Proyek PEP dan Ide Kesetaraan Gender, Menjebak Peran Perempuan?

 



Oleh: Putri Sarlina (Aktivis Muslimah Dakwah Community)


Pemerintah membuat empat opsi kebijakan untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dicanangkan di masa pandemi. Keempat opsi kebijakan itu tertuang dalam PP No 23 tahun 2020, berupa (1) suntikan penyertaan modal negara (PMN) untuk BUMN terdampak, UMKM dan koperasi; (2) penempatan dana untuk mendukung likuditas perbankan; (3) investasi pemerintah, serta (4) program penjaminan bagi pelaku usaha atas kredit modal kerja yang diberikan perbankan. Adapun dana yang disiapkan, tak tanggung-tanggung. Yakni sebesar Rp695 triliun.


Yang menarik, dalam proyek PEN ini, kaum perempuan lagi-lagi dijadikan andalan utama. Khususnya menyangkut proyek-proyek UMKM yang jumlahnya meliputi 99,3 persen dari 64 juta pelaku usaha dan 60 persen di antaranya ternyata merupakan kaum perempuan. Fakta inilah yang dijadikan alasan pemerintah untuk lebih intens melibatkan kaum perempuan dalam pemulihan ekonomi nasional. Karena, khususnya di masa pandemi ini, perempuan dipandang masuk dalam kelompok rentan, baik sebagai tenaga kerja, pelaku usaha, maupun sebagai seorang perempuan yang penghasilannya bergantung pada kepala keluarga.


Adanya keterlibatan perempuan dalam pengentasan kemiskinan memang bukan hal baru. Terutama sejak dideklarasikannya Millennium Development Goals (MDGs) oleh 189 Negara anggota PBB pada tahun 2000, dilanjut dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang disahkan pada 2015 di markas besar PBB. MDGs dan SDGs sendiri merupakan rencana aksi global yang disepakati para pemimpin dunia dengan fokus untuk mengakhiri berbagai masalah di dunia seperti kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan.


Karenanya dalam rencana aksi ini, kaum perempuan terus didorong terlibat total dalam menyelesaikan problem kemiskinan global, dengan cara aktif dalam kegiatan ekonomi atau produksi. Targetnya, sebanyak mungkin kaum perempuan bisa berkontribusi di bidang ekonomi, bahkan pun ketika mereka diam di rumah.


Maka hari ini kita lihat, fokus propaganda ada pada isu perempuan di era digital yang memang membuka peluang bisnis tanpa batas. Artinya kaum perempuan didorong memanfaatkan teknologi digitalisasi ini untuk meningkatkan daya saing sekaligus memperluas peran perempuan dalam pembangunan ekonomi. Dengan demikian, tak ada lagi alasan bagi kaum perempuan untuk tidak berperan serta dalam proyek global pemberdayaan ekonomi perempuan. Lagi-lagi demi dalih mengentaskan kemiskinan. Pada praktiknya, proyek Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) ini diaruskan seiring dengan proyek global mainstreaming ide kesetaraan gender. Di mana sesuai target SDGs, tahun 2030 harus sudah tercipta dunia dengan kesetaraan mutlak laki-laki dan perempuan di berbagai bidang kehidupan, sehingga bumi layak disebut disebut planet 50:50.


Tentu saja, apa yang sedang terjadi ini sangat bertentangan dengan Islam dan berbahaya bagi umat. Karena, baik proyek PEP maupun mainstreaming ide kesetaraan gender ini justru akan membuka celah kerusakan yang lebih lebar di tengah umat. Pertama, proyek ini berpotensi mengeksploitasi kaum perempuan dan menjebak mereka sebagai penopang tegaknya hegemoni sistem kapitalisme yang hampir runtuh. Yakni dengan mendorong mereka menjadi mesin penggerak industri kapitalisme sekaligus menjadi objek pasar mereka. Kedua, proyek-proyek ini akan melunturkan fitrah perempuan sebagai pilar keluarga dan penyangga masyarakat yang justru dibutuhkan untuk membangun peradaban Islam cemerlang.


Bahkan lambat laun, proyek-proyek ini akan meruntuhkan struktur bangunan keluarga dan masyarakat hingga tak ada lagi jaminan bagi munculnya generasi terbaik pembangun peradaban. Kenapa? Karena perempuan kian kehilangan fokus dan orientasi tentang kontribusi terbaik, yang sejatinya bukan ada pada peran ekonomi, melainkan ada pada peran keibuan mereka. Terbukti, hari ini sudah terjadi pergeseran paradigma di tengah masyarakat soal definisi perempuan berdaya. “Perempuan berdaya adalah perempuan bekerja”. Selain itu, bekerja memang sudah zamannya, dan perempuan bekerja memang haknya, dan sebagainya.


Padahal sejatinya, meskipun Islam membolehkan perempuan bekerja, namun harus siap dengan peran ganda. Konsekuensinya bertambah pula beban tanggung jawab mereka, baik terhadap dirinya, keluarganya, masyarakatnya, dan tentu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini tentu tidak mudah. Karena tugas sebagai ibu juga bukan tugas yang mudah dan remeh. Melainkan memiliki sisi politis dan sangat strategis. Yakni menyiapkan generasi cemerlang, arsitek peradaban terbaik di masa depan. Bukan sekadar mengantarkan anak menjadi dewasa secara fisik.


Umat seharusnya sadar bahwa merebaknya kemiskinan dan semua turunannya pada hari ini justru merupakan dampak dari cengkeraman sistem ekonomi kapitalisme global yang terbukti rusak dan membawa kerusakan. Sehingga umat pun harus disadarkan, bahwa solusi satu-satunya adalah melepaskan diri dari kungkungan sistem ini, dan menggantinya dengan sistem yang berasal dari Dzat Yang Mahaadil dan Mahasempurna.


Sistem Khilafah Islam yang sudah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan selama belasan abad. Tak hanya bagi umat muslim, tapi juga nonmuslim. Tak hanya bagi laki-laki, tapi juga perempuan. Bahkan dalam sistem Khilafah ini, kaum perempuan benar-benar mendapat kedudukan terbaik dan terjamin hak-haknya. Termasuk hak finansial dan hak politik-strategisnya sebagai ibu, arsitek generasi pemimpin peradaban cemerlang. Sehingga selama belasan abad pula umat Islam mampu menjadi umat terbaik, yang menebar rahmat bagi seluruh alam. Wallaahu a’lam bi ash-shawwab.