SABAR, INI HANYA UJIAN…


Oleh: Nur Rakhmad
Kaum mukmin senantiasa diuji Allah SWT.  Kadang tenang, kadang goncangan datang. Di saat ketentraman melimpah ruah, ada kalanya kegelisahan menghadang. Disaat merasa diri orang yang paling bahagia, ada kalanya merasa seperti orang yang paling sengsara. Bila beranggapan bahwa hidup lebih tenang dan nyaman tanpa ujian, maka bagaimana orang terbaik dimuka bumi, yaitu para nabi, manusia pilihan dan mulia?
Padahal ujian mereka berlipat-lipat dari manusia biasa. Bila beranggapan bahwa hidup tanpa cobaan akan lancar-lancar saja, maka bagaimana kita mendapat pelajaran dan hikmah yang begitu besar? padahal itu semua dipungut dan dipetik dari musibah-musibah yang datang menerpa. Kita perlu meniru kesabaran para ulama. Dengan risiko apa pun mereka berani mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim. Persis seperti yang disabdakan Rasulullah saw dalam haditsnya, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim.
Sudah menjadi sunnatullah yang berlaku di sepanjang zaman, Allah Swt. tidak membiarkan hamba-Nya mengaku beriman tanpa diuji oleh-Nya. Dengan ujian itulah akan terlihat jelas hakikat dan kadar keimanan mereka, apakah pengakuan keimanan mereka itu benar-benar tulus dan jujur atau dusta (Lihat QS al-Ankabut [29]: 2-3). Dengan ujian itu pula akan dapat diketahui siapa di antara mereka yang mau berjihad dan bersabar, dan siapa yang tidak (QS Muhammad [47]: 31)
Ujian yang diberikan kepada manusia itu pun beraneka ragam. Ada yang berupa keburukan (asy-syarr); ada yang berupa kebaikan (al-khayr) (QS al-Anbiya’ [21]: 35); ada pula yang berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan (QS al-Baqarah [2]: 165). Harta dan anak keturunan juga bisa menjadi ujian (QS al-Anfal [8]: 28).
Agar bisa sukses menghadapi berbagai ujian tersebut, penghayatan terhadap ayat ini menjadi amat penting. Menurut ayat ini, setidaknya ada dua keuntungan besar yang dapat dipetik ketika seseorang tetap tegar, sabar, dan istiqamah dalam menghadapi berbagai ujian keimanan. Pertama; bisa masuk surga. Jika ayat ini menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang yang mengira masuk surga sementara mereka belum terbukti dapat bersabar dan tetap istiqamah dalam keimanan tatkala menghadapi cobaan berat seperti yang dialami Rasul dan kaum beriman terdahulu, maka ayat ini bisa dipahami sebaliknya (mafhûm mukhâlafah). Artinya, jika mereka mampu bersabar dan tetap istiqamah dalam situasi apa pun, mereka boleh berharap dan merasa yakin bisa masuk surga.
Dengan harapan dan keyakinan tersebut, seseorang bisa terlecut semangatnya untuk bersabar dan kuat menahan berbagai beban penderitaan yang dihadapinya, betapapun berat penderitaan itu. Sebab, sebagaimana telah dimaklumi, surga adalah sebaik-baik tempat kembali. Di sana terdapat aneka kenikmatan tak terkira. Semua perkara yang diinginkan hati dan sedap dipandang mata dapat dinikmati di sana (QS al-Zukhruf [43]: 71).
Al-Quran banyak mengisahkan kaum yang sukses melewati cobaan saat mereka memiliki keyakinan tersebut. Demikian juga para sahabat Nabi saw. Mereka mampu bersabar menghadapi berbagai upaya jahat kaum musyrik. Keluarga Yasir, misalnya, mampu bersabar meskipun menerima siksaan di luar batas kemanusiaan. Sikapnya makin kukuh ketika mendengar sabda Rasulullah saw.: Shabr[an] âla Yâsir, fainna maw’idakum al-jannah. (Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya yang dijanjikan kepada kalian adalah surga). Sumayyah—istri Yasir—pun menyahuti dengan penuh kayakinan, “Innî arâhâ zhâhirat[an], yâ Rasûlullah,” (Sesungguhnya aku telah melihatnya secara jelas, wahai Rasulullah).
Kedua: mendapatkan pertolongan Allah Swt. dalam waktu dekat. Ayat ini memberikan kabar gembira kepada Rasul dan kaum Mukmin yang mengalami penderitaan hingga mencapai puncaknya berupa dekatnya pertolongan Allah Swt. Kejadian serupa juga dapat mereka alami. Tatkala ujian penderitaan yang mereka hadapi sampai pada klimaksnya, itu menjadi pertanda pertolongan-Nya segera tiba. Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya para saksi (Hari Kiamat). (QS Ghafir [40]: 51).
Keyakinan dan harapan akan dekatnya pertolongan Allah Swt. ini juga bisa membuat seseorang menjadi kian tegar dan tabah menghadapi berbagai ujian. Siapa yang tidak bergembira ketika penderitaannya segera berlalu dan kebenaran segera menang? Al-Quran pun menyebut pertolongan Allah Swt. dan kemenangan yang dekat sebagai perkara yang dicintai manusia (QS ash-Shaff [61]: 13).
Pertolongan hanya di tangan Allah Swt.; tidak akan datang kecuali dari-Nya (QS Ali Imran [3]: 126, al-Mulk [67]: 20, al-Kahfi [18]: 43). Ditegaskan pula, siapa yang ditolong Allah Swt., tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya. Sebaliknya, jika Allah Swt. membiarkannya, tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya (QS Ali Imran [3]: 160).
Dengan demikian, pertolongan Allah Swt. merupakan anugerah tak terkira. Tentu lebih membahagiakan jika anugerah itu segera tiba. Andai pertolongan yang dinantikan itu belum juga datang, mereka bisa melakukan evaluasi diri, apakah usaha yang mereka lakukan belum serius atau penderitaan yang mereka alami belum mencapai puncaknya.