Kembali pada Fitrah, Ibu Sosok Wanita Mulia

 


Oleh: Nelly, M.Pd. (Dosen dan Aktivis Peduli Ibu)


Depresi, mungkin inilah yang sedang melanda sebagian ibu-ibu sosok penuh kasih lembut dan penyayang. Betapa tidak, berita miris ini untuk kesekian kalinya menghiasi pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik, ada seorang ibu yang tega membuang bayinya, ada ibu yang bunuh diri bersama anaknya, ada ibu yang tega memutilasi buah hatinya, menganiaya buah hatinya hingga mati dan perbuatan keji lainnya diluar nalar akal sehat manusia ketika menyaksikan kekejaman ibu terhadap darah dagingnya sendiri. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya ada ribuan kasus bunuh diri di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2015-2019 . Angka tersebut adalah yang tercatat di kepolisian. Angka riil di lapangan bisa jadi lebih tinggi. Semua pasti memahami bahwa seorang ibu adalah makhluk penyayang dan penuh cinta kasih, fitrah ibu adalah pelindung bagi anak-anaknya. Ibarat induk ayam yang akan menerjang siapa saja yang mengancam anak-anaknya. 

Dari data statistik bahwa jumlah penderita depresi pada ibu semakin meningkat dari tahun ketahun. Mengejutkannya WHO membuat pernyataan bahwa ada lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia sedang berusaha mengatasi depresi. Dr Shekhar Saxena, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Zat WHO, mengatakan kepada Radio Sputnik bahwa jumlah orang di dunia yang menderita depresi meningkat 18 persen selama dekade terakhir.

Akar Masalah Depresi pada Ibu

Jika dilihat bahwa sosok ibu hari ini harus diakui masih setengah hati dalam mendidik, menjaga dan mengurus anak-anaknya. Peran strategisnya tidak didukung oleh peradaban yang baik. Penerapan sistem aturan saat ini bukan mensupport terlaksananya tugas keibuan dengan baik, tetapi malah sebaliknya, menggerus fitrah mulianya, sebagai pendidik utama di rumah. 

Bagaimana tidak, penerapan sekulerisme di berbagai bidang kehidupan hanya menimbulkan lingkaran setan permasalahan. Memicu persoalan pelik baik bagi elemen individu, keluarga maupun negara. Secara individu, ibu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang terkadang menekan fitrah kewanitaannya. Ini karena terpropagandakannya opini perempuan punya hak kebebasan, jangan mau ditindas laki-laki, harus memperjuangkan kesetaraan, harus mandiri secara ekonomi, bebaskan berekspresi, dan lain sebaginya. 

Fitrah ibu dicabut atas nama kesetaraan gender dengan laki-laki, ibu mengalami pergulatan batin yang keras atas pilihan, apakah di rumah atau di publik. Akhirnya, kekalahan opini ini membuat kaum ibu menyerah, tertekan jiwanya. Saat memilih jadi ibu, terasa tidak ikhlas, masih ingin terbang bebas. Jika memilih berkeliaran bebas, batin pun tersiksa atas nama rasa bersalah. Dilema yang melahirkan depresi tiada akhir.

Sementara itu, rumah tangga yang dibangun, tak lepas dari guncangan. Badai itu bernama mahalnya biaya hidup, mewahnya ongkos pendidikan, melangitnya dana kesehatan, tak terjangkaunya harga perumahan, dan seterusnya, sementara sistem sekuler menyulitkan orang untuk mengakses sumber-sumber pendapatan. Akhirnya, suami kerja keras banting tulang. Waktu terasa tak ada untuk bercengkerama bersama. Ditambah lagi, kemenangan opini-opini di luaran sana tentang profil ibu terkini yang harus gaul, konsumtif, hedonis, dan lain-lain. Inilah yang membuat tuntutan hidup melangit dan merasa tak cukup memenuhi sandang, pangan, papan. 

Padahal di pundaknya sudah terpikul beragam beban, mulai masalah kerumah-tanggaan hingga tumbuh-kembang anak, yang repotnya sudah luar biasa. Masih untung kaum ibu tidak gila, tetapi stres/depresi masal sukses melanda, akhirnya muncullah masalah baru yang makin memprihatinkan, diantaranya ibu-ibu banyak yang tidak sabar hingga berujung minta cerai dan anak-anaklah jadi korban. Ibu-ibu banyak yang putus asa, hingga berbuat tak manusiawi dengan membunuh anaknya, bahkan banyak juga yang bunuh diri. 

