Hutang: Jadikan Rakyat Tumbal Kapital

 

Oleh: Alfisyah (Aktivis Muslimah Medan)


Beberapa waktu lalu Menkeu Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan yang sesat dan menyesatkan. "Jangan takut hutang" itulah pernyataan ngawurnya. Pernyataan ini muncul di tengah pandemi yang memberikan dampak yang besar pada keadaan ekonomi bangsa ini. Keadaan ekonomi bangsa ini sedang dalam keadaan yang mengkhawatirkan negara sedang tidak baik-baik saja. Hutang yang ada sudah menggunung ingin ditambah lagi dengan hutang yang baru. Pernyataan ngawur itu mengandung iklan. "Iklan" untuk berhutang lagi. Iklan untuk masuk jebakan penjajah lagi hingga tidak ada lagi harta yang dimiliki. Bahkan jiwa bangsa inipun akan mati jika dibiarkan jika masuk jebakan iklan ini.

Menurutnya, hutang itu perlu untuk dijadikan tambahan modal atas kebutuhan negara yang begitu banyak. Untuk membangun infrastruktur, mengatasi pamdemi, membiayai bidang pendidikan dan kebutuhan bidang lainnya.

Pernyataan "iklan" itu pun dibubuhi racun iklan lagi, bahwa mayoritas negeri muslim semuanya berhutang agar tetap eksis, terus membangun tanpa henti. Pernyataan IMF pun dikutip, bahwa mayoritas negeri muslim berhutang sebab miskin dan sedang berkembang. Arab Saudi, Afghanistan, Kazhakstan dan lain-lain semua berhutang. Kesimpulan menurutnya "Hutang itu wajar" sebab negara sebesar Arab Saudi yang punya sumber minyak dan pos haji saja berhutang, apatah lagi Indonesia, mengapa takut berhutang? Sungguh itu pernyataan yang berupa "racun namun berbalut madu".

Padahal jika mau berpikir sedikit saja, hutang itu akan semakin mencengkram negara penghutang. Banyak taruhan yang mesti diberikan. Beberapa hal yang harus diberikan secara paksa pun tak bisa ditolak. Semua itu akibat konsekuensi yang mesti ditunaikan sebab telah berhutang. Pahit memang realitas menjadi negara penghutang. Banyak negara yang sudah terjebak dengan konsekuensi hutang ini akibat tidak bisa membayar hutang beserta bunganya yang membengkak. Beberapa negara telah menjual aset negara demi hutang semisal bandara udara, fasilitas umum lain dan sebagainya. Ada juga dan jumlahnya banyak yang harus memangkas subsidi untuk rakyat bahkan menghapus subsidi. Padahal pemangkasan subsidi itu hanya akan memuluskan rencana kapital untuk menguasai pasar. Sebab jika para kapital (korporat) menguasai pasar mereka akan memonopoli produk dan perdagangan itu sendiri. Jika mereka sudah memonopoli, negara tak lagi ikut campur soal penetapan harga dan pengaturan distribusinya. Negara lumpuh di bawah kaki kapital (korporat). Rakyat lah yang menjadi satu-satunya korban atas dampak nyata hutang iini Hutang yang dengan mudah untuk ditandatangani oleh pemerintah yang tidak bertanggung jawab mengurusi rakyat. Justru yang ada adalah menjadikan rakyat sebagai tumbal untuk di angsa para kapital.

Selain hutang itu menyusahkan rakyat, hutang juga semakin memberatkan hidupnya. Pembayaran hutang pun cukup memakan waktu yang lama karena juga membayar hutang bunganya. Sebab hutang bunganya juga banyak dan juga membebankan masyarakat. Negara akan menarik pajak lalu pajak pada rakyat itulah yang akan membayarkan hutang beserta bunganya. Rakyat dalam keadaan yang makin parah. Ibarat perumpamaan "Sudah jatuh tertimpa tangga pula". Jadilah siklus hutang-pajak-hutang-pajak begitulah seterusnya. Akan terus menzhalimi negara yang menerapkan hukum demokrasi-kapitalisme. Sudah selayaknya semua negeri muslim yang berbasis hutang dan pajak untuk mengganti sistem roda pemerintahannya.

