PANDANGAN AHLUSSUNNAH TERKAIT BERBILANGNYA KHALIFAH DALAM SATU WAKTU (Bagian 2 - habis) ( Argumentasi Dua Madzhab)

 


Oleh: Kusnady Ar-Razi


Setelah memaparkan dua madzhab dengan masing-masing pendapatnya, Ad-Dumaiji mengetengahkan dalil yang dijadikan landasan argumentasi masing-masing madzhab. Baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' maupun dalil rasional.


1. Madzhab Pertama


Madzhab pertama, yang diwakili mayoritas ulama, pendapat haramnya berbilangnya khalifah memiliki landasan syar'i dari Al-Qur'an. Terutama ayat-ayat yang memerintahkan untuk bersatu dan melarang perpecahan (at-farruq wa al-ikhtilaf). Di antaranya firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 103:


واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا


"Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..."


Allah 'Azza Wa Jalla berfirman:


ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم


"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (Q.S. Ali Imran: 105)


Allah Ta'ala juga berfirman:


وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ


"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Q.S. Al-Anfal: 46)


Aspek pendalilannya bahwa kesemua ayat ini  memiliki kesamaan perintah untuk bersatu dan saling menanggung satu sama lain (di antara umat). Dan juga larangan berpecah belah dan berselisih. Karenanya, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya persatuan umat Islam. Dan hal itu tidak mungkin terealisasi kecuali jika umat ini memiliki satu orang imam. Maka mengangkat imam yang satu bagi seluruh umat adalah upaya merealisasi perintah bersatu dalam Al-Qur'an, yang perintah tersebut tidak terealisasi kecuali dengannya. Sesuai dengan kaidah, 


ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب


Adapun dalil dari As-Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:


إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما


"Jika dibai'at dua orang khalifah, maka bunuhlah salah satu dari keduanya." (HR. Muslim)


Perintah membunuh (al-Qatlu) dalam hadits di atas merupakan pertanda akan haramnya mengangkat dua orang khalifah dalam satu waktu. Sebab al-Qatlu tidak mungkin ada kecuali pada masalah besar yang sangat membahayakan, dalam hal ini adalah keberadaan dua orang khalifah dalam satu waktu yang berpotensi pecahnya persatuan umat.


Penafsiran ini dikuatkan oleh beberapa hadits yang lain, di antaranya:


a. Riwayat Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdabda:


ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه ما استطاع ، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر (رواه مسلم)


“Siapa yang berbaiat kepada imam lalu dia dia menyerahkan tangannya dan ketulusan hatinya, hendaknya dia mentaatinya semampunya. Jika datang yang lain (mengaku pemimpin) maka penggallah lehernya.” (HR. Muslim)


b. Riwayat dari Abu Hazim, dia berkata: Aku duduk di majelisnya Abu Hurairah r.a. selama lima tahun, aku mendengar dia menyampaikan hadits bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:


كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ


"Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang merekan akan banyak berbuat dosa." Para sahabat bertanya, "Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?" beliau menjawab: "Tepatilah baiat yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka." (HR. Muslim)


c. Riwayat 'Arfajah bin Syuraih, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ، أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ، فَاقْتُلُوهُ


“Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka perangilah ia”. (HR. Muslim)


Adapun dalil dari ijma adalah kesepakatan para sahabat ridhwanullah 'alaihim atas larangan mengangkat khalifah lebih dari satu. Hal ini sebagaimana terekam dalam riwayat pemilihan khalifah di Saqifah Bani Sa'idah pasca wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Saat itu sempat muncul tawaran dari Anshar agar masing-masing pihak (baik Anshar maupun Muhajirin) mengangkat amirnya sendiri. Tetapi Muhajirin tidak menyepakati itu. Abu Bakar r.a. sampai mengatakan:


هيهات أن يجتمع سيفان في غمد


"Mustahil mengumpulkan dua pedang dalam satu sarung."


Akhirnya saat itu Anshar ridha dengan penolakan Muhajirin dan sepakat mengangkat satu orang amir dan ini menjadi ijma' tidak bolehnya berbilangnya khalifah.


Pasca para Sahabat radhiyallaahu 'anhum, para ulama juga bersepakat hal yang sama sebagaimana yang dinukil oleh An-Nawawi, Al-Juwaini, Al-Qurthubi dan Al-Qadhi Abdul Jabbar (dari kalangan Mu'tazilah) serta Ibnu Hazm. 


Bisa kita katakan bahwa ini adalah ijma' sahabat radhiyallahu 'anhum dan salafnya umat ini. Sementara pendapat yang menyelisihi mereka dari kalangan Karramiyah dan selain mereka tidak berpengaruh sama sekali terhadap ijma' ahlussunnah wal jama'ah.


Adapun secara rasional, keberadaan dua orang imam berpotensi menimbulkan perselisihan, permusuhan dan fitnah. Sebagaimana ditegaskan oleh Ad-Dumaiji sendiri:


 فإن تعدد الأئمة للأمة الإسلامية الواحدة يؤدي إلى الإختلاف والشقاق والخصومات وحصول الفتن والإضطرابات والقلاق، واختلاف أمر الدين والدنيا، وهذا لا يجوز. وبناء على ذلك فلا تجوز الإمامة لأكثر من واحد في زمن واحد.


