Kejar Tayang Proyek Pelabuhan Patimban, untuk Kepentingan Siapa?



 Oleh: Liza Burhan


Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan saat ini sedang kejar tayang melakukan penyelesaian pelabuhan Patimban yang berlokasi di Subang, Jawa Barat. Dengan situasi di tengah masa pandemi virus Corona (Covid-19) saat ini, pengerjaan di lapangan tetap berjalan. Hanya saja, pengerjaan dilakukan dengan peningkatan kewaspadaan dan pemeriksaan kesehatan sesuai ketentuan yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan.


Proyek Pelabuhan yang turut didukung oleh pelaku usaha hingga instansi pemerintah lain seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ini, ditargetkan dapat diselesaikan pada akhir 2020 sekarang. Yang akan diproyeksikan sebagai pintu bagi kegiatan ekspor/impor, khususnya untuk industri otomotif dan logistik yang berkembang di Jawa Barat dan Jawa Tengah. 


Dilansir dari Liputan6.com 20/112020, Menhub Budi Karya Sumadi berharap, kegiatan industri turut bisa terbangun di Pelabuhan Patimban ini. Dalam berita liputan portal Jabarprov.go.id 6/11/2020 lalu ia juga mengatakan, paling lambat Desember 2020, tahap pertama Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang, Jabar akan mampu menampung operasional peti kemas hingga 250 ribu TEUS (twenty foot equivalent unit). Bersama ditargetkan pula pendirian sebuah politeknik maritim bekerjasama dengan Inggris.


Pelabuhan dengan investasi Rp43,22 triliun ini diharapkan juga menjadi daya tarik investasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan segitiga emas Cirebon-Patimban-Kertajati atau dikenal dengan Rebana yang diproyeksikan menjadi KEK terbesar di Indonesia dengan 11 zona di KEK yang sudah siap ditempati oleh Pemprov Jawa Barat.


*Investasi Angin Segar bagi Korporasi*


Dari sebuah paparan fakta di muka, begitu nampak sebuah kesan bahwa betapa bernafsunya pemerintah dalam mengejar investasi. Parahnya, lagi-lagi semua tidak bisa terlepas dari kentalnya pengaruh asing terhadap kepemilikan aset negara tersebut. Dan dengan itu pula, secara nyata semakin menunjukkan bahwa pemerintah adalah fasilitator bagi kepentingan para korporasi kapitalis. 


Lihat saja, demi kepentingan investasi asing, pembangunan pelabuhan ini harus segera dirampungkan. Padahal di sisi lain masih banyak daerah tertinggal yang fasilitas umumnya masih cenderung memprihatinkan dan minim perhatian pemerintah karena tidak dapat mendatangkan profit bagi negara.


Inilah potret dari sistem liberalisasi investasi di Indonesia, dan bagian dari tujuan diciptakannya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sangat nampak begitu terbukanya ruang luas yang sangat memudahkan bagi para investor asing untuk masuk ke berbagai sektor perekonomian kita. Mulai dari industri, perbankan, pertambangan, hingga pada sektor pertanian/perkebunan. Akibatnya aset-aset nasional termasuk sektor yang strategis akhirnya banyak dikuasai dan dimonopoli oleh investor asing.


Selain dari pada itu, ada dampak negatif lain ketika investor asing tersebut diberi kemudahan berinvestasi di negeri ini, yakni mereka akan menerapkan syarat-syarat yang cenderung merugikan negara atas nama berinvestasi. Misalnya, dari mulai bahan baku, buruh atau para pekerjanya pun dari yang kasar hingga yang inti haruslah didatangkan dari negara mereka, dan tentu saja hasil produksi juga akan dibawa ke negara mereka. Maka sejatinya kerjasama dalam bentuk investasi seperti ini tidaklah dapat memberikan keuntungan prekonomian bagi Indonesia untuk kesejahteraan rakyatnya.


Pada dasarnya bukanlah menjadi satu hal yang meanehkan lagi, sejak masa reformasi hingga sekarang negeri ini berada dalam bayang-bayang dan cengkeraman asing maupun aseng. Atas nama investasi, melalui tangan-tangan korporasi multinasional mereka, khususnya pada sektor hulu pengelolaan SDA seperti tambang, migas, laut, industri, hutan, dan sebagainya. Inilah bentuk nyata dari penjajahan gaya baru (neoimperialisme) atas negeri ini.