Mungkin negeri-negeri tersebut termasuk Indonesia mau menilik cerdasnya negara Khilafah ketika melakukan pengelolaan negaranya dalam hal APBN nya. Negara Khilafah tidak pernah terkena krisis dan masalah ekonomi yang serius, sebab pondasi sistem APBN negaranya sudah dirancangkan oleh Allah swt sebagai pencipta manusia, alam dan seisinya. Maka manusia beserta aturannya matching berjalan di muka bumi bahkan rahmat bagi seluruh alam. Di dalam perut bumi, darat, laut dan udara merasakannya. Bahkan hanya warga negara Khilafah yang sejahtera. Seisi dunia ini hewan beserta tumbuhan merasakan kebahagiaan berhukum pada hukum Allah.

Negara Khilafah mengatur pengeluaran negara sesuai syariat Islam. Adapun pemasukannya berasal dari 3 sumber.

Pertama, kepemilikan umum yang terbagi lagi menjadi fasilitas umum (jalan, kereta api, air, listrik, satelit) semuanya diberikan ke rakyat secara murah dan bahkan gratis. Selain fasilitas umum ada sumber lain barang-barang yang tabiatnya milik masyarakat banyak diantaranya lautan, sungai dan hutan yang dilarang dalam islam untuk dimiliki oleh individu, yang terakhir barang tambang dalam jumlah deposit yang besar semisal emas, perak, timah yang pemanfaatannya tidak bisa dilakukan oleh individu. Pemanfaatan barang tambang ini membutuhkan keahlian, teknologi, biaya eksploitasi, biaya produksi, pemisahan, pemurnian dan lain-lain. Negara akan mengelola sesuai prinsip hukum syara dan hasilnya akan dikembalikan oleh rakyat dalam hal menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan lainnya secara gratis dan profesional. Sekolah dengan segala fasilitasnya, penelitian dan pengembangan teknologi, pembangunan kampus, mesjid, untuk dana bencana saat pandemi dll.

Kedua, kepemilikan negara yang berasal dari ghonimah, fa'i, khoroj, anfal yang dipungut dan hasilnya untuk alokasi gaji pegawai, guru, tentara dan pegawai lainnya.

Ketiga, pos zakat namun peruntukannya hanya untuk 8 ashnaf saja. Dalam hal ini kemiskinan sulit ditemukan dalam negara Khilafah, sebab pemasukan dari pos ini secara otomatis mampu menekan angka kemiskinan. Hal tersebut karena jika masyarakat sejahtera secara pasti membayar zakat yang beragam jenisnya itu jumlahnya banyak. Dalam pemerintahan di Baghdad dahulu pada masa Harun Al Rasyid dan Umar bin Abdul Azis jumlah pos zakat di baitul mal melimpah ruah (surplus). Jumlah itu tak sebanding dengan jumlah penerima zakat. Jumlah zakat itu dialokasikan dan didistribusikan ke sektor lain agar tidak terjadi penumpukan.

Dengan 3 sumber pemasukan yang jumlahnya banyak ini, negara dipastikan bebas dari intervensi asing. Negara penjajah akan segan dan takut menguasai negara yang secara real sejahtera. Utang pun menjadi sesuatu yang tak biasa dan bahkan tak pernah dijadikan sebagai sumber pemasukan negara. Apalagi pajak, jika pun ada tidak bersifat permanen, hanya dipungut dari orang yang kaya saja dan saat kondisi negara yang sedang paceklik.

Jika negara yang berbasis kapitalisme yang mengandalkan hutang dan pajak sebagai sumber pemasukan negara maka Khilafah tidak demikian. Khilafah berasaskan hukum Allah, maka dari aturan Allah sajalah yang digunakan untuk urusan negara dan urusan lainnya.

Negara Khilafah akan menjadikan rakyat sebagai pihak yang dilayani dan diurusi urusannya bukan sebagai tumbal (korban) dari kerakusan penguasa di sistem Kapitalisme-demokrasi. Hutang itu sebagai jalan bagi penguasa menguasai dan menindas rakyat. Pajak pun dipaksa dalam rangka mengorbankan masyarakat demi majikan mereka para kapital (korporat). Sistem ini akan selamanya seperti ini. Hanya orang yang sesat pikir lah yang mau dikorbankan dan dijadikan tumbal. Mari bebaskan masyarakat dari penjajahan apapun di muka bumi dengan syariat Islam. Wallahu'alam.