"Berbilangnya jumlah imam bagi kaum muslimin akan menyebabkan perselisihan, perpecahan, permusuhan, dan munculnya fitnah. Dan juga akan menimbulkan kekacauan dan kerusuhan, serta perselisihan dalam urusan agama dan dunia, dan hal ini tidak boleh. Berdasarkan hal itu, tidak boleh imamah lebih dari satu dalam satu waktu."


2. Madzhab Kedua


Madzhab kedua ini adalah mereka yang berpendapat bolehnya kaum muslimin memiliki dua orang khalifah dalam satu waktu. Dalil yang dijadikan landasan argumentasinya adalah:


a. Tujuan dari pengangkatan imam adalah untuk merealisasikan kemaslahatan rakyat. Kemaslahatan ini akan mampu direalisasikan secara tepat dan akurat apabila umat ini memiliki lebih dari satu imam. Jika di tiap wilayah memiliki imam, dia lebih mampu memikul tanggung jawabnya dan memperhatikan urusan rakyatnya, sebab hal itu karena sedikitnya persoalan yang dia hadapi karena kecilnya wilayah yang menjadi tanggung jawabnya (berbeda halnya jika wilayahnya luas maka semakin banyak persoalan yang dihadapi).


b. Di masa lalu jumlah nabi lebih dari satu dalam satu masa, dan keberadaan seorang nabi tidak menyebabkan batalnya nubuwwah nabi yang lain di tempat yang lain. Jika keberadaan para nabi di masa lalu boleh lebih dari satu, maka apalagi khalifah juga boleh lebih dari satu (min bab al aula). Sebab imamah itu cabang daripada kenabian.


Kritik Ad-Dumaiji Terhadap Madzhab Kedua


Dalil yang dikemukan oleh madzhab kedua adalah dalil 'aqli, bukan dalil naqli (dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah). Menanggapi dalil pertama, Ad-Dumaiji mengatakan:


أن منصب الرئاسة لم يجعل لتحقيق المصالح الدنيوية فحسب كما زعمتم، بل جعل أيضا لحرساة الدين، والمحافظة على المصالح الدينية، إلى جانب المصالح الدنيوية التي أشرتم إليها، وهذا لا يتأتي مع تعدد الأئمة، بل بالعكس إذا كان الإمام واحد أمكنه السيطرة على جميع أقطار المسلمين وأصبحوا يدا واحدة متحدين في أمورهم الدينية والدنيوية....


"Kepemimpinan itu bukan hanya untuk merealisasikan kemaslahatan dunia semata-mata sebagaimana klaim mereka. Akan tetapi juga untuk memelihara agama dan menjaga kemaslahatan agama, disamping kemaslahatan agama yang mereka maksud. Dan ini (kemaslahatan agama, pent.) tidak mungkin terwujud dengan banyak jumlah khalifah. Sebaliknya, hal ini bisa terealisasi apabila khalifahnya satu yang memungkinkan dirinya menguasai seluruh negeri kaum muslimin sehingga mereka menjadi satu kesatuan dalam urusan agama dan dunia..."


Ad-Dumaiji juga menegaskan apabila wilayah kaum muslimin saling berjauhan, hal itu bisa diatasi dengan diangkatnya para wali oleh khalifah yang akan mengurusi wilayah-wilayah tersebut sesuai perintah khalifah kepada mereka.


Sementara jawaban atas dalil kedua, Ad-Dumaiji mengatakan:


أن قياس الإمامة على النبوة قياس مع الفارق، فهو قياس باطل، لأن الأنبياء معصومون من عداوة بعضهم لبعض بعكس حال الأئمة 


"Meng-qiyaskan imamah dengan nubuwah adalah qiyas ma'al fariq, dan ini qiyas yang batil. Sebab para nabi ma'shum dari sifat permusuhan antara mereka, berbeda halnya dengan para khalifah (pada kondisi berbilangnya jumlah mereka, pent.)."


Sementara kalangan Karramiyah mengklaim bolehnya berbilangnya khalifah karena wujudnya kepemimpinan Sayyidina 'Ali dan Mu'awiyah di waktu yang sama. Klaim ini tentu lemah sekali, karena para ulama memandang saat itu yang menjadi khalifah adalah Sayyidina 'Ali r.a. Dan Mu'awiyah berselisih dengan Sayyidina 'Ali bukan karena menuntut jabatan kekhalifahan, akan tetapi menuntut untuk disegerakan hukuman bagi pelaku pembunuhan 'Utsman r.a. Dan posisi Mu'awiyah saat itu adalah wali di Syam yang diangkat di masa Umar r.a. dan berlanjut di masa 'Utsman r.a.


Alhasil dari apa yang telah diuraikan, Ad-Dumaiji lebih menguatkan pendapat madzhab pertama yaitu haramnya berbilangnya jumlah khalifah dalam satu waktu. Karena pendapat mereka ditopang oleh nash-nash syar'i yang haram mengabaikannya dan menyelisihinya. []


Nb: Apa yang telah kami tulis ini merupakan ringkasan dari apa yang ditulis oleh Ad-Dumaiji di dalam "Al-Imamah Al-'Uzhma 'Inda Ahlissunnah Wal Jama'ah", terbitan Muassasah Thabah Lil I'lam, Mesir, dan tertuang di bab terakhir.