Tahu dan Tempe Sulit Dibeli, Mau Dibawa ke Mana Negeri Ini, Tuan?

 


Oleh: Ratih Yusdar (Aktivis Muslimah)


Andai bahan pangan 3 T (tahu, tempe dan telur) sulit didapat oleh masyarakat, lantas mau dibawa ke mana negeri ini tuan?  Ketiga bahan pangan yang terbilang makanan rakyat kelas menengah ke bawah, makanan rakyat yang paling banyak dikonsumsi tapi harganya menyombongkan diri, bagaimana lagi mau membeli yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.


Meskipun harga telur juga melambung tinggi namun yang sedang viral adalah fakta kelangkaan  tahu dan tempe yang tetiba menghilang di pasaran sebagaimana diberitakan bahwa  konsumen di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, mengeluhkan hilangnya stok tahu dan tempe di lapak pedagang dalam dua hari terakhir. Kejadian ini imbas mogok produksi di kalangan perajin kedelai.


"Sudah sejak tahun baru ini saja saya enggak ketemu lagi tahu dan tempe di pasar. Saya juga baru tahu hari ini kalau ada mogok kerja dari yang bikin (produsen)," kata salah satu konsumen tahu dan tempe, Nurohatun Hasanah.


Secara terpisah Sekretaris Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Handoko Mulyo mengatakan ketiadaan tahu dan tempe di pasaran merupakan imbas dari bentuk protes terhadap kenaikan harga kedelai dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram (merdeka.com, 04/01/2021).


UU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintahan Joko Widodo dan disahkan DPR RI pada 5 Oktober lalu berpotensi membawa Indonesia terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian.


Ada beberapa poin-poin yang dihapus dalam undang-undang tersebut yang tentunya berdampak merugikan petani dalam negeri.


"Tidak ada lagi ketentuan kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri,” ucap Henry dalam keterangan tertulis (tirto.id, 14/10/2020).


Jika hal ini terus terjadi bukan hanya petani saja yang dirugikan, tapi meliputi seluruh masyarakat. Sepanjang sejarah  bahan pangan tahu dan tempe merupakan sumber makanan yang mudah dan murah harganya hingga terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat. Selain itu juga tahu dan tempe dapat memenuhi unsur gizi masyarakat sebagai sumber protein nabati pengganti ikan,  daging sapi ataupun daging ayam. Kalaulah bahan pangan yang murah ini menjadi hilang akibat kenaikan harga bahan bakunya bagaimana lagi masyarakat mau memenuhi kebutuhan gizinya. Bisa saja petani tetap memproduksi tahu dan tempe dan menjual dengan harga seperti biasa tetapi dengan mengurangi ukurannya menjadi lebih kecil atau menaikkan harganya dengan ukuran tetap. Apakah ini sebuah solusi?  Sementara di masa pandemi ini semakin banyak masyarakat yang berpredikat sebagai pengangguran. Tak pantas rasanya  jika tahu dan tempe saja tidak lagi dapat disentuh rakyat.


Sangat menyedihkan melihat Indonesia adalah sebuah negara yang sangat terkenal sebagai negara agraris, yang memiliki banyak sumber daya alam, baik di darat maupun di perairan, tetapi untuk hasil pertanian seperti kedelai saja tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan produsen tahu dan tempe hingga  harus diimpor dari luar negeri.

Masih berlakukah  negeri yang dengan julukan negara agraris tersebut kalau terus menerus impor bahan pangan?


Bila saja diberlakukan sistem Islam dalam menanggulangi kemandirian sumber pangan suatu negara tentulah beda cara dan hasilnya.  Islam adalah agama yang paripurna, sempurna dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, hingga kebutuhan pokok manusia pun dalam hal ini sumber pangan  wajib diperhatikan. Kelak di akhirat seorang pemimpin   akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah  meskipun hanya satu saja dari rakyatnya yang kesulitan pangan  hingga kelaparan apalagi sampai mengakibatkan kematian.


Sebagai upaya peningkatan produktivitas lahan, syariah Islam  sangat menaruh perhatian pada pendaya gunaan lahan melalui tanah mati.

Menurut hukum Islam tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya atau tampak tidak pernah dimiliki oleh seseorang, serta tidak tampak ada bekas apa pun yang menunjukkan bahwa tanah tersebut pernah dikelola baik berupa pagar, tanaman bekas bangunan atau bentuk pengelolaan lainnya. Jadi pada tanah mati tersebut dibolehkan siapa pun  untuk mengelolanya  menjadikan tanah tersebut bermanfaat untuk berbagai keperluan atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami dan tanah itu menjadi milik orang menghidupkannya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya  "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR.tirmidzi, Abu Daud).


Dengan dimanfaatkannya tanah-tanah mati yang jumlahnya tidak sedikit itu insya Allah masyarakat bisa menghasilkan sumber bahan pangan sendiri, di samping pemerintah juga berperan aktif menghentikan ketergantungan impor bahan-bahan pokok bila jumlahnya memadai dari dalam negeri sendiri.


Dalam Al-Quran juga  banyak dijelaskan bahwasanya dari tanah pertanianlah diperoleh sumber makanan bagi kehidupan Manusia, salah satunya seperti yang tertuang dalam Surat Al-A’raf: 7.


“Dan sungguh Kami telah menempatkan Kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu…”


Sebenarnya jika kita mau mengkaji dan mendalami Islam secara kaffah maka ada banyak petunjuk dalam  Al-Quran  dan juga  contoh konkret yang obyektif terhadap persoalan mengenai pertanian dan ketahanan pangan. Sebagai bangsa yang mayoritas penganut Islam sudah seharusnya kita menjalankan apa yang ditunjukkan dan diajarkan dalam Al-Quran tersebut agar selamat dunia akhirat dalam hal apa pun termasuk ketahanan pangan ini.


Wallahualam bissawab