat kondisi ekonomi Indonesia yang sulit dan sekarat, pemerintah tak juga mampu menghilangkan nafsu mendapatkan pemasukan dengan instan. Jalan utang luar negeri masih dijadikan pilihan utama dan pertama bagi pemerintahan Jokowi. Bank Indonesia mencatat jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April sebesar 356,9 miliar dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14 000 per dolar AS). Bahkan kalau kita mengutip pernyataan Ketum Partai Getindra Prabowo, menyatakan utang-utang Indonesia mencapai hampir Rp 9000 triliun terdiri daributang pemerintah Rp 4060 triliun, utang BUMN Rp 600 triliun dan utang lembaga keuangan publik Rp 3.850 triliun. Dengan melemahnya rupiah terhadap dolar, bisa kita bayangkan membengkaknya utang Indonesia ini. Lebih parahnya lagi, utang berbunga ini tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyat secara langsung, tapi digunakan untuk kebutuhan belanja pegawai. Bukan juga untuk membangun infrastruktur sperti digembar gemborkan pemerintah. Tapi digunakan untuk bayar utang, bayar bunga utang, jadi pemerintah berhutang untuk membayar utang. Kalau istilah di tengah masyarakat, gali lubang tutup lubang. Ini yang diilustrasikan oleh Ichsanudin Noorsy, pengamat kebijakan publik, beliau mengatakan krisis kali ini akan lebih parah karena dihantam dari dua jalur yaitu jalur perdagangan dan jalur keuangan. Masih menurut beliau, APBN yang ada sekarang dalam keadaan defisit itu menggambarkan ketidakmampuan atau bahkan gagal melakukan stabilisasi dan fungsi distribusi. Defisit APBN menggambarkan APBN tidak mampu membayar utang, kalaupun tetap membayar utang tujuannya untuk membayar bunga, apa lagi untuk menumbuhkan jual beli, APBN Indonesia telah gagal total mewujudkan ketahanan ekonomi. Dampak kapitalisme berikutnya yang menyebabkan ekonomi negara ini babak belur datang dari arah program pemerintahan Jokowi yaitu privatisasi. Di saat negara ini mambutuhkan pemasukan dana segar, pemerintah justru memberikan pengelolaan sumber daya alamnya kepada asing sehingga memberikan tambahan penderitaan bagi masyarakat dan negara jelas kehilangan dana pemasukan. Padahal andai semua sumber daya alam yang ada di Indonesia dikelola secara benar niscaya kemakmuran akan melingkupi seluruh rakyak Indonesia. Dana yang didapat bisa digunakan untuk membangun infrastruktur, membiayai kesehatan dan pendidikan secara cuma-cuma serta berbagai keperluan lainnya.
Islam Keniscayaan Untuk Memakmurkan Rakyat
Kebangkrutan negara ini disebabkan penerapan kapitalisme yang self destructive, mengapa Indonesia masih mengadopsinya? Ini dikarenakan pemerintah dan sebahagian rakyatnya masuh sangat percaya pada sistem demokrasi sebagai sistem politiknya. Padahal keduanya merupakan satu paket sistem yang lahir dari aqidah yang sama yaitu aqidah sekulerisme. Karena itu, harus ada perubahan yang mendasar baik dari sistem ekonominya dan juga sistem politiknya. Jangan lagi pemerintah dan rakyat mempercayai dan mengambil salah satu dari sistem tersebut.
Dalam Islam, jelas praktik ribawi tegas dan pasti dilarang, untuk dilakukan baik oleh rakyat maupun penguasa. Bahkan ancamannya luar biasa sampai diperintahkan untuk diperangi bagi mereka yang tidak mau menghentikan riba. Jadi, jelas ketika ribawi dan praktik pasar modal dilarang, akan menggerakkan sektor riil, pengangguran akan teratasi sehingga ekonomi akan tumbuh dan sehat. Utang luar negeri juga diharamkan oleh Islam karena membuka celah penjajahan gaya baru sehingga pemerintahan Islam harus mendanai sendiri pembangunan negara khilafah. Dan ini sangat mungkin terjadi, karena dalam pandangan Islam, sumber daya alam uang termasuk milik umum seperti air, api (sumber api/energi), padang rumput, hutan, dan barang tambang harus dikelola oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pangan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum termasuk infrastruktur. Karena itu, Islam akan mampu menangkal krisis ekonomi baik dari finansial karena APBN Khilafah akan senantiasa sehat dan dari sisi moneter karena Islam meniadakan praktik ribawi dan pasar bursa saham bahkan menangkal intervensi dan penjajahan asing yang mencoba masuk lewat ekonomi negara.
Wallahu 'alam bi ash shawab.