SENSITIF GENDER, SENSITIF PEREMPUAN?

 

 




Oleh : Nazli Agustina Nasution, S.PdI (Aktivis Pendidikan)

  

Pada tahun 2019 lalu Pemprov Sumut menerima Anugerah Parahita Ekapraya (APE) lantaran telah mengimplementasikan pengarusutamaan gender di Sumut. Di tahun yang sama, Provinsi Sumut juga menerima penghargaan sebagai Provinsi Penggerak Kabupaten/Kota Layak Anak, karena telah berkontribusi dalam perwujudan provinsi layak anak.

Gubernur Sumatera Utara mengungkapkan bahwa kemajuan bangsa bergantung pada bagaimana peran pemerintah dalam hal perlindungan perempuan dan anak. Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) tetap berkomitmen dalam upaya perlindungan perempuan dan anak di daerah ini.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sumut Hasmirizal Lubis  memaparkan, berbagai langkah dan upaya telah dilakukan Pemprov Sumut dalam hal perlindungan perempuan dan anak. Antara lain, mengintegrasikan pengarusutamaan gender ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2019 – 2023. Seperti, memasukan program pengarusutamaan gender ke dalam program prioritas pembangunan daerah.

Pengarusutamaan gender di Sumut, menurut Hasmirizal, sudah terlaksana dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari terbukanya kesempatan yang luas bagi perempuan di berbagai bidang. Misalnya pada tahun 2019, jumlah ASN di Sumut lebih banyak diisi oleh perempuan yakni sekitar 129 ribu, sedangkan laki-laki 63 ribu. Bahkan Pejabat Eselon I diisi oleh seorang perempuan yaitu R Sabrina sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Sumut.

Benarkah sensitivitas gender telah benar-benar sensitif terhadap kebutuhan dasar perempuan dan anak yakni “kesejahteraan lahir dan batin” di Medan khususnya dan di Indonesia pada umumnya? Tentu hal ini perlu dicermati secara mendalam.

Realitas Kesetaraan Gender di Negara Barat

Menurut Global Gender Gap Index yang dirilis oleh WEF, kesetaraan gender di suatu negara diukur dengan empat hal yaitu kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan politik. Semakin kecil kesenjangannya, semakin tinggi posisinya.

Berdasarkan klasifikasi tersebut, Islandia menjadi negara yang disebut menerapkan kesetaraan gender terbaik pertama di dunia. Menyusul negara lainnya yaitu, Norwegia, Finlandia, Swedia, Nikaragua, Selandia Baru, Irlandia, Spanyol, Rwanda, dan Jerman.

Padahal, apa yang mereka klaim tak sesuai realitas. Di Finlandia, misalnya, hampir 47% perempuan di sana pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Menurut laporan Komisi Penyelidikan Kerajaan Selandia Baru hampir seperempat juta pelecehan terhadap anak-anak terjadi antara tahun 1950 dan 2019.

Di negara-negara nordik, yaitu negara yang terletak di Eropa Utara yang meliputi Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia, Islandia, dan Kepulauan Faroe, di mana nilai kesetaraan gender dijunjung tinggi justru melahirkan masalah baru. Tingginya angka perceraian, angka kelahiran yang kian rendah, hingga bertambahnya penduduk usia tua menjadi beban masalah bagi negara tersebut.

Masalah ini muncul sebagai dampak jangka panjang kebijakan kesetaraan gender di negara nordik. Sejak tahun 1960-an dan 1970-an, negara-negara nordik telah membuat kebijakan yang mendorong para perempuan masuk dunia kerja. Sejumlah kebijakan pun disusun untuk menciptakan kesetaraan dalam hal pengasuhan anak. Implikasinya, semakin banyaknya para bapak yang tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangga dan anak. (norden.org, 04/02/2021).

Inikah yang dimaksud prestasi kesetaraan? Memberi solusi yang melahirkan masalah baru bagi perempuan. Para pegiat gender itu selalu menuntut kesetaraan dalam pemberdayaan ekonomi bagi perempuan. Setelah dibuat setara, mereka masih protes.

Kesetaraan Gender Hanya Menjadikan Perempuan Sebagai Mesin Ekonomi

Isu kemiskinan adalah salah satu yang menjadi masalah utama dunia. Kemiskinan seringkali dijadikan tameng bagi kaum feminis gender untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ranah publik. Dalam isu gender dan kemiskinan, rumah tangga seringkali menjadi target serangan kaum gender. Rumah tangga dianggap sebagai salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.

Para pegiat gender  berdalih dengan penemuan semu yang dilaporkan UNDP bahwa ketika perempuan mengontrol pendapatan keluarga, dampak pada kesehatan anak-anak dua puluh kali lebih besar ketimbang laki-laki yang mengontrol pendapatan tersebut.

