Ibu Tangguh di Masa Pandemi


Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd (Guru MIS Jabal Noor Medan, dan Aktivis The Great Muslimah Community)

Sejumlah provinsi mulai Senin (16/3) meliburkan sekolah dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA hingga Senin  (30/3). Langkah itu diambil untuk mengantisipasi penyebaran virus corona jenis baru atau Covid-19 di lingkungan lembaga pendidikan. Sebagai gantinya, pembelajaran yang biasanya dilakukan di sekolah diubah menjadi di rumah. Siswa tetap mengerjakan semua tugas sekolah meski berada di rumah. Orang tua yang juga bekerja dari rumah diminta untuk mengawasi proses belajar anak selama berada di rumah (Republika.co.id, 18/3).

Dengan skema pembelajaran yang baru ini ternyata tidak semua orang tua siap menerimanya. Banyak orang tua yang kewalahan sebab harus mengawasi lebih dari satu anak bahkan dengan jenjang pendidikanya yang berbeda-beda untuk belajar di rumah. Ada pula yang mengaku stress sebab anaknya terlalu santai dalam mengerjakan tugas sementara gurunya sudah “ramai” di notifikasi. Tugas-tugas yang diberikan pun terbilang cukup banyak dan terkesan membosankan sebab anak setiap hari harus belajar sendiri tanpa kehadiran teman-temannya. Hal ini semakin membuktikan bahwa sistem pendidikan hari ini tidak mampu menghadapi tantangan berbagai kondisi yang mungkin terjadi, khususnya dalam sistematika studying from home. Sistem pendidikan klasik yang diadopsi telah membakukan pembelajaran dengan kurikulum sekuler yang membebani pelajar dengan dominasi ilmu-ilmu terapan (matematika, sains, dan lainnya) tanpa disatukan dengan ruh ilmu-ilmu tsaqofah Islam. Akibatnya, timbul rasa bosan dan tidak termotivasi untuk belajar dikarenakan ilmu-ilmu tersebut tidak berdampak langsung kepada pembentukan kepribadian seorang anak kecuali hanya sekedar berkamuflase menjadi nilai angka di laporan hasil belajar. Bahkan sangat fatal apabila orang tua hanya mengukur keberhasilan anaknya dengan nilai tertulis semata sementara di sisi lain, pola sikap seperti berlaku curang dan rasa individualis tidak dikhawatirkan.

Para pelajar dituntut untuk super dalam nilai akademik sementara aspek adab tidak mendapat porsi yang sama. Pola sikap yang jauh dari nilai-nilai Islami ini terbentuk dari sistem pendidikan sekuler yang berdampak sistemik dan diperparah oleh sistem pergaulan sosial yang bebas. Bermula dari cara pandang yang salah tentang kehidupan, bahwa kebahagiaan adalah tatkala manusia dapat memenuhi keinginannya dengan segala cara tanpa terikat aturan spiritual. Akhirnya disimpulkan bahwa hubungan antara aturan hidup dan aturan agama adalah terpisah. Maka tak ayal didapati banyak kasus-kasus kontraproduktif semisal tindak asusila, narkotika, bahkan kriminalitas banyak dilakukan oleh kalangan pelajar. Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalis-sekuler.

Efek domino sistem kapitalis sekuler tidak hanya menyasar ranah pendidikan, namun bahkan sampai ke dalam naungan di bawah atap-atap rumah tangga.

Dalam kondisi darurat pandemi hari ini, yang meminimalisir bahkan mengunci total kegiatan perkumpulan termasuk sekolah-sekolah, maka orang tua memiliki kesempatan lebih untuk membersamai putra – putri mereka agar tetap semangat belajar. Seorang ibu memang memiliki pengaruh luar biasa bagi perkembangan kepribadian dan intelektualitas anak-anaknya. Oleh sebab itu Islam memposisikan ibu sebagai ummu wa robbatul bait (pendidik generasi dan pengurus rumah tangga). Namun faktanya, peran yang telah ditetapkan oleh Islam ini tergerus seiring semakin meluasnya opini umum tentang kesetaraan gender. Tidak dapat dipungkiri ide feminis ini diterima luas oleh kaum hawa termasuk para ibu. Peran wanita sangat dibutuhkan dalam pemberdayaan ekonomi di sistem kapitalisme. Hasil kerja berkualitas dengan upah minimum melekat pada status perempuan ketimbang laki-laki. Kebutuhan hidup yang mahal serta kurangnya pengurusan negara kepada para ibu yang menjadi tulang punggung keluarga, serta merta menggeser peran ibu dari fitrahnya sebagai perempuan menjadi pilar-pilar penopang ekonomi negara. Perempuan tanpa sadar telah tereksploitasi dengan pekerjaan-pekerjaan yang memakan hampir seluruh waktu hidupnya bahkan untuk keluarganya dan yang tersisa hanya sedikit saja.

Bagi para ibu yang sekaligus wanita karir, kondisi #DiRumahAja -yakni bekerja dan belajar dilakukan dari rumah- membuat perubahan signifikan dalam gerak mengurus rumah tangga yang disaat bersamaan harus mengurus kerjaan. Alhasil keduanya tidak berjalan optimal. Berbeda halnya jika para ibu yang memang hanya di rumah, maka secara psikologi tidak akan mengalami stress ketika mengawasi anak-anaknya di rumah, malah bisa menjadi momen yang sangat membahagiakan. Ini merupakan momen penting dalam kehidupan seorang anak apabila orang tua mengoptimalkan perhatiannya dalam pembentukan kepribadian Islam anak-anaknya. Sehingga, anak-anak tidak hanya ahli dalam akademik namun juga pada nilai-nilai akhlak dan pergaulan sosialnya. Memperdalam aspek akidah dengan ruang diskusi antara orang tua dan anak. Serta mengajari pentingnya adab sebelum ilmu agar anak-anak memahami bahwa orang yang berilmu adalah orang-orang yang beradab.

Dalam sistem pendidikan Islam, pembentukan kepribadian Islam memang menjadi tujuan pendidikannya. Seluruh operasional sekolah akan diberikan secara gratis oleh Negara sehingga tidak ada kasus guru tidak optimal mengajar sebab gaji yang rendah. Kurikulum pendidikannya berlandaskan akidah Islam, strategi pendidikannya adalah membentuk pola pikir dan pola sikap Islam. Kurikulum pendidikannya hanya satu, yakni yang dibuat oleh negara dan tidak boleh menggunakan kurikulum lain semisal mengadopsi milik bangsa dan peradaban -Barat- lain. Inilah sistem pendidikan Islam dalam syari’ah Islam. Tentu semua ini akan tercapai saat kaum muslimin menyadari keurgensitasannya. Akhirnya ibu-ibu tangguh tidak hanya hadir ketika ada situasi semisal pandemic, namun mereka selalu ada membersamai anak-anaknya, mencetak generasi pembangun peradaban Islam yang gemilang. Wallahu’alam bish showab.