Dengan pengelolaan berbagai sumber daya alam dikuasai penuh oleh asing, yang berakibat kesengsaraan bagi rakyat negeri ini, yang disadari ataupun tidak rakyat telah menjadi tamu di negerinya sendiri dalam hal pengelolaan hasil SDA. Rakyat harus membeli kepada pemerintah saat harus menikmati semua hasil kekayaan alamnya. Sementara profit atau keuntungan besarnya mengalir deras kepada pihak asing sebagai investor yang diberikan karpet merah oleh negara.


Itulah bahaya sejatinya dari proyek dengan jalan mengundang para investor ini, investasi sesungguhnya hanyalah kedok sebagai cara atau jalan penjajahan oleh asing untuk mengeruk kekayaan serta memerangi eksistensi negeri-negeri muslim. Dengan investasi asing, bisa membuat rakyat menderita akibat dari alih-alih ingin mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, pemerintah justru dibuat menjadi pengabdi pada kepentingan para penjajah.


Dengan strategi pembangunan pelabuhan Patimban yang dikejar saat ini, justru akan menjadi jalan mulus bagi hegemoni asing, dalam mengendalikan prekonomian negeri ini. Serta akan membuat pemerintah semakin ketergantungan dan tunduk dalam arahan kepentingan para penjajah, atas nama hubungan kerja sama.


*Sistem Islam Mewujudkan Kesejahteraan Paripurna*


Dalam persepektif Islam, sejatinya investasi merupakan kegiatan yang diperbolehkan bahkan ada pendapat yang sampai menganjurkannya. Karena pada realitasnya kegiatan investasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan perekonomian masyarakat maupun negara.  Baik itu yang dilakukan oleh individu, kelompok, hingga tatanan negara. Hanya saja, bagaimana jalannya investasi tersebut haruslah mengikuti ideologi yang menjadi prinsip utama ideologi yang dianutnya.


Islam memandang bahwasanya kegiatan investasi yang dilakukan seseorang juga wajib terikat pada aturan syariah Islam. Maka dari itu, seseorang ataupun negara yang ingin terlibat dalam kegiatan investasi harus memahami hukum-hukum syariah dengan seksama. Agar ia dapat terhindar dari kegiatan investasi yang haram. Sebagaimana yang dipraktekkan di negara-negara sekuler dalam naungan ideologi kapitalisme demokrasi.


Seperti apa yang nampak dari konsep investasi kapitalisme yang tengah dianut oleh negeri kita saat ini, yang sangat kontradiktif dengan standar seharusnya sebuah negeri bermayoritaskan muslim. Yaitu kaburnya batasan sektor-sektor yang boleh dan tidak boleh dimasuki atau dikuasai oleh investor asing atau swasta. Yang aturannya tidak tetap namun bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan saja, bisa dengan alasan nasionalisme yang pabila sewaktu-waktu ingin membatasi investasi, ataupun bisa saja membukanya secara luas dan mudah atas nama prinsip pasar bebas.


Adapun dalam Islam telah memberikan pengelompokan secara jelas dan tegas termasuk siapa yang berhak mengelolanya. Sebagai contoh, dalam pengelolaan harta kepemilikan umum seperti tambang, minyak, gas, garam dan lain-lain. Kesemua itu tidak boleh dimiliki secara privat dan diserah kuasakan kepada siapapun terutama kepada asing, akan tetapi negaralah yang mengelola sepenuhnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.


Pelabuhan termasuk pada kategori milik umum atau fasilitas umum yang diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat secara luas, yang di dalam sistem Islam melarang keras pada pihak swasta untuk dapat menguasainya. Artinya tidak boleh diserahkan kepada swasta baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi.  


Negara wajib bertanggung jawab agar investasi dapat berjalan sesuai koridor syara'. Rasulullah saw dan para khalifah penerus kepemimpinannya dulu, telah mencontohkan bagaimana cara yang benar dalam mengurusi, dan  mengawasi kegiatan perekonomian negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi umat/rakyatnya.


Mereka telah mencontohkan bagaimana negara mengelola harta milik umum dan milik negara dikelola secara optimal dan penuh amanat, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat/rakyat. Anti dari segala bentuk hegemoni para korporasi.


Alhasil, untuk dapat mewujudkan investasi yang benar guna untuk mensejahterakan umat secara adil dan merata, hanya dapat terlaksana jika negara ini mau segera bangkit  dengan mengadopsi risalah Islam secara menyeluruh di bawah naungan institusi Khilafah Islam.