Alhasil, jadilah satu paket pemberdayaan ekonomi perempuan menjadi target program pengentasan kemiskinan di seluruh dunia. Secara umum, kemiskinan adalah suatu kondisi ketika seseorang atau kelompok tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan yang layak.

Jika kemiskinan bisa dituntaskan dengan pemberdayaan perempuan di berbagai sektor, lantas mengapa pemberdayaan itu tak kunjung memberi hasil berarti? Kemiskinan tetap menjadi pandemi global yang tak bisa diputus. Bahkan di Sumut sendiri terjadi peningkatan kemiskinan selama masa pandemi Covid-19 terhitung Maret hingga September 2020 mengalami peningkatan 0,39 poin atau 73.430 jiwa dari total penduduk sebesar 14.799.361 jiwa. Hal itu dikatakan Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi pada rapat paripurna penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Sumut Tahun Anggaran 2020 di Gedung DPRD Sumut, Selasa (16/3/2021).

Kapitalisme Akar Persoalan Perempuan

Adanya ketimpangan sosial yang berimbas pada perempuan tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalis yang tengah diterapkan dunia. Penjajahan suatu negeri atas nama kebebasan kepemilikan sumber daya alam adalah salah satu sebab kemiskinan.

Jadi, tak ada korelasi antara kemiskinan dengan kesetaraan gender bagi kesejahteraan perempuan. Justru derasnya arus pemberdayaan perempuan menimbulkan masalah baru. Angka gugat cerai meningkat. Ketahanan keluarga rapuh. Anak-anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Semua itu terjadi akibat kaum ibu yang keluar bekerja.

Memang benar, berdaya bagi perekonomian, namun tak berdaya menghadapi konflik keluarga yang juga berimbas pada kualitas generasi.

Mencermati hal ini, sungguhlah bahwa dalam kacamata kapitalisme, perempuan tak ubahnya mesin ekonomi. Ideologi kapitalisme melalui sekularismenya yang telah menciptakan problem sistemis perempuan dan generasi.

Melihat situasi perempuan di seluruh dunia saat ini, menyadarkan kita bahwa sesungguhnya kesetaraan gender bukanlah solusi. Kesetaraan gender justru membuat perempuan makin menderita.

Alih-alih sejahtera, perempuan justru makin menderita, anak pun terabaikan dan keluarga berantakan. Bahayanya, kesetaraan gender makin tampak saat terjadi pandemi. Perempuan mendapatkan beban yang lebih besar ketika menjalani work from home, bahkan kekerasan dalam rumah tangga mengalami peningkatan tajam di berbagai negara di dunia menjadi pandemi bayangan.

Islam Memuliakan Perempuan dan Mengentaskan Kemiskinan

Sejatinya, Islam sudah memiliki seperangkat aturan untuk mengatasi problematik yang melanda kaum perempuan. Kemiskinan bukan saja menimpa kaum perempuan. Kemiskinan bermula dari rendahnya tingkat pendidikan, sulitnya lapangan pekerjaan, beban hidup yang makin berat, malas bekerja, serta keterbatasan sumber daya alam maupun modal.

Dalam hal ini, Islam akan memberlakukan pendidikan dan kesehatan secara gratis. Sebab, keduanya adalah hal yang wajib dipenuhi negara. Mengenai lapangan kerja, Islam juga akan memberi ruang seluasnya bagi kaum laki-laki untuk mencari nafkah. Yang tidak punya pekerjaan akan dipekerjakan. Yang malas bekerja akan diberikan ketegasan agar mereka menunaikan kewajibannya.

Merekalah tulang punggung ekonomi. Perempuan berfokus diri mendidik dan membentuk generasi berkualitas. Perbedaan kewajiban bukan berarti memarginalkan peran perempuan. Namun, mengoptimalkan peran masing-masing sesuai fitrah mereka diciptakan.

Meski kaum gender mengklaim bahwa pemberdayaan melalui kesetaraan gender perempuan mampu mengentaskan kemiskinan. Pada faktanya, dominasi perempuan di berbagai sektor publik malah menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosial bahkan kriminalitas yang rentan dihadapi kaum perempuan.

Sebab, apa yang mereka gagas telah melawan fitrah. Dalam hal fisiologis dan psikis, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Namun, hal itu dipaksakan setara atas nama gender.

Dalam hal hak publik, Islam tak membedakan keduanya. Layanan pendidikan, kesehatan, dan berbagai fasilitas publik lainnya diberikan hak yang sama. Islam justru mendorong agar kaum perempuan kuat iman dan cerdas ilmu. Tujuannya, agar mereka mampu mendidik anak dengan baik. Agar ketahanan keluarga kukuh, tak mudah dipicu dengan perselisihan yang tak perlu. Seluruh konsep kebaikan syariah ini hanya bilamana dunia mau menerapkan sistem Islam dalam institusi Khilafah. Dengan Khilafah, perempuan mampu lepas dari belenggu kemiskinan, penindasan, dan kriminalitas.