UNFOLLOW SANG JENDERAL, KAPAN UNFOLLOW DEMOKRASI?


Oleh: Iwan Januar

Akhirnya fragmen rekonsiliasi tayang juga. Stasiun MRT Lebakbulus dan ratusan warga menjadi saksi hilangnya perseteruan dan kompetisi dua kubu. Menghapus dengan cepat tagar #TolakKecurangan yang pernah bergema di medsos. Adegan di stasiun MRT itu juga membuat berton-ton harapan umat menjadi kabut tipis. Padahal, semula pendukung sang jenderal begitu yakin takkan terjadi rekonsiliasi.

Rekonsiliasi itu telah memberikan tiga pelajaran; Pertama, jangan baper dalam berdemokrasi. Terima kenyataan kalau demokrasi itu adalah sharing power, zonder perasaan dan idealisme. Ijtima ulama yang berlangsung hingga dua kali, yang mengokohkan sang jenderal untuk menantang rezim, akhirnya kecele. Dimana para asatidz, ulama dan habaib menggebu-gebu berada di barisan 02 akhirnya harus menelan kepiluan kalau pilpres yang dianggap sebagai asa untuk memperjuangkan aspirasi umat dan selamatkan negeri endingnya amat pahit.

Entah apa yang dirasakan nasib sejumlah orang termasuk emak-emak yang menjadi tumbal pilpres. Ada yang ditindak keras atasan hingga dipecat, ada yang sudah masuk bui, termasuk ratusan petugas KPPS yang meninggal dan sejumlah korban kerusuhan 22 Mei. Apakah mereka bersuka cita atau berduka cita mengetahui rekonsiliasi yang tak pernah mereka harapkan akhirnya terjadi.

Kedua, rekonsiliasi Prabowo-Jokowi mengokohkan demokrasi itu adalah oligarki. Kekuasaan hanya berada di tangan segelintir elit kecil orang. Suara ribuan ulama, ustadz dan jutaan muslim tak ada artinya begitu elit politik pemegang kuasa parpol berjabat tangan memporakporandakan idealisme perlawanan yang sempat dirajut. Pasangan PS sudah dianggap sebagai perwujudan perlawanan umat. Dan sampai last minute di Mahkamah Konstitusi, umat masih berbondong-bondong memberikan dukungan pada PS. Sekarang mungkin mata mereka yang berjuang habis-habisan tanpa pamrih menatap nanar layar kaca tadi siang.

Ketiga, jalan demokrasi itu bukan titian perjuangan untuk orang yang keras kepala dengan idealisme perjuangan. Jalan demokrasi itu selalu fleksibel, luwes, dan selalu ada peluang terjadi bargaining(tawar). Kalau Anda pejuang demokrasi yang keras kepala dengan nilai-nilai pribadi dan partainya, alamat tak akan mendapat apa-apa. Pelajaran ketiga ini sudah terjadi jauh sebelum pilpres. Ketika pilgub DKI rame kampanye tolak pemimpin kafir, tidak kongruen dengan apa yang terjadi di tempat lain. Parpol Islam juga berkoalisi mengusung pemimpin kafir dan bersekutu dengan parpol pendukung RUU Ormas. Mereka juga selalu punya dalih untuk benarkan manuver politiknya.

Dalam pilpres ketika sudah terlihat tanda-tanda kubu 02 dikalahkan, sekutu mereka mulai menyeberang. Demokras dengan Ibas-nya, kemudian PAN juga mulai perlihatkan tanda-tanda sinyal koalisi sudah jelang finish. Ramai-ramai orang mengecam. Tapi pada ujungnya rekonsiliasi itu terjadi.
Lalu bagaimana nasib umat? Menghentikan persekusi pengajian dan para ustadz, membersihkan nama dan memulangkan Habib Rizieq, menyetop invasi Cina ke tanah air, penjualan aset-aset bangsa ke asing, dll.? Suram.

Satu-satunya yang terang, netizen kini ramai-ramai lakukan gerakan unfollow akun Gerindra dan akun Prabowo Subianto. Pecah sudah kekecewaan umat pada sang jenderal dan partai pengusungnya. Tapi sekedar unfollow sang jenderal takkan cukup untuk selesaikan persoalan. Umat masih harus terus berjuang. Namun jangan asal berjuang apalagi memakai jalan yang sama. Keledai saja tak mau terperosok di lubang yang sama sampai dua kali. Nabi ingatkan:

*« لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ »*

_Janganlah seorang mukmin dipatok di lubang yang sama dua kali_ *(HR. Bukhari)*

Pilpres ini adalah pelajaran mahal kalau politisi di alam demokrasi segarang apapun, sekalipun seorang jenderal, tetap pada jalur rekonsiliasi, oligarki dan bagi-bagi. Hanya kaum liberal yang akan tetap garang di alam demokrasi karena itu kolam mereka.

Maka Jokowi dengan pede menyatakan, “Tak ada lagi cebong dan kampret…” Bisa jadi itu benar. Rekonsiliasi itu melebur dua kubu tapi tetap akan menempatkan Islam Syariah sebagai musuh bersama dengan nama; radikalisme. Jadi, sudahlah, tak cukup hanya unfollow sang jenderal, tapi sudah waktunya umat unfollow demokrasi. Ikuti metode perjuangan Nabi SAW. sebagaimana dalam Sirah Nabawiyah-nya.