Semua ini terjadi seperti lingkaran setan yang menimpa individu, keluarga, masyarakat hingga negara akibat penerapan peradaban buruk yang terus dipertahankan. Masyarakat, dengan elemen individu di dalamnya, adalah tanggung jawab negara. Maka, problem yang menimpa individu pada dasarnya bermuara pada kemampuan negara dalam mengayomi dan mengatur warga negaranya. Negara yang mampu menciptakan situasi dan kondisi yang baik, akan melahirkan individu-individu terbaik. 

Hari ini, negara yang menerapkan sistem aturan yang tidak berpihak pada wong cilik terlebih bagi para ibu sosok yang mulia. Sistem yang serba liberal, serba sekuler, serba kapitalis, hingga gagal mencetak individu-individu yang memiliki kemampuan menjadi problem solver. Termasuk, gagal mengkondisikan ibu sebagai problem solver bagi keluarganya. 

Bagaimana mau menyelesaikan masalah, sedangkan problem keluarga demikian peliknya. Sementara di sisi yang lain kita melihat fenomena banyak kaum ibu yang masih rendah pendidikannya, lemah pemahamannya, kurang ketakwaannya, dan sebagainya. Negara akhirnya juga gagal membentuk keluarga-keluarga sebagai elemen terkecil dalam memecahkan masalah. 

Begitu banyak kita lihat keluarga-keluarga yang mengumbar persoalan rumah tangga ke ranah publik. Begitu banyak fakta keluarga yang berakhir dengan perceraian. Berapa banyak anak-anak generasi penerus bangsa yang hilang arah hidup akibat rapuhnya pondasi keluarga dan mengambil jalan pintas dengan menjadi sosok anak-anak yang gandrung dengan gaya hidup bebas, narkoba, tawuran, free sex, dan sejumlah kenakalan lainnya.

Hal ini tidak terlepas dari kegagalan negara dalam menanamkan ketakwaan dan kesalehan massal pada warga negaranya. Individu-individu terlalu dibiarkan bebas mengembarakan aspek spiritualnya, tidak diakomodasi sama sekali oleh negara. Sistem pendidikan, sistem sosial, sistem ekonomi, peradilan dan pemerintahan tidak mengakomodasi kepentingan individu untuk pengembangan kepribadian terbaiknya. Padahal negeri ini begitu kaya akan sumber kaya alamnya, dan menjadi negeri mayoritas muslim terbesar di dunia.

Pandangan Islam dalam Mengatasi Maraknya Depresi 

Sungguh jauh berbeda dengan sejarah umat Islam saat Baginda Muhammad SAW membawa Islam sebagai pandangan hidup dan aturan hidup, dan dilanjutkan para khulafaurrasiddin hingga sejarah mencatat kurang lebih selama kurun waktu 13 abad lamanya saat itu hampir tidak pernah ada dalam sejarah tentang kekejaman para muslimah, terlebih terhadap darah dagingnya. Yang nampak masa itu adalah adanya kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan hidup, menghilangkan potensi stres massal. 

Termasuk, mencegah ibu-ibu mengalami depresi. Sehingga, tidak ada yang tega melakukan kekejian, terlebih terhadap buah hatinya, ibu-ibu yang ridho menjalankan fitrahnya sebagai sosok pendidik utama dan paling utama dalam keluarganya yang akan mencetak generasi-generasi unggul harapan peradaban. 

Di sinilah maka pentingnya untuk melihat akar masalah ini bukan sekedar masalah kelemahan individu namun merupakan masalah sistemik. Maka solusinya pun juga harus secara sistemik sebagaimana Islam memberikan aturan paripurna dan sempurna. Ada peran negara yang paling dominan yang membentuk ketakwaan individu di tengah-tengah umat. 

Negaralah yang menjaga dan melindungi individu umat dari segala tindakan yang melanggar syariah, negara akan memenuhi segala kebutuhan umat. Lebih dari itu kesempurnaan aturan Islam akan diterapkan dalam tata kelola negara, sehingga hukum aturan Islam sempurna diterapkan. Dengannya kehidupan sejahtera, adil, makmur, dan penuh ketakwaan akan tercipta. Maka sudah saatnya untuk kembali pada bagaimana Islam memberikan solusi atas setiap persoalan hidup manusia secara komprehensif, tentunya dengan syariah dan Khilafah. Wallahu’ alam bis showab