Yang Terciderai dan Yang Menciderai


Oleh : Abu Syafiq

Sontak masyarakat Sumatera Utara terhenyak dengan situasi politik jelang pemilihan gubernur di daerah ini. 
Tengku Erry Nuradi yang juga gubernur aktif, yang sejak awal-awal memang sudah mempersiapkan diri secara matang untuk “bertarung”, mendadak batal ikut menjadi peserta setelah partai tempat ia bernaung beralih pilihan.
Padahal, baleho besar dan spanduk dukungan untuknya sudah menyemak dimana-mana. Banyak pula ormas dadakan maupun yang sudah eksis sebelumnya, nyata-nyata memberikan dukungan mutlak kepadanya. 


 
Slogan PATEN pun yang identik dengan singkatan dari Pak Tengku Erry Nuradi juga sudah sebegitu populer bahkan menjadi slogan resmi pemerintahan provinsi, hanya saja maknanya berubah menjadi arti kata "paten" sesungguhnya yakni mantap, berkualitas, berprestasi. Slogan ini menjadi sesuatu untuk menyemangati jajaran pemerintahan dalam meningkatkan kinerja dan pelayanannya. 
Tapi itu semua, sekarang seakan sia-sia. Upaya pengkondisian yang berlangsung sejak jauh-jauh hari itu mendadak buyar. 
Memang, T. Erry Nuradi, bakal calon yang dalam sejumlah survey diklaim paling berpotensi memenangkan pertarungan itu, sesungguhnya belum bisa sepenuhnya dikatakan kehilangan peluang untuk “naik ring”. Ia sejatinya masih memiliki peluang, setidaknya sampai batas akhir waktu pendaftaran yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 10 Januari mendatang atau sebelum partai-partai itu rampung mendaftarkan calonnya masing-masing..
Jika melihat dinamika politik yang dimainkan para elit partai saat ini, maka bisa saja pada masa-masa akhir nanti akan terjadi perubahan signifikan atau kejutan dalam komposisi calon yang mereka usung. 
Misalnya, koalisi PKS, Gerindra dan PAN bisa saja melepas pasangan Edi Rahmayadi dan Ijeck karena merasa kurang nyaman dengan “mengekornya” Partai Golkar dan Nasdem. Lalu mereka melirik dan mengusung T. Erry Nuradi yang dianggap sudah punya cukup modal untuk fight dan memasangkannya dengan tokoh yang dianggap lebih merepresentasikan keinginan umat Islam khususnya yang ada di dalam GNPF Ulama. 
Bukankah selama ini kelompok ini memang belum berpuas dengan kandidat yang diusung koalisi tiga partai tersebut? .
Atau mungkin saja Partai Demokrat mengubah komposisinya dengan menggandeng T. Erry Nuradi-JR Saragih atau sebaliknya karena belum berhasil menggandeng PKB untuk mendapatkan kursi tambahan sebagai persyaratan pencalonan. Mengusung Erry dimaksudkan menjadi magnet untuk mengajak partai-partai yang masih di luar, khususunya PKPI dan PKB yang sudah sempat mendukung itu untuk masuk kembali.



Bisa juga ada kejutan lain bahwa Partai Hanura, PPP, PKB dan PKPI justru membuat koalisi baru untuk mengusung T. Erry Nuradi. Mereka bisa saja percaya diri karena status Erry sebagai petahana dan telah memiliki tim pemenangan yang luas hingga seluruh kabupaten/kota sebagai modal yang sudah sangat cukup untuk memenangkan pertarungan itu.



Namun, terlepas dari persoalan kemungkinan-kemungkinan itu, yang pasti dalam konstelasi politik di Sumut ini ada yang diciderai dan yang menciderai.
Bayangkan saja, Erry Nuradi yang sudah sejak awal digadang-gadang, tetiba bisa begitu saja ditendang. Tentu ini terasa menyakitkan, apalagi ia juga "dipaksa legowo" untuk menyerahkan surat dukungan partainya ke bakal calon yang sesungguhnya menjadi rival tandingnya.



Dalam sistem demokrasi saat ini, hal itu dianggap perkara lumrah. Bagi mereka, dalam dunia politik tidak ada yang pasti, kecuali ketidakpastian itu sendiri. Jadi, senang atau tidak senang, kecewa atau tidak kecewa maka Erry harus menerima itu sebagai sebuah kelumrahan politik.
Atau ketika sejumlah ulama yang tergabung dalam GPNF MUI yang sekarang berubah menjadi nama GNPF Ulama juga harus rela menelan ludah ketika keinginan mereka agar koalisi partai tertentu mengusung kandidat yang mereka rekomendasikan tetapi ternyata tak digubris. 


 
Inilah demokrasi, yang menciderai dan juga terciderai. Atas nama demokrasi, T. Erry Nuradi berikut pendukungnya tersakiti, begitupula umat Islam yang menginginkan calon representasinya juga tidak terakomodir.



Ironisnya, demokrasi yang katanya menyerap aspirasi rakyat itu justru juga terciderai oleh kepentingan elit partai. Keputusan partai yang katanya mendewakan demokrasi itu justru hanya berada pada satu atau beberapa tangan elit politiknya.
Seberapa pun kuatnya arus keinginan rakyat di Sumut, tak bisa mengubah keputusan seorang Ketua Umum. Lihat saja di sejumlah media, para pengurus partai tingkat wilayah selalu mengatakan bahwa ketetapan tentang calon yang akan diusungnya menunggu keputusan Ketua Umum. Ini seakan menegaskan bahwa partai itu milik segelintir orang.



Mereka yang mengatakan demokrasi sebagai pijakan politiknya, justru menciderai demokrasi itu sendiri. Sayangnya, mereka tidak akan terima jika langkah itu dinilai bertentangan dengan demokrasi yang dianutnya. Fakta ini sesungguhnya semakin memberikan penegasan bahwa demokrasi itu sistem yang molor seperti karet, yang bisa ditafsirkan kemana saja oleh penganut dan para pemilik kepentingan.
Tentu, ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam. Pertama, pemilihan seorang gubernur atau wali di dalam sistem Islam ditunjuk langsung oleh seorang Khalifah. Disini, pasti tidak akan terjadi pemubaziran uang rakyat untuk penyelenggaraan pemilihannya.



Kedua, gubernur yang dipilih memiliki persyaratan yang ketat dalam hal moralitasnya. Ini tentu berbeda dengan sistem hari ini yang menafikkan itu, cenderung lebih fokus pada popularitas dan fungsi kemampuan finansial calon.
Ketiga, tentu Islam sangat melarang perbuatan khianat. Artinya, jika sudah bersepakat maka harus menjaga kesepakatan itu tetap terpelihara agar tidak ada yang merasa terzalimi, kecuali kesepakatan yang nyata-nyata dalam kemaksiatan. 


 
Itulah Islam, memandang bahwa seluruh persoalan kehidupan termasuk urusan politik tidak bisa dipisahkan dengan persoalan agama. Semuanya harus tunduk pada aturan Allah SWT.
Wallahu'akam.