Islam Mewujudkan Generasi Bebas Stunting

  


Oleh: Fitriani,S.Hi

(Pemerhati Keluarga dan Generasi di Deli Serdang)


Permasalahan stunting masih terus menghantui negeri ini. Bagaimana tidak?  Beberapa kota di Indonesia tercatat memiliki angka penderita stunting yang cukup besar. Dibeberapa daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara angka Stunting juga tinggi. Bahkan saat ini SUMUT masuk kategori wilayah darurat stunting. Pada tahun 2018, stunting di Sumut mencapai 32,8 persen atau di atas angka nasional yang sebesar 30.8 persen. Sementara dari hasil evaluasi periode 1 Agustus hingga 31 Desember 2019, jumlah anak yang mengalami stunting di Sumut sebanyak 11,1 persen atau 19.443 orang. (Data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara)


Di Kabupaten Dairi misalnya angka kasus stunting masih cukup tinggi, oleh sebab itu pemerintah menetapkan stunting sebagai program prioritas untuk diintervensi dengan pendekatan konvergensi program multi sektor. Bupati Dairi Dr. Eddy Keleng Ate Berutu mengajak seluruh masyarakat Dairi untuk terlibat secara aktif dan sistematis dalam pencegahan dan penanggulangan stunting, dan diharapkan mampu  untuk menekan prevalensi stunting di Kabupaten Dairi (radarmedan.com/15/07/2020).


Bukan hanya di Dairi, di Langkat juga stunting masih tinggi. Tahun lalu Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi saat melantik Terbit Rencana Perangin Angin dan Syah Afandin sebagai Bupati dan Wakil Bupati Langkat Periode 2019-2024 di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur, Jalan Pangeran Diponegoro, Kota Medan, Rabu (20/2/2019).  Keduanya diminta dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di Langkat, khususnya stunting. Edy Rahmayadi menyebutkan, stunting merupakan salah satu masalah yang dihadapi Kabupaten Langkat. Karena itu, kepada keduanya, diminta agar menekan jumlah stunting. “Saya mau ini ditekan, jangan mau jadi juara yang negatif, bagaimana masa depan bangsa ini, jika anak-anaknya banyak kena stunting,” ujarnya. (medan.tribunnews.com/20/02/2019)


Prevalensi stunting di Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti. Karena faktanya prevalensi stunting dinegeri ini masih tinggi dan dampak yang ditimbulkan juga membahayakan generasi. Walaupun pemerintah telah mencanangkan berbagai macam program untuk menurunkan prevalensi. Misalnya pada tahun 2010, Scaling Up Nutrition (SUN) diluncurkan sebagai gerakan global dengan prinsip dasar semua penduduk berhak mendapatkan dana memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Dua tahun berikutnya pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui program Intervensi Stunting. Dengan harapan melalui program yang berasal dari WHO ini mampu menurunkan angka prevalensi. Akan tetapi pada kenyataannya penderita stunting tidak kunjung terselesaikan. 


Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementerian Kesehatan, diketahui bahwa prevalensi balita gizi buruk dan kurang di Sumatera Utara pada tahun 2018 sebesar 19,67% yang terdiri dari 5,37% gizi buruk dan 14,3 gizi kurang (turun sebesar 2,73% dari hasil riskesdas 2013 yaitu sebesar 22,4%). Sedangkan prevalensi baduta gizi buruk dan kurang sebesar 18,67% yang terdiri dari 5,8% gizi buruk dan 12,87% gizi kurang(22,4%) yang terdiri dari 8,3% gizi buruk dan 14,1% gizi kurang. Pada tahun yang sama di Sumatera Utara ditemukan juga permasalahan terkait gizi lebih untuk balita sebesar 4,03% dan pada baduta sebesar 4,87%. Dengan angka prevalensi sebesar 19,67% prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Sumatera Utara masih termasuk dalam kategori mendekati tinggi (standar WHO; 5-9% rendah, 10-19% medium, 20-39% tinggi, >40% sangat tinggi).



Program - program yang dilakukan pemerintah tersebut belum sampai menuntaskan persoalan gizi stunting, pasalnya solusi yang diupayakan pemerintah hanya bersifat tambal sulam saja yang itu tidak menyelesaikan hingga akarnya. Hal ini dibuktikan masih tingginya data angka Stunting di Indonesia setiap tahunnya hingga saat ini. Padahal Stunting itu sendiri terjadi karena kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu yang lama. Harusnya ini tidak terjadi kaena faktanya kita melihat negeri ini memiliki sumber daya alam yang luar biasa kaya, tanah yang subur penghasil beragam tanaman pangan dan minyak, apabila dikonsumsi oleh rakyatnya secara merata, maka rakyat tidak akan kekurangan asupan pangan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.  Negeri yang berlimpah kekayaan alamnya, sumber hasil laut dan daratnya bahkan kita ingat sebuah bait lagu 'tongkat kayu dilempar jadi tanaman' yang menandakan begitu suburnya tanah dinegeri ini. Negeri agraris gemah ripah loh jinawi yang begitu luar biasa namun didapati penduduknya masih banyak yang mengalami gizi buruk. Yang menjadi salah satu penyebab stunting yang menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, Indonesia ada di urutan ke-lima jumlah anak dengan kondisi stunting.



