Medan Sangat tidak Islami, Cacat Asas dan Metodologinya

Lembaga Maarif Institute telah menyelesaikan tahapan penelitian dan penyusunan Indeks Kota Islami (IKI) di Indonesia. Penelitian yang dilakukan pada 29 kota di Indonesia mulai tanggal 8 Januari – 31 Maret 2016, ini menghasilkan IKI yang berbeda di tiap kota.

[caption id="attachment_2852" align="alignleft" width="300"]IKI IKI[/caption]

Berdasarkan hasil yang direalese ke media, kota Denpasar (Bali) berada di urutan terbaik ketiga dengan nilai 80,64. Nilai ini sama dengan nilai yang diraih kota Yogyakarta dan Bandung yang berada di urutan pertama dan kedua. Sementara itu, kota Padang dan Makasar yang terkenal dengan daerah yang berpenduduk mayoritas muslim justru berada di posisi terakhir, masing-masing urutan ke-28 dan 29. Bahkan yang paling kacau, Medan tidak masuk diantara 29 kota dalam indek tersebut.

Dalam komentarnya di facebook seorang aktivis Muhammadiyah di Sumut Rafdinal Inal  mempertanyakan hal itu. " kalau Aman sejahtera dan bahagia jadi indikator utama indikator utama, bagaimana penjelasan alquran bahwa islami itu, tegaknya syiar agama Allah ditempat tersebut, tidak ada prilakun maksiat yang merajalela, saling menyayangi dan tolong menolong...apa indikator ini tidak dimasukkan..? tanyanya (20/5) sembari menyindir dalam komentar selanjutnya kalau sebuah riset tentu ada kepentingan dan funding dananya.


sementara itu, ditetapkannya Denpasar sebagai peraih predikat kota paling Islami oleh kelompok liberal menurut aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Irvan Abu Naveed jelas cacat dari asasnya.

“Jelas cacat dari asasnya, yakni cacat metodologinya karena mendasarkan pada tolak ukur umum, materi semata, tidak berdasarkan asas Islam itu sendiri, kan aneh jika penilaian menggunakan kata “Islami” tapi tolak ukurnya sendiri tidak berdasarkan sudut pandangan akidah dan syari’at Islam!” seperti yang ditulis mediaumat.com, Senin (23/5).

Daging babi yang jelas-jelas diharamkan dalam ajaran Islam, di Denpasar menjadi pangan yang disyi’arkan bebas, wisata syariah ditolak dan lain sebagainya.

“Bahkan tak perlu jauh-jauh mengukurnya, lihat saja bandaranya, antum yang punya ghirah Islam kuat sepertinya akan sesak menyaksikan banyaknya syi’ar-syi’ar kemusyrikan: patung sesembahan kaum musyrikin, jimat janur kuning dan kain catur yang dipajang di tiang-tiang, dan lain sebagainya berada di tempat publik yang semestinya bersih dari itu semua!” tegasnya.

Irvan juga mengutip Al-Qur’an untuk menjelaskan siapa yang berhak mendapatkan keamanan dalam kota yang islami. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk,” tegasnya mengutip terjemah Surat Al-An’am Ayat 82.

Kota Islami juga ditunjukkan oleh Khilafah Rasyidah. Di era Khalifah ’Umar bin al-Khaththab ra., sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh al-Suyuthi, memberikan syarat kepada mereka –kafir ahludz dzimmah- untuk tidak menampakkan syi’ar perayaan-perayaan agama mereka di negeri-negeri kaum Muslimin.

“Inilah ironi di negeri mayoritas negeri kaum Muslimin! Kita butuh Khilafah untuk membersihkan negeri ini dari syi’ar-syi’ar jahiliyyah di ruang-ruang publik!” tegas Irvan.

Dan jika diperhatikan seksama, maka perkaranya semakin terang benerang bahwa di balik isu ini.

“Jelas adanya upaya stigmatisasi negatif terhadap syariat Islam itu sendiri, menggiring opini kepada keyakinan tidak perlunya penerapan syariat Islam, cukup simbol nilai semata,” pungkasnya. (MU/int)