Menambah Petugas Kebersihan, Solusi Tepatkah?
Oleh Winda Raya, S.Pd., Gr. (Aktivis Muslimah)
Di jantung kota yang semakin ramai, di tengah gemerlap lampu dan hiruk-pikuk kehidupan, tersimpan kenyataan pahit, tumpukan sampah yang tidak terurus. Bau menyengat kian terasa, mengiringi embusan angin, mencemari setiap napas yang dihirup. Sampah-sampah itu, yang seharusnya hilang dari pandangan, justru menjelma menjadi bayang-bayang menakutkan. Mereka tumbuh subur, membayangi rumah dan jalanan, menjadi ancaman nyata yang tidak bisa lagi diabaikan.
Sampai kapan kita terus berpaling? Ataukah saatnya kita bangun dan menghadapi persoalan sampah yang kian memanjang?
Dikutip dari AyoMedan.com pada 29 Juni 2025, anggota DPRD Kota Medan, Ibu Dame Duma Sari Hutagalung, menyampaikan bahwa telah terjadi perubahan nomenklatur penanganan sampah di Kota Medan seiring penggabungan Dinas Kebersihan dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan.
Hal ini disampaikan dalam Sosialisasi Peraturan Daerah (Sosperda) Kota Medan No. 7 Tahun 2024 tentang perubahan atas Perda Kota Medan No. 6 Tahun 2015 mengenai pengelolaan sampah. Sosialisasi ini dilaksanakan dalam dua sesi: sesi pertama di Jalan Karya IV, Kelurahan Cinta Damai pukul 11.00 WIB, dan sesi kedua di Jalan Beringin II No. 77, Kelurahan Helvetia, Kecamatan Medan Helvetia, pukul 15.00 WIB pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Hadir dalam kegiatan tersebut perwakilan dari Dinas SDABMBK, Dinas Perhubungan Medan, Dinas Sosial, Camat Medan Helvetia, serta Lurah Cinta Damai. Dalam penjelasannya, Ibu Duma menyebutkan bahwa pengangkutan sampah rumah tangga di Kelurahan Cinta Damai berjalan lambat karena hanya tersedia tiga orang petugas pengangkut sampah, tiga petugas Bestari, serta keterbatasan armada becak sampah yang sering mengalami kerusakan. Oleh karena itu, ia mendorong Pemko Medan untuk menambah jumlah petugas dan armada, khususnya di wilayah tersebut.
Namun, apakah penambahan petugas kebersihan dan armada sampah merupakan solusi utama atas permasalahan lingkungan yang kompleks ini?
Penambahan tenaga dan alat angkut hanyalah penyelesaian di hilir, bukan solusi mendasar. Masalah di hulu seperti gaya hidup konsumtif, ketergantungan pada produk berbahan plastik, serta rendahnya kesadaran masyarakat akan tanggung jawab lingkungan, kerap diabaikan.
Gaya hidup konsumtif menjadi penyumbang utama peningkatan jumlah sampah. Akses mudah terhadap pembelian barang, sistem pembayaran digital, dan layanan pengiriman instan mendorong masyarakat untuk membeli lebih banyak barang dalam waktu singkat. Barang-barang tersebut, terutama yang dikemas dalam plastik dan styrofoam sekali pakai, menyumbang jumlah sampah yang terus meningkat dan sulit terurai.
Dalam sistem Islam, solusi atas permasalahan sampah dijalankan oleh pemimpin negara berdasarkan ajaran Islam yang sangat menekankan pentingnya kebersihan (thaharah) sebagai bagian dari iman. Hal ini melahirkan budaya dan sistem yang mendukung pengelolaan lingkungan secara bertanggung jawab.
Negara dalam sistem Islam tidak sekadar menambah jumlah petugas atau armada, tetapi juga menghadirkan inovasi dalam pengelolaan sampah serta melakukan edukasi menyeluruh kepada masyarakat untuk mengubah gaya hidup yang berkontribusi pada produksi sampah.
Peradaban Islam sejak masa kekhalifahan telah menerapkan sistem sanitasi dan pengelolaan sampah yang terorganisasi. Kota-kota seperti Baghdad, Kordoba, dan Kairo memiliki sistem saluran air bersih dan pembuangan limbah bawah tanah yang jauh lebih maju dibandingkan kota-kota di Eropa kala itu yang masih membuang limbah ke jalanan.
Pada masa Bani Umayyah, Kordoba dikenal sebagai kota yang bersih berkat sistem penanganan sampah yang dirancang oleh para ilmuwan seperti Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar, dan al-Masihi. Pemerintah daerah menugaskan individu atau kelompok tertentu untuk menjaga kebersihan lingkungan. Terdapat pula inspektur pasar yang memastikan kebersihan jalan dan pasar terjaga, serta mencegah pembuangan sampah sembarangan.
Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam sistem Islam masih sangat relevan untuk mengatasi persoalan sampah di masa kini. Islam menanamkan kesadaran bahwa menjaga kebersihan dan lingkungan adalah tanggung jawab moral dan agama. Ini dapat diwujudkan melalui pendidikan nilai di sekolah, keluarga, dan komunitas.
Islam mendorong gaya hidup sederhana, menjauhi pemborosan (israf dan tabdzir), memilih produk yang tahan lama, serta mengurangi penggunaan barang sekali pakai. Konsep ta’awun atau gotong royong juga diterapkan dalam pengelolaan sampah berbasis komunitas, yang melibatkan partisipasi aktif warga dalam memilah, mengurangi, dan mendaur ulang sampah.
Selain itu, pemerintah perlu menyediakan infrastruktur yang memadai, mulai dari fasilitas pengumpulan, pemilahan, hingga pengolahan akhir yang ramah lingkungan. Penegakan hukum yang konsisten juga penting agar masyarakat jera membuang sampah sembarangan dan terdorong untuk mengelola sampah dengan cara yang benar.
Dengan demikian, penyelesaian masalah sampah dalam sistem Islam tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, melainkan juga pada pembentukan budaya bersih dan tanggung jawab kolektif yang bersumber dari nilai-nilai agama. Pendekatan holistik ini dapat menjadi inspirasi bagi solusi berkelanjutan atas krisis sampah yang tengah melanda kota-kota kita saat ini.
Wallahualam bissawab.