Hal ini terjadi karena negeri penghasil Sumber Daya Alam (SDA) melimpah ini yang terkenal dengan negeri agraris mengadopsi sistem kapitalisme, untuk mengatur kekayaan alamnya yang melimpah. Memilih aturan buatan manusia bukan dengan aturan Allah sehingga yang terjadi  hasil kekayaan tidak terdistribusi secara merata. Kekayaan alam banyak dimiliki oleh pihak pemilik modal yang hanya segelintir orang. Sementara akses masyarakat untuk mendapatkan makanan bergizi  sangat sulit. Dari mulai harga kebutuhan pokok yang mahal serta ketidakmampuan masyarakat memperoleh layanan kesehatan yang murah dan mudah. Negara seharusnya menyediakan fasilitas kesehatan terbaik lagi gratis untuk rakyatnya. Namun semua hanya sebuah fatamorgana ketika masih berhukum dengan kapitalisme aturan buatan manusia. Maka suatu hal yang sangat miris, negeri kaya raya namun stunting masih belum mereda. Maka mungkinkah generasi emas berkualitas dapat terwujud??


Berbeda dengan kapitalisme, salah satu bagian terpenting dari syari’at Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu masyarakat, baik berupa sandang, pakaian, dan papan, serta lapangan pekerjaan. Islam mengatur urusan umat secara sempurna. Didalam Islam sudah ditetapkan bahwa kebutuhan atas pangan, papan dan sandang merupakan kebutuhan setiap rakyat sehingga wajib bagi negara untuk memenuhinya. Dengan cara mengontrol pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rakyat, memastikan tidak ada satupun rakyat yang kelaparan hingga kekurangan gizi, setiap individu berhak menerima pelayanan kesehatan dan pendidikan termasuk pendidikan yang berkaitan dengan menjaga kesehatan tubuh. 


Dalam bidang kesehatan Negara Khilafah menyediakan fasilitas kesehatan terbaik lagi gratis, pelayanan rumah sakit dengan memperhatikan kebersihan ruang kualitas makanan yang diberikan kepada pasiennya. Majalah sejarah dan kebudayan AramcoWorld, Arab Saudi pernah menuliskan surat seorang pemuda Prancis dari rumah sakit Kordoba, yang menceritakan kesan-kesannya saat dirawat di rumah sakit Islam. Di antara kutipannya: …“Ayah terkasih, semua tempat di rumah sakit ini sangat bersih, tempat tidur dan bantal ditutupi dengan kain putih Damaskus yang halus. Bed cover terbuat dari bahan mewah yang lembut. Semua kamar di rumah sakit ini dilengkapi dengan air bersih. Air ini dibawa ke kamar melalui pipa yang terhubung ke sumber. Tidak hanya itu, setiap kamar juga dilengkapi dengan kompor pemanas.  Mengenai makanan, ayam dan sayuran selalu disajikan, sehingga beberapa pasien tidak ingin meninggalkan rumah sakit karena mereka ingin terus menikmati makanan lezat ini (www.republika.co.id/berita/dunia-islam).


Dalam dunia pendidikan pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas pun mampu melahirkan output yang piawai seputar gizi makanan, salah satunya adalah Ibnu Sayyar al-Warraq. Ia seorang juru masak yang sangat populer di ibu kota pemerintahan Islam, Baghdad, Irak. Ia membukukan resep-resep hasil kreasinya dalam sebuah buku berjudul Kitab at-Tabikh wa Islah al-Aqhdiyah al-Ma’kulat. Dari teks klasik inilah, diketahui kekayaan tradisi kuliner di tengah masyarakat Arab Muslim. Geliat tradisi kuliner ini juga mempunyai keterkaitan erat dengan bidang sains dan ilmu pengetahuan saat itu. Salah satu produk bergizi lainnya yang masih hits hingga kini adalah kebab. Pada abad ke-8 (masa kekhalifahan Abbasiyah), kebab diperkirakan menyebar dari Persia ke seluruh Timur Tengah. (khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam)


Dari sisi ekonomi, terbukti penerapan ekonomi Islam melahirkan komunitas masyarakat yang sejahtera lagi merata. Sebagai contoh adalah apa yang dikatakan Will Durant seorang sejarawan barat. Dalam buku yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, dia mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka” 


Oleh karenanya, solusi terbaik mewujudkan generasi bebas stunting adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam institusi Khilafah. Sistem ekonomi Islam memiliki mekanisme distribusi yang mumpuni, salah satunya dengan mengatur kepemilikan. Ada kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara, yang masing-masing tidak boleh dilanggar. Sementara negara berperan melayani umat dan memastikan mekanisme tersebut berjalan dengan baik. Hal ini hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad menyejahterakan umat manusia. Maka selayaknya sistem inilah yang kita perjuangkan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat sejahtera yang sesungguhnya. Mewujudkan generasi  berkualitas bukan hanya isapan jempol belaka. Wallahu`alam